BAB 3

2228 Words
Tangan dan pipi Marisa saat ini terluka, terasa perih dan mengeluarkan darah akibat cakaran dari Karin. Indra meraih lengan Marisa, berusaha menenangkan dan meminta istrinya untuk duduk agar lukanya bisa ia obati. Napas Marisa tidak beraturan. Ia tidak ingin duduk berlama-lama di ruangan Indra karena mengingatkan bagaimana tadi Karin memeluk tubuh Indra dengan erat. Dan hal itu membuat hatinya sangat panas. Dengan wajah muram, ia memilih meletakkan bekal makanan yang sengaja ia masak untuk Indra di meja pria tersebut dan pergi ke UGD untuk bekerja. Di sana, ia mengobati lukanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Indra yang melihat istrinya emosi dan tidak mau lukanya ia obati hanya bisa diam dan pasrah. Ia takut jika Marisa malah mendiamkannya selama beberapa hari dan berharap Marisa mau mendengar penjelasannya dan agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. Rosa yang melihat sahabatnya datang dengan luka di pipi dan tangannya segera mengambil peralatan untuk mengobati Marisa. "Astaga, lo kayak abis di cakar kucing sih? Lukanya lumayan dalem loh ini.” Rosa menghampiri sahabatnya dan memperhatikan setiap luka-lukanya. "Iya, kucing yang mau ngerebut ikan punya gue." Marisa duduk untuk mengatur napas dan menenangkan diri. "Galak banget kucingnya sampe buat lo kayak gini.” Rosa memakai handscoon, lalu memeriksa luka Marisa dengan seksama. "Iya galak, genit, dan nggak punya urat malu sama sekali." Marisa mengepalkan tangannya. Terlihat raut wajah emosi yang membara. "La buat apa kucing punya urat malu? Kan hewan nggak berperasaan dan nggak ada akal pikiran, Sa." Rosa yang tengah membersihkan darah dari luka Marisa merasa heran. "Nah berarti si Karin kayak gitu, nggak berperasaan dan nggak ada akal pikiran. Masa dia maen peluk-peluk suami orang.” Marisa menatap sahabatnya. "Haaa, jadi bukan kucing beneran? Tapi yang lo ceritain ini orang alias manusia bukan hewan? Dan yang lo maksud ikan itu suami lo?" Rosa menjadi makin bingung karena Marisa tidak menjelaskan dengan detail perlakuan Karin pada suaminya. "Dia lebih mirip hewan! Cewek rese yang nggak punya urat malu dan mau rebut suami orang, pengin gue bejek-bejek deh tu orang." Marisa memukul-mukul bantal yang diperuntukkan untuk pasien. Rosa mulai mengerti apa yang terjadi dan membuat sahabatnya itu emosi. "Daeeebbaaak! Suami ganteng kayak dokter Indra gitu siapa yang nggak mau, sih? Pasti banyak cewek yang antre buat dapetin hatinya, ya. Contohnya kayak Kak Karin. Awas, bakal banyak pelakor yang bakal godain suami lo! Pesona suami lo itu begitu terpampang nyatahhhh tahu!" "Mana pelakornya? Sini gue jabanin, pasti ke mana-mana cantikan gue lah!” Marisa menyilangkan lengan di depan da-da. "Gile ... sahabat gue sangar juga kalo lagi cemburu. Karin bangunin macan yang lagi tidur nih!" Selesai mengobati luka di tangan dan pipi Marisa, Rosa menutup luka Marisa dengan plester. "Auu perih, Ros. Pelan-pelan dong, gue jadi pasien nih." Marisa memelototi Rosa yang tidak pelan-pelan mengobati dan menutup lukanya dengan plester. "Ini kan udah pelan. Luka kecil gini aja sakit, kan? Bayangin kalo pasien yang lukanya besar, gimana rasanya? Luka di hati lo juga ada barusan, eh ...." "Awas lo ya!” Marisa menyentil kening Rosa dengan kedua jarinya yang berhasil membuat Rosa menjerit merasakan sakit. “Kok bisa luka-luka kayak gini, sih? Kalian berantem, ya?” Rosa mengusap-usap keningnya yang terasa sakit. “Cewek ular itu duluan yang nampar gue. Lihat kan pipi gue jadi merah gini. Terus gue jambaklah rambut dia dan akhirnya kita berantem.” “Oi ... di mana ilmu beladiri lo? Kok kagak di pake, sih?” Rosa mengejek sahabatnya yang memiliki keterampilan bela diri tapi tidak bisa melawan Karin. “Kalo dalam keadaan emosi kayak gitu dan lawannya wanita ular, gue jadi lupa kalo gue bisa ilmu bela diri. Udah maen jambak-jambak aja gue ama cakar-cakaran kagak pake mikir apa-apa lagi.” Marisa memajukan kedua bibirnya. “Emang si Karin ular itu abis ngapain sama laki lo ampe lo emosi kayak gini?” Rosa menaikkan kedua pundaknya tanda merinding melihat emosi Marisa yang menggebu-gebu. “Kan barusan gue bilang, dia peluk-peluk laki gue di ruangannya.” Marisa menatap sinis mata Rosa. “Isshhh pantesan lo emosi. Jangan kasih celah, Sa.” Rosa sudah selesai membersihkan dan mengobati luka Marisa dan merapikan alat. “Laki lo belain siapa?” Rosa kembali bertanya dengan rasa penasaran di dalam otaknya. “Enggak dua-duanya. Dia susah pisahin kita sampe minta tolong satpam juga buat ngusir Karin.” Marisa mengatur ritme napasnya agar lebih tenang. “Tenang-tenang, derajat lo lebih tinggi dari wanita ular itu. Kan lo istri sah dokter Indra.” Rosa mengusap-usap pundak Marisa. Marisa menahan rasa perih di lukanya, melupakan kekesalannya dengan bekerja tanpa henti sampai ia lupa untuk makan. Kebetulan pasien di UGD hari itu sangat banyak, jadi dia bisa melupakan kekesalannya pada Indra dan Karin dengan terus bekerja. Rosa mendekati Marisa yang masih terlihat galau. Ia ingin menghibur sahabatnya di sela-sela istirahat setelah menangani pasien. “Lo belum makan kan, makan dulu gih. Nanti kalo sakit gimana?” Rosa mengingatkan Marisa agar sakit maagnya tidak kembali kambuh. “Nggak mau, gue nggak laper dan nggak selera makan.” Marisa mengabaikan nasehat dari Rosa dan kembali menyibukkan diri. “Ini hari pertama kita ketemu setelah lo jadi istri orang. Gimana malam pertamanya? Auranya makin kepancar, nih.” Rosa merangkul dan menggoda Marisa. “Nanti lo juga ngerasain sendiri, sampe nggak bisa jalan.” Marisa menatap Rosa dan berusaha menakut-nakuti sahabatnya. “Uuuuaaahhhh diapain aja sampe nggak bisa jalan?” Rosa merinding ketakutan membuat Marisa tertawa dengan tingkah sang sahabat yang polos. “Enggak perlu lo tahu. Nanti juga ngerasain sendiri. Makanya buruan kawin!” Marisa mengingatkan sahabatnya agar segera mengakhiri masa lajangnya. “Ka Roy belum ngelamar gue hiks ... hiks ....” Rosa memasang ekspresi meminta belas kasih. “Tapi mending nanti dulu, nanti kebebasan lo nggak lagi lo dapetin setelah menikah. Apa-apa harus se-izin suami kayak gue nih, udah nggak sebebas dulu lagi.” Marisa merasa frustrasi telah memilih langkah untuk menikah muda. Marisa merasa kebebasannya kini sudah direnggut. Hari-harinya kini diisi dengan melayani suami dan disibukkan dengan kuliah dan pekerjaannya. “Udah lama kita enggak jalan-jalan sama nongkrong bareng. Gue kangen momen kebersamaan kita.” Marisa memeluk Rosa. “Kan itu takdir lo buat nikah muda, jadi disyukuri dan dinikmati aja. Suami lo kan kaya, ganteng, baik, kurang apa lagi?” Rosa mengingatkan sahabatnya yang beruntung telah menikah dan memiliki suami sebaik Indra. Marisa menghela napas, menyangga dagu dengan kedua tangannya sembari melamun. “Hush ... jangan ngelamun nanti kesambet setan. Bentar lagi jam pulang nih.” Rosa menyadarkan Marisa yang tengah melamun. “Pulangnya jalan-jalan dulu, yuk?” Marisa mengajak Rosa untuk menemaninya jalan-jalan. “Oke, hayuk! Biar lo nggak cemberut lagi." Rosa menerima ajakan sahabatnya, berharap mood-nya kembali membaik. Marisa merasa senang. Kali itu ia malas untuk meminta izin pada suaminya. Mereka berjalan-jalan, nongkrong, mampir ke tempat karaoke untuk bernyanyi bersama hingga larut malam. Pikiran Marisa tidak fokus. Raganya memang di mal bersama Rosa, tapi pikirannya dipenuhi dengan bayangan Indra. Rosa sering mendapati sahabatnya itu menerawang, seperti tengah melamun. Indra beberapa kali menghubungi Marisa, tapi ponsel istrinya itu tidak aktif. Ia mencoba menghubungi sahabatnya. Rosa pun juga tidak menyambut panggilannya. Pria itu sangat khawatir dan mencari keberadaan istrinya dengan mendatangi indekos Rosa, tapi kamar Rosa itu terlihat kosong. Dia bingung harus ke mana lagi mencari keberadaan istrinya. Ia enggan menghubungi Rika atau kakak iparnya, Divan, untuk menanyakan keberadaan Marisa. Jika ia menghubungi pihak keluarga, pasti keluarga Marisa juga ikut khawatir dan akan mengira hubungan mereka tidak harmonis. “Kita mending tidur di hotel aja, Ros. Kalo ke indekos lo suami gue pasti bakalan tahu. Kalo pulang ke rumah, gue juga males, nggak mau ketemu dia dulu.” Marisa memohon kepada sahabatnya agar menemaninya untuk tidur di hotel. “Kebiasaan lo nggak mau denger penjelasan dia dulu gitu? Biar masalahnya beres.” Rosa mengingatkan Marisa yang selalu tidak mau mendengar penjelasan dan segera menyelesaikan masalahnya. “Nggak! Gue males. Kan pelakor itu nggak bakalan nyosor-nyosor duluan kalo lakinya kagak ngelayanin. Ini kayaknya laki gue ngelayanin si Karin, jadi deh cewek itu nyosor-nyosor ke laki gue.” Marisa mengambil kesimpulan.  “Kan mereka sahabatan.” Rosa mengingatkan Marisa karena mungkin Indra terlihat dekat dengan Karin karena telah bersahabat baik selama bertahun-tahun. “Persetan dengan kata sahabatan. Hubungan persahabatan antara cewek dan cowok itu jarang ada, Ros. Orang jelas-jelas Karin suka sama laki gue.” Marisa menyilangkan tangan di depan da-da. “Ya udah terserahlah. Gue udah kasih saran. Sekarang gue ikutin apa mau lo.” Rosa merangkul sahabatnya sambil menunjukkan arah jalan. Mereka berdua akhirnya check in di sebuah hotel di tengah kota Jakarta. Marisa yang merasa lelah, terlelap tidur setelah membaringkan badannya di kasur hotel yang empuk. Melihat sahabatnya yang sudah tertidur pulas, Rosa meraih benda pipih di dalam tasnya untuk menghubungi Indra. Ia melihat notifikasi beberapa panggilan yang tidak terjawab dari Indra. Rosa ingin segera menghubungi dan memberitahukan keberadaan mereka pada suami sahabatnya itu. Ia melakukan panggilan di dalam toilet agar Marisa tidak mendengarnya. Tak lama kemudian, panggilannya diangkat oleh Indra. Indra yang mendengar ponselnya berbunyi langsung mengangkat panggilan itu, berharap yang menelepon itu adalah istrinya. Ia agak kecewa saat tahu panggilan telepon masuk itu ternyata dari Rosa. “Halo, Ros. Kamu lagi bareng istri saya?” Indra segera membuka percakapan, berharap Marisa sedang bersama Rosa dan gadis itu memberitahukan keberadaan mereka. “Iya, Dok. Rosa saat ini lagi bareng Marisa.” Rosa memberitahukan keberadaan mereka agar Indra tidak mengkhawatirkan Marisa yang aman bersamanya. “Kalian di mana, boleh saya tahu?” Indra penasaran dan ingin menjemput dan membawa istrinya pulang. “Marisa sudah terlelap tidur, Dok.” Rosa menjelaskan sepulang mereka berdua berjalan-jalan Marisa kecapekan dan tertidur pulas. “Tidur di kosan?” Indra mengambil kunci mobilnya untuk bersiap menghampiri mereka berdua. “Bukan Dok, di hotel.” Rosa memberitahukan di mana keberadaan mereka berdua. “Hah ... apa? Di hotel?” Indra merasa cemas. “Iya di hotel.” “Nggak terjadi sesuatu hal buruk kan?” Indra makin merasa cemas. “Tenang, kami aman-aman aja kok. Tadi Marisa yang ajak ke sini. Katanya kalo ke kos nanti bakal disusulin Dokter Indra, jadi kita milih buat istirahat di sini.” Rosa menjelaskan usulan Marisa untuk tidur di hotel bersamanya. “Saya ke sana sekarang, ya!” Indra bergegas berangkat untuk menghampiri istrinya. “Rosa inisiatif kasih tahu Dokter biar kalian baikan. Daripada berantem lama-lama kan nggak baik. Kami saat ini tidur di Hotel Aksela di Jakarta pusat. Tadi Marisa sama Rosa abis jalan-jalan di mal Atrium. Sekarang Marisa udah tidur, jadi Rosa bisa telepon Dokter.” Rosa memberitahu Indra bahwa ia menghubungi pria itu tanpa sepengetahuan Marisa. “Oke, saya ke sana sekarang, ya. Saya bawa seorang sopir, biar kamu nanti pulang dengan aman diantar oleh sopir saya.” Indra mengucapkan terima kasih dan mengusulkan Rosa pulang diantar oleh sopirnya. “Baik, Dok.” Rosa mematikan teleponnya dan memastikan Marisa tidak terbangun. Rosa membaringkan badannya di sebelah Marisa sambil menunggu Indra datang. Rosa meminta Indra untuk tidak memencet bel atau mengetuk pintu agar tidak membangunkan Marisa dari tidurnya. Daripada mereka menginap di hotel tanpa memberitahukan Indra dan pria itu khawatir, Rosa berpikir lebih baik ia memberitahukan Indra tentang keberadaan mereka. Rosa berharap mereka segera berbaikan, sekaligus ingin memberikan kejutan untuk Marisa karena tidur di hotel bukan bersamanya melainkan bersama suaminya. Indra segera pergi ke hotel yang Rosa beritahukan melalui telepon bersama sopirnya. Ia menuruti semua perintah Rosa. Ia kemudian memberitahukan Rosa lewat telepon bahwa dirinya sudah ada di depan kamar.  Rosa membuka pintu secara perlahan agar tidak membuat Marisa terbangun. Ia menyuruh Indra segera masuk dan menjaga istrinya.  “Terima kasih, Ros. Saya tidak akan melupakan kebaikan kamu," ucap Indra, bersuara pelan agar istrinya tidak bangun dan merasa lega telah menemukan Marisa. “Iya Dok, saya pamit pulang, ya.” Rosa segera pergi meninggalkan mereka berdua. Gadis itu pun pulang diantar sopir pribadi Indra dengan selamat sampai di indekosnya. Indra lega melihat istrinya dalam keadaan aman. Melihat istri yang masih mengenakan seragam rumah sakit, Indra melepaskan baju dan rok Marisa secara perlahan agar istrinya tidak terbangun. Sekarang hanya tertinggal tanktop dan celana pendek berwarna senada.  “Kalau dia tidur masih mengenakan seragam, besok pasti bisa bangun dengan badan yang pegal-pegal.” Pria itu menelan salivanya dengan susah payah melihat tubuh Marisa yang mulus dan seksi. Istrinya terlihat lumayan berisi setelah menikah. Ju-ni-or Indra sampai-sampai dibuat terbangun. Ia menutup tubuh Marisa dengan selimut dan membaringkan badannya di sebelah sang istri. Marisa yang tertidur pulas dengan refleks merubah posisinya menjadi miring dan menghadap tubuh Indra. Tanpa sadar ia memeluk erat pria tersebut dan menempelkan wajahnya pada da-da bidang milik suaminya.  Jantung Indra berdebar kencang. Debaran itu dirasakan hanya saat bersama istrinya. Ia memeluk tubuh istrinya yang terasa dingin dengan erat, menghangatkannya dengan selimut tebal hotel dan pelukan erat yang ia berikan. Ia mencium kening Marisa dan mengucapkan rasa syukur karena berhasil menikahi seorang istri yang sudah sangat lama ia cintai. Tak perlu waktu lama, ia ikut terlelap tidur. Waktu menunjukkan pukul dua malam saat Marisa terbangun. Ia merasakan pengap dan kepanasan karena dekapan Indra. Tubuhnya menjadi berkeringat. Ia kaget melihat seseorang yang memeluk dan mendekapnya begitu erat adalah Indra. Bagaimana bisa Indra yang tidur bersamanya? Dan bagaimana bisa Indra menemukan keberadaanya? Marisa melepas pelukan Indra dan merenggangkan tubuhnya agar menjauh dari suaminya.  Indra yang merasakan gerakan yang dilakukan Marisa membuka kedua matanya dan tersenyum melihat istrinya yang terbangun. Indra mengusap pipi Marisa dengan lembut. Ia kemudian menindih tubuh Marisa sehingga membuat istrinya itu kaget.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD