BAB 2

2446 Words
Indra yang tak kuat menahan nafsunya yang memuncak kembali membalikkan posisi, menindih tubuh Marisa dan mencium bibirnya dengan kuat. Marisa meremas seprai hingga terlepas dari kasur, mendesah dengan penuh kenikmatan. Indra memulai penyatuan. Usaha pertamanya gagal. Marisa masih mengernyit kesakitan sehingga menutup kakinya. Lubang itu masih sempit. “Sakit, Sayang?” tanya Indra. Marisa mengangguk. “Mau berhenti aja?” tanya Indra. Ia kecewa, tapi tidak tega menyakiti sang istri. “Jangan, Sayang. Ayo coba lagi.” Marisa memejamkan mata saat Indra mencoba kedua kali. Usaha kedua ini pun gagal. Indra mencoba lagi dengan lebih lembut sehingga istrinya tidak menolak. Percobaan ketiga berhasil. Ia berhasil menembus pertahanan Marisa. "Aaaaaaaaaa .... pelan, Sayang!" Marisa mengingatkan suaminya yang mencoba memasukinya sampai ke ujung. Ia meremas lengan Indra dengan kuat. “Sakit banget?” tanya Indra. Marisa membuka mata. Rasa sakit itu sekarang berkurang. Ia menggeleng. Indra pun semakin percaya diri. "Aku akan bergerak dengan lembut, Sayang!” Indra mencium bibir Marisa singkat. Istrinya mengangguk sambil memejamkan mata kembali. Indra bergerak perlahan sambil menyalurkan rasa sayang melalui sentuhan tangan.  Ia berusaha selembut mungkin agar Marisa tidak merasakan sakit. "Begini masih sakit apa enggak, Sayang? Maaf aku sedikit memaksa milikku untuk masuk sampai ke ujung tadi." Marisa menggenggam erat bahu Indra. "Ada rasa perih-perih dikit sih, A’a," bisiknya di telinga Indra sambil menggigit bibir bawahnya. "Tahan, Sayang. Ini akan membuatmu lebih terbiasa.” Indra mencoba bergerak lebih cepat. Gesekan yang lebih cepat itu membuat Marisa sedikit mencakar bahu Indra karena menahan rasa sakit dan perih pada bagian intinya. "Gimana rasanya, Sayang?” Indra memegang pinggang Marisa dengan kedua lengannya agar istrinya tidak bergeser dan bergerak. “Masih perih, A’a.” “Mau berhenti sekarang?” tanya Indra dengan was-was. “Jangaaan!” cegah Marisa yang mulai merasakan kenikmatan akibat gesekan itu. "Tahan, aku akan makin kencang, Sayang," ucap Indra. Marisa terus mendesah karena merasakan sakit sekaligus kenikmatan yang diberikan oleh suaminya. "Sayang, aku sepertinya mau pipis!" Marisa berteriak, tak bisa menahan sesuatu yang menegang di bagian intinya. "Ayo keluarkan Sayang, jangan ditahan. Kamu bukan ingin kencing. Ayo lepaskan, Sayang!" Marisa berhasil mendapatkan puncak pelepasannya. "Aku akan menyusul. Tahan sedikit ya, Sayang." Indra kembali mengguncang hingga kasur dan ikut bergetar. Beberapa saat kemudian, ia mendapatkan puncak pelepasan yang hebat. "Lagi!" pinta Indra pada istrinya sambil mengusap perut bagian bawah istrinya yang terasa hangat. Marisa mengangguk. “Hayuk!” Indra mengulang apa yang ia lakukan tadi hingga mendapatkan pelepasan untuk kedua kalinya. Marisa makin mendesah dan meremas bahu Indra, memejamkan mata merasakan kenikmatan yang suaminya berikan. "Ini tidak se-sakit saat malam pertama, Sayang. Aku tak tahan ingin keluar lagi!" pekik Marisa. Ia mencengkeram seprai saat pelepasan kedua kali itu terjadi. "Tahan Sayang, aku akan segera menyusul!" ucap Indra. Seprai menjadi basah oleh cairan organ intim dan keringat keduanya. Indra mencium perut Marisa yang masih datar dan berbisik, "Semoga benih ini cepat tumbuh di perut Mama." Keduanya terbaring lemas karena telah mendapatkan dua ronde pelepasan. Cacing di perut Indra berbunyi, menandakan perut itu ingin segera diisi amunisi. Mereka berdua segera mengenakan pakaian dan menuju dapur untuk mengisi perut, menggantikan energi yang tadi telah dikeluarkan untuk pergelutan selama dua ronde. Kali ini Marisa bisa berjalan walaupun langkahnya menjadi lebih lebar karena sedikit merasakan perih pada bagian intinya. Marisa memanaskan makanan untuk mereka makan berdua. Indra memeluk tubuh Marisa dari belakang dan berbisik di dekat telinga istrinya, "Terima kasih, Sayang, malam yang panas dan masih terasa sempit.” Indra mencium pipi Marisa dengan gemas. Marisa menyentil kening Indra dengan kedua jarinya. "Sayang, tunggu aku di meja makan. Aku angetin dulu masakannya, ya." Marisa berusaha melepaskan pelukan Indra karena mengganggunya yang sedang memasak. “Nggak mau. Tahan posisinya kayak gini aja, ya? Nggak terlalu mengganggu, kan?" "Tapi kan ini bikin aku geli, Sayang." Marisa melepaskan tangan Indra yang membelit perutnya. "Iya, iya.” Indra melepaskan pelukan dan duduk menunggu makanan selesai dimasak. Pandangan Indra tidak lepas untuk memperhatikan istrinya. Ia menyangga dagu dengan kedua lengan. "Kalo diperhatikan, udah nggak perawan lagi sama A’a malah jadi makin terlihat cantik!" Indra tersenyum menggoda Marisa. "Jangan ngegombal, deh. Nggak ada receh, Yank." Marisa tersenyum tipis mendengar celotehan suaminya. "Serius Sayang. Auranya makin terpancar.” Indra mengedipkan sebelah matanya. "Pasti karena sudah A’a masukan benih di perut Marisa Wijaya." "Nih, upah ngegombalnya, Sayang!” Marisa meletakkan piring berisi makanan di depan Indra dan mengecup pipi Indra dengan gemas. "Maunya disuapin Yank, please!” Indra membujuk Marisa agar mau menyuapinya serta merengek seperti anak kecil. "Iya deh iya, Sayang.” Marisa mengambil nasi dan ikan goreng dengan sendok dan mengarahkan ke mulut suaminya. "Aaaaa ...." Indra membuka mulut dan mengunyah makanan yang diberikan istrinya. Tangan yang menganggur ia gunakan untuk merangkul Marisa yang duduk di sampingnya. Ia menyusupkannya ke dalam cup bra Marisa, meremas-remas kedua gundukan besar dengan gemas. "Makan ya makan aja! Ini ngapain tangannya pake masuk segala?” Marisa menatap manik mata suaminya yang nakal. "Ukurannya besar, bikin gemes!” Indra meremas-remas sebelah kulit hangat istrinya. "Sayang, makan yang bener!” Marisa memandang Indra dengan tatapan kesal. "Maaf, Sayang. Abis kamu lebih enak dari makanan, sih.” Indra mengedipkan sebelah matanya. "Isshhh!" Marisa kesal dan memasukkan makanan secara paksa ke mulut Indra. "Abis makan lanjut ronde ke tiga, ya!” Indra merengek dan menyandarkan kepalanya di bahu Marisa. "Hah ... yang bener aja?" Marisa seakan tidak percaya dengan permintaan Indra. "Sepuluh ronde boleh?" tawar Indra pada istrinya. "Kamu mau aku pingsan, Sayang?” Marisa mengerutkan dahinya memandang ke arah Indra. "Ya udah sampe pagi aja. Jangan itung ronde-rondean, ya," tawar Indra lagi pada Marisa. "Emang A’a nggak kerja? Ya itu kalo nggak dihitung bisa jadi lebih dari sepuluh ronde, Sayang," bisik Marisa di dekat telinga Indra sambil mencubit pipi suaminya. "Kerja, Sayang. Kemarin kan sempat libur untuk melakukan malam panas.” Indra mengacak rambut di puncak kepala Marisa. "Terus, emang nggak capek sampe pagi, Sayang? A’a pengin aku pingsan gara-gara kecapekan gitu?" Marisa berusaha menolak ajakan suaminya. "Isshhh … kemarin kan sampe libur dua hari. Jadi harus dirapel malam ini ya, Sayang!” Indra merengek meminta persetujuan. Marisa mencium pipi Indra dan berbisik, "Iyain aja dulu deh. Kasihan yang sampe merengek-rengek.” Marisa mengusap bibir suaminya yang kotor dengan bumbu dari masakannya. Sesudah makan, mereka beralih ke kamar untuk melanjutkan malam panasnya kembali. "Kali ini kamu yang belajar memimpin ya, Sayang," pinta Indra pada istrinya. "Maksudnya, Sayang?" Marisa merasa kebingungan. "Kamu yang di atas ya, yang bekerja, aku di bawah menikmati." Indra menyampaikan maksud dari perkataannya. "Mana aku bisa?" Marisa merasa ragu. "A’a yang akan ajarkan, Sayang.” Indra membuka semua pakaian yang Marisa kenakan. "Bukain baju A’a, Sayang." Indra meminta Marisa untuk membuka bajunya. "Bentar-bentar, ganti seprainya dulu. Yang ini kan kotor, bikin nggak nyaman, Sayang." Marisa tidak nyaman jika mereka kembali bergelut dengan tidur di seprai yang kotor. “Nggak usah, nanti lama lagi. Kamu tega amat bikin A’a menunggu?" Indra tidak memperdulikan persoalan seprai, yang penting ia kembali melakukan malam panas bersama istrinya. "Sabar Sayang, cuma ganti seprai doang kok, biar nyaman." Marisa segera pergi ke lemari untuk mengambil seprai baru. Kain itu ia pasang dengan secepat mungkin. Kini, ranjang terasa lebih nyaman. Marisa kemudian menuruti perintah Indra untuk membuka pakaian pria itu kemudian menindih tubuhnya. Ia mencium setiap inci bibir Indra yang lembut dan hangat, terasa sedikit darah dari luka yang tadi Marisa buat sehingga membuatnya berhenti untuk mencium Indra. "Sayang, langsung aja yang bawah, ya?" Marisa memberi saran. "Jangan dulu, kita nikmati bagian atas dulu, Sayang." Indra mengusap pipi Marisa. Marisa memanjakan Indra dengan usapan ujung yang membuai. d**a Indra demikian indah di mata wanita itu. "Bagaimana cara mendapatkan da-da indah ini, Sayang?” tanya Marisa sambil memperhatikan da-da suaminya. "Olahraga untuk memanjakan mata istri tentu saja, Sayang. Kamu suka, kan?” Indra menggoda Marisa. Marisa mencubit hidung Indra dan mengusap da-da bidang tersebut. "Bagaimana kamu mempunyai dua harta seindah itu, Sayang? Ketika sebelum membuka baju, A’a kira milikmu kecil, lho." Indra mencubit balik hidung istrinya. "Hasil olahraga, untuk memanjakan mata, tangan, dan mulut suami, Sayang." Marisa menggoda suaminya. Indra tertawa dengan tingkah istrinya yang begitu menggoda dan menggemaskan. "Dasar, bisa-bisanya kamu aja, Sayang." "A’a suka, kan?" Marisa menatap mata Indra. "Suka banget.” Indra menarik tubuh Marisa hingga tubuh ramping itu jatuh dan menempel pada padanya. Indra menyesap aroma harum istrinya dan menikmati kehangatan lembut yang dihantarkan oleh kulit wanita itu "Mulai yang bawah enggak?" Marisa menatap suaminya. “Nggak sabar, ya?” Indra melirik istrinya tanpa melepaskan tangan dari perut istrinya. "Biar cepet selesai A’a, aku ngantuk. Besok kan kita kerja." Mata Marisa sudah terlihat lima watt. "Ayo, tahan dulu ngantuknya Sayang. Kamu yang memimpin, A’a yang mengarahkan, ya.” Indra membujuk istrinya untuk menahan rasa kantuk. Marisa menurut dan mendekatkan tubuhnya ke Indra. "Untungnya jalan sudah terbuka karena tadi sudah melakukan dua ronde. Sekarang jadi gampang masuk. Goyang, Sayang.” Indra memegang pinggang ramping istrinya. Marisa menurut yang melakukannya sesuai arahan Indra. "Ayo makin kenceng, Sayang!"  Marisa semakin menambah kekuatan untuk memanaskan suaminya. "Iya terus, kayak gitu ... makin kenceng lagi, Sayang!" Indra mengeluarkan desahan-desahan kecil. Marisa mengikuti setiap arahan yang suaminya perintahkan. Indra meremas-remas harta milik Marisa guna memberikan sebuah rangsangan-rangsangan sambil menikmati dirinya yang tengah dimanjakan oleh istrinya. Tak lama, Indra mendapatkan pelepasan, disusul Marisa juga yang mendapatkan pelepasannya. Marisa ambruk dan membaringkan badan di sebelah Indra. "Kerja bagus, Sayang.” Puji Indra setelah puas bermesraan. Ia mencium kening, kedua pipi, dan dagu istrinya. "Lagi!" "Hah?" Marisa seakan tidak percaya dengan permintaan suaminya. "A’a aja yang di atas." Marisa memerintahkan Indra yang kali ini memimpin. Indra kemudian menindih tubuh Marisa dan membuka lebar paha istrinya. Indra melakukannya beberapa kali sampai istrinya kelelahan hingga tidak sengaja terlelap tidur ketika Indra tengah menikmati permainan tersebut. Indra menghela napas dan rebah untuk memeluk istrinya dengan erat. Ia mengusap perut datar Marisa, berharap benih yang ia tanam segera tumbuh dan hadir melengkapi kebahagiaan di antara mereka berdua. Terik mentari menyinari kamar, menembus tirai, dan membangunkan Marisa dari tidurnya. "Bangun suamiku, Sayang.” Marisa mencium pipi kanan, pipi kiri, dan kedua mata suaminya. Indra menguap dan merenggangkan badan. "Selamat pagi istriku, Sayang." "Pagi, Sayang. Mau dibikinin sarapan apa?" Marisa memeluk Indra. "Sarapannya lanjutin semalem yang kamu sampe ketiduran, Sayang." Indra berbisik di telinga istrinya. "Hah? Yang bener aja, Sayang." Marisa menatap Indra. "Bercanda kok, Sayang. A’a buru-buru. Kamu nggak pa-pa A’a tinggal ke rumah sakit? Nanti kamu diantar sopir berangkat kerjanya ya, Sayang.” Indra mencium kening Marisa dan bergegas untuk mandi. "Iya, Sayang." Marisa segera bangkit dan menyiapkan baju untuk suaminya bekerja. Indra telah selesai mandi. Ia melilitkan handuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Da-da bidangnya yang sedikit basah oleh air, terlihat mulus bening menggoda mata istrinya. Marisa mencium dan memeluk da-da bidang Indra. "Kenapa, Sayang?" Indra menaikkan kedua alisnya. "Badan A’a seksi, bak artis-artis Korea, sungguh menggoda mata ini, A’a." Marisa tertawa. "Kenapa? Kamu mau lagi nambah satu ronde, ya?" Indra balik menggoda Marisa. "Eh enggak, bukan mau yang itu isshh!" Marisa menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju. Indra tertawa berhasil menggoda istrinya. "A’a siap-siap kerja dulu, ya. Mana bajunya, Sayang?" Marisa memberikan baju yang sudah ia persiapkan untuk Indra pakai. Indra mencium kening istrinya singkat. "A’a berangkat duluan ya, Sayang." Marisa mencium punggung tangan suaminya. "Hati-hati, Sayang." ☆☆☆ Begitu sampai di rumah sakit, Indra langsung disibukkan mengurus berkas-berkas untuk keperluan kenaikan jabatan. Tok ... tok ... tok! Seseorang mengetok pintu ruangannya dan meminta izin untuk masuk. Saat pintu terbuka, terlihat sahabat yang tidak hadir saat pernikahannya. Orang itu adalah Karin. "Apa kabar, Rin?” Indra menjabat tangan Karin. "Baik Dra. Gimana pernikahan lo?” Karin menutup pintu dan duduk di sofa. "Lancar, Rin. Kok lo nggak dateng?" Indra duduk di sofa yang berseberangan dengan Karin. "Gimana gue bisa dateng di pernikahan cowok yang gue suka dari dulu, Dra? Yang ada hati gue makin terasa sakit.” Karin menyilangkan lengan di depan da-da. "Kita kan masih bisa sahabatan. Gue udah anggap lo sebagai sodara gue sendiri, Rin." "Gue nggak bisa. Gue pengin miliki elo sepenuhnya, Dra.” Karin menunjuk Indra dengan telunjuknya. "Gue udah jadi suami orang, Rin.” Indra memandang Karin dengan serba salah. "Gue mau kok jadi istri ke dua lo, asal gue bisa bareng lo, Dra." Karin berpindah duduk di sebelah Indra dan meraih lengannya. "Ngaco lo!  Mana bisa gue duain istri gue?” Indra menjaga jarak dan menggeser posisi duduknya agar merenggang. "Lo jahat, Dra. Gue kan yang selama ini ada buat lo." Karin berusaha membujuk Indra dengan tatapan sendu. "Kita sahabatan dari kecil, Rin, dan gue nggak punya rasa cinta buat lo.” Indra melepaskan lengan yang Karin genggam dan memalingkan wajahnya. "Dra, gue sayang banget sama lo." Karin kembali berusaha mendekat dan memeluk tubuh Indra erat. Pintu ruangan Indra tiba-tiba terbuka dan berhasil membuat keduanya kaget. "Sayang ...?" Marisa berteriak memanggil suaminya. Ia kaget melihat Karin yang tengah memeluk tubuh suaminya. Dari mulutnya langsung meluncur pertanyaan, "Ngapain Kakak peluk-peluk suami orang? Ini maksudnya apa, ya?” Marisa memandang heran dan marah ke arah mereka berdua. "Ini bukan yang seperti kamu pikirkan, Sayang. Jangan salah paham, ya." Indra berdiri menghampiri Marisa. Karin menarik lengan Indra sehingga langkah pria itu terhenti. "Kenapa lagi, Rin?" Indra berusaha melepaskan lengan Karin yang tengah menarik lengannya. "Marisa, Indra milik gue!" Karin menatap Marisa dengan tajam. Indra hanya untuknya, tidak ada wanita lain. "Pria yang Kakak pegang itu suami aku, Kak. Kenapa disebut milik Kakak?" Marisa tersenyum miring mendengar kata-kata halu yang diucapkan oleh wanita licik itu. "Lo yang rebut dia dari gue!” Karin mendekati Marisa, menatapnya tanpa mengedipkan mata. "Bau-bau pelakor nih." Marisa berbisik dan mengendus-ngendus di sebelah telinga Karin. "Apa Kakak punya benda seperti ini?” Marisa menunjukkan jarinya yang tersemat cin-cin kawin dari Indra. "Asal Kakak tahu, ini namanya cin-cin kawin, pertanda pria yang Kakak pegang itu suami aku dan derajat sekaligus posisi aku lebih tinggi dari Kakak yang hanya seorang sahabat." Karin melepaskan lengan Indra dari genggamannya dan melayangkan tangan ke arah pipi Marisa. Plakk! Karin menampar wajah Marisa dengan keras hingga memerah. Indra kaget dan mendorong tubuh Karin. "Apa-apaan lo tampar-tampar istri gue, Rin?" "Istri lo—" Karin kaget Indra mendorong tubuhnya. Indra memotong pembicaraan Karin. "Pergi lo dari sini sekarang!" Indra berusaha mengusir Karin. "Dasar wanita matre, play girl dan murahan!" Karin mengejek Marisa, sengaja memancing emosi gadis itu. Marisa menjambak rambut Karin dan terjadilah perkelahian. Mereka berdua saling menjambak dan mencakar, membuat luka di tangan dan pipi Marisa. Karin juga mendapat luka baret di leher dan lengannya. "Berhentiii!" Indra berteriak dan berusaha memisahkan mereka berdua. Indra memerintahkan sekretarisnya untuk memanggil satpam dan mengusir Karin. Akhirnya dengan bantuan satpam itu, Karin diseret pergi dari ruangan Indra. Napas Marisa tidak beraturan karena telah berkelahi dengan Karin. Ia memegang pipinya dan merasakan perih di daerah bekas cakaran Karin.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD