Cindra menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang menjulur ke bawah, di atas pagar tembok rooftop. Air matanya sudah kering tertiup angin, dan riasan wajahnya pun berantakan, terhapus oleh tangis yang panjang. Entah sudah berapa lama ia menangis, dan entah apa yang membuatnya begitu bersedih. Padahal kini tak ada lagi orang yang merendahkannya, tak ada yang memanggilnya upik abu. Tapi entah kenapa malam ini, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Cindra merasa begitu kecil dan tak berarti. Ia merasa tak pantas dicintai. Sebesar apa pun ia meyakinkan diri bahwa laki-laki yang meninggalkannya itu tidak pantas untuknya, tetap saja hatinya menuduh dirinya sendiri. Mungkin memang dia yang tak pantas dicintai. Ia bukan siapa-siapa, hanya gadis yang kebetulan diasuh keluarga besar Atmaja. Mungkin

