BAB 1

1272 Words
Tidak terdengar suara tangisan pada bayi yang baru saja dilahirkan ke dunia, badannya pucat dan berlumuran air ketuban dan darah. Bayi itu dikhawatirkan gagal mendapatkan oksigen dan berakibat kematian. Marisa segera membersihkan dan mengeringkan tubuh bayi tersebut, mengisap lendir yang menyumbat di kerongkongan dan hidung sang makhluk mungil. "Ayo bangun dan bernapas, Dek. Jangan menyerah untuk hidup di dunia," ucap Marisa, berharap bayi itu bisa ia selamatkan. Belum juga terdengar suara tangisan. Marisa memposisikan bayi di tempat datar dan hangat, kemudian kembali mengisap lendir dari kerongkongan dan hidung bayi dengan alat penghisap khusus. Ia kemudian menyentil, menepuk, dan menggosok kaki bayi untuk memberikan rangsangan supaya bayi itu memperlihatkan gerakan pada ototnya atau tidak. Karena tidak kunjung menangis dan memberikan gerakan otot, wanita itu melakukan ventilasi yang bertujuan untuk membantu bayi agar bisa bernapas dengan alat yang meniupkan udara yang masuk ke paru-paru melalui hidung dan mulut, sambil melakukan tekanan da-da atau pijat jantung. Setelah dilakukan ventilasi beberapa kali, akhirnya bayi menangis yang menandakan bayi itu berhasil bernapas. Marisa lega ia berhasil menyelamatkan nyawa bayi tersebut. Wanita itu kemudian memakaikan baju dan memposisikan bayi miring agar lendir yang masih tersisa di kerongkongan bayi bisa keluar, sambil mengamati keadaan bayi. Ia juga memasang selang oksigen. Rekan Marisa menelepon bidan bagian Perinatal untuk merawat bayi itu di ruangan khusus bayi agar diobservasi lebih lanjut. Ia juga menelepon bidan bagian nifas untuk merawat dan mengobservasi ibu pasca bersalin. Ruang UGD saat itu ramai kedatangan pasien yang mengalami kecelakaan. Marisa dengan sigap membantu dan memberikan pertolongan pada pasien yang datang. Seorang pasien datang dengan darah bercucuran di bagian pelipis. Rekan Marisa memeriksa tanda-tanda vital, sedangkan gadis itu membersihkan luka pasien dan menjahitnya agar darah berhenti mengalir dan menutup luka jahitan dengan perban. Shift pagi itu akhirnya usai. Marisa mencatat laporan pasien dan bergegas untuk pulang. Kali ini ia pulang diantar oleh sopir karena suaminya tengah sibuk untuk kenaikan jabatan. Pernikahan mereka baru berlangsung empat hari yang lalu. Marisa yang merupakan anak magang tidak bisa berlama-lama mengambil libur. Sedangkan suaminya, Indra, tidak bisa lama-lama libur karena akan mendapatkan pengangkatan jabatan, dari manajer menjadi direktur rumah sakit menggantikan ayahnya, Gusti, yang ingin pensiun. Rencana awal yang disusun untuk honeymoon indah yang akan dilakukan di Bali akhirnya gagal dan membuat Marisa sangat kecewa. Ia memang tidak memperlihatkan rasa kecewa itu pada suaminya agar Indra fokus untuk kenaikan jabatannya. Saat ini, Marisa tidak lagi bebas melakukan setiap kegiatannya seperti dahulu lagi tanpa seizin suami. Sebagai istri yang baik, Marisa harus meminta pendapat dan izin suami bila ingin melakukan sesuatu. Ia melakukannya dengan senang hati karena Indra memperlakukannya dengan sangat baik, bak putri raja. Sang suami selalu memanjakannya. Mereka tinggal di sebuah rumah megah yang sengaja dibangun untuk membahagiakan Marisa. Semua yang ada dalam rumah itu disesuaikan dengan selera Marisa. Mulai dari desain rumah, tata ruang, hingga pemilihan perabotan, Indra sengaja membiarkan istri cantiknya memilih dan menentukan. Rumah mereka bak persembunyian yang nyaman, tempat beristirahat kala penat bekerja dan tentu saja, tempat memadu cinta. Namun, Marisa kerap merasa kesepian jika menunggu suaminya pulang bekerja. Ia selalu menunggu Indra di sofa sambil menonton televisi dan memakan buah, ditemani seorang asisten rumah tangga. seperti saat ini, ia termangu di depan layar lebar yang menayangkan drama Korea. Malam sudah semakin larut. Indra akhirnya datang dan mencium kening istrinya. “Halo, Sayang. lama ya nunggu A’a datang?” sapa Indra sambil mengelus kepala istrinya yang menyambutnya di depan pintu. “A’a lama banget kerjanya. Lembur apa sih, kok nggak selelsai juga?” sapa Marisa dengan manja sambil melingkarkan lengan di pinggang kekar Indra. “Biasa, Sayang. Kerjaan rumah sakit emang nggak ada habisnya. Kamu yang sabar, ya? Siapa hayo yang ngizinin A’a jadi direktur?” Marisa pura-pura merengut. tangannya mencubit pinggang Indra. “Ish! A’a malah balik nyalahin aku.” Indra terkekeh, lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi mulus Marisa. Tahu-tahu, tangan kekar pria itu merengkuh Marisa dan menggendongnya ala bridal style. “A’aaaaa!” pekik Marisa, kaget, namun dalam hati ia merasa sangat bahagia karena perlakuan mesra itu. Indra membawa istrinya ke kamar mereka. Dengan cepat, ia merebahkan tubuh molek Marisa di kasur. Baju pendek yang Marisa kenakan naik hingga memperlihatkan celana dalam berwarna pink dan sepasang kaki jenjang yang putih. “A’aaaa! Pelan-pelan, dong. Nah, bajuku terbuka,” keluh Marisa sambil menurunkan bajunya hingga menutup kedua kakinya kembali. Indra menelan salivanya dengan susah payah saat melihat kemolekan istrinya yang sedang tertidur pulas. Sudah dua hari mereka tidak melakukan hubungan suami istri karena saat malam pertama membuat Marisa kesakitan, mengeluarkan sedikit darah dari k*********a dan selama dua hari tidak bisa berjalan. Gadis itu jadi enggan untuk kembali melakukan hubungan suami istri. Indra menahan tangan sang istri dengan cepat. “Biar aja, Sayang. Kenapa ditutup? Masa malu sama suami sendiri?” “Ah, A’a m***m, ih,” ucap Marisa, sambil tersenyum lebar. Senyum yang membuat jantung Indra semakin berpacu kencang. Marisa terus menatap suaminya yang tengah membuka dasi yang dikenakan. Indra agak kesusahan. Melihat itu, Marisa bangkit, lalu membantu melepaskan dasi dan membuka kancing baju suaminya. Ia menelan salivanya dengan susah payah saat melihat da-da bidang Indra yang terlihat mulus, seksi, dan menggoda. Indra menggenggam lengan Marisa sehingga membuat wanita itu kaget. Ia menatap, kemudian memeluknya dengan erat. “Sayang, masih sakit nggak?” tanya Indra. “Mmmmm ….” Marisa hanya menjawab dengan senyuman. “Kok cuma mmm? Bukannya sekarang kamu sudah pulih dan bisa berjalan?” tanya Indra penuh harap. “Iya, sih, A’a. Aku udah bisa jalan normal seperti biasa lagi.” Indra girang. Didekatkannya wajahnya ke wajah Marisa. "Bolehkah malam ini aku menginginkannya?" bisik Indra di telinga istrinya. Wanita itu menganggukkan kepala, tanda ia menyetujuinya. “Bener? Nggak bohong?” tanya Indra, masih takut bila Marisa hanya pehape. “Enggak, A’a. Aku mau, kok. Kasihan A’a kelamaan puasa, nanti kepalanya cenat-cenut.” “Yeeeayyy!” seru Indra kegirangan. “A’a mandi dulu, ya. Awas, kamu jangan sampai ketiduran!” Marisa mengerling manja. “Mmmmm, nggak janji, A’a. Ini kan sudah malam.” Indra memencet hidung Marisa hingga wanita itu kesakitan. “Iiiiih! Pokoknya biar udah tidur, nggak mau tahu, A’a bangunkan. Pokoknya A’a harus dapat jatah malam ini, titik!” Indra pun segera kabur ke kamar mandi. Ia membersihkan diri secepat mungkin. Saat keluar, ia hanya mengenakan handuk di pinggang. Marisa telah menunggu di depan pintu kamar mandi dengan posisi berdiri yang menantang. Indra berdebar. Ia segera melepaskan baju tidur yang Marisa kenakan, hingga hanya meninggalkan dalaman saja. Marisa melingkarkan lengan ke leher Indra. Suaminya segera menggendong istrinya menuju kasur king size milik mereka. Indra melepaskan pakaian mereka yang tersisa dan mematikan lampu. Mereka lebih suka bermain dalam kegelapan. Indra menindih tubuh Marisa dan mencium bibirnya dengan lembut, seperti biasa menghangatkan setiap inci tubuh sintal sang istri yang terasa manis dan harum itu. ciuman itu membuat Marisa melambung dan merasa sangat dicintai. Indra semakin gencar membelai tubuh istrinya, merambah tempat-tempat yang memuat Marisa melayang. Ia semakin ahli saja, bak seniman yang memainkan kuas di atas kanvas, Indra menorehkan kenikmatan dalam raga Marisa. Kiss mark ia tinggalkan di banyak tempat, seolah membuat tanda kepemilikan, Marisa tak kuasa menahan kenikmatan yang suaminya berikan. Desahan terucap dari mulutnya, semakin lama semakin terdengar kencang sehingga membuat Indra semakin bersemangat. Desahan Marisa sudah merupakan candu baginya. Marisa membalas dengan memberi sentuhan lembut di kulit sang suami, memanjakan tubuh kekar itu dengan sengat-sengat gairah. Indra seperti melambung ke awan-awan kenikmatan. Mereka memanas bersama di atas ranjang, berguling dan saling membelit, hingga saat penyatuan itu tiba. Mereka nyaris mencapai puncak, saling memberikan rasa sayang yang dalam hingga terengah. Marisa memainkan milik Indra hingga pria itu mengerang dan mendesah dengan kencang. "Aku nggak kuat nahan lagi, Sayang. Cepat lakukan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD