Chef Pram

1260 Words
"Pagi, Cintaku...! Cemberut aja?" Sapaan hangat dari laki-laki berseragam putih bersih itu memaksa Cindra menyunggingkan senyum. "Pagi, Chef-ku yang ganteng," sahut Cindra seraya menarik kursi lalu duduk di hadapan Mas Pram, satu-satunya orang di rumah ini yang selalu membuatnya merasa welcome. Dan seperti biasanya, begitu Cindra muncul pagi-pagi di dapur, Mas Pram langsung menyuguhinya secangkir kopi s**u hangat dan sekeranjang roti buatannya yang fresh from the oven. "Makasih, Mas!" ucap Cindra, menghirup aroma kopi yang menenangkan jiwanya. "Menu Leo udah siap?" tanyanya, sebuah rutinitas mingguan. Chef keluarga Atmaja bernama Pramudya itu mengangguk. "Udah. Mas email sekarang, ya?" sahutnya seraya membuka ponsel. "Kalau ada menu yang dia mau rubah atau makanan yang dia enggak suka, kasih tahu Mas sebelum makan siang, biar Mas revisi lagi. Karena besok Mas mau belanja," ujarnya lagi. Mas Pram adalah satu-satunya Chef di Istana Atmaja. Dia adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan makan penghuni rumah. Mulai dari menu diet rendah kalori untuk Mami Renata yang hobinya mengeluhkan bentuk tubuhnya yang sudah langsing, menu rendah kolesterol untuk Papi Marlon yang kolesterolnya tak pernah berkurang karena sering curi-curi makan berkolesterol di luar rumah, sampai menu tinggi protein untuk Leo yang anehnya tetap langsing meski jarang olahraga, membuat Cindra sering iri. Mas Pram juga memasak makanan untuk dua puluh satu karyawan rumah, termasuk Cindra dan Mama, dibantu oleh Mbak Tary, asistennya. Usia Mas Pram delapan tahun lebih tua dari Cindra, jadi ia menganggapnya seperti abangnya sendiri. Mas Pram sendiri yang meminta Cindra memanggilnya dengan nama saja, biar lebih akrab, tapi Cindra lebih suka memanggilnya 'Mas Pram'. "Kok, sedih gitu?" Mas Pram memandang dengan penuh selidik wajah Cindra yang muram. Ah, Mas Pram memang tidak bisa dibohongi. Cindra kembali tersenyum tipis. Ia tahu, Mas Pram menunggunya bercerita. Selama ini, dia selalu menjadi tempat curhat terbaiknya. Tapi kali ini, ia malas curhat tentang pertengkarannya dengan Leo, apalagi tentang Andra. Bukan karena takut Mas Pram cemburu seperti Leo, tapi karena ia belum siap jika Mas Pram tiba-tiba memintanya mengenalkan Andra. Mas Pram itu protektif, ia tak ingin Cindra dipermainkan. Ia menganggap Cindra seperti adik perempuannya sendiri. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Cindra menggeleng. "Lagi PMS, Mas," dustanya, sambil menyesap kopi susunya. Mas Pram tersenyum kecil. "Kamu enggak ada kuliah pagi ini?" tanyanya lagi. "Nanti siang, cuma online aja." Cindra mencelupkan sobekan roti bagel ke dalam cangkir kopi lalu memasukannya ke dalam mulut, dan menikmatinya dengan bahagia. Mas Pram tersenyum. Ia sangat suka dengan kesederhanaan gadis di hadapannya itu. Ia tak perlu cokelat lumer atau keju creamy untuk menikmati rotinya. Buat Cindra, kopi s**u hangat sudah cukup membuat roti apa pun jadi enak. Dering interkom terdengar nyaring. Dengan cepat Mas Pram mengangkatnya. "Pangeran Leo sudah bangun. Dia mencari Cinderella-nya," ucapnya saat telepon ditutup. Nadanya menggoda. Cindra buru-buru menghabiskan sarapannya, lalu bergegas menuju kamar Sang Pangeran. Leo sudah berpakaian rapi saat Cindra membuka pintu kamar. Rambutnya bahkan masih terlihat basah. Tumben, batin Cindra. Biasanya dia masih berbaring malas di tempat tidurnya. "Aku udah kirimin kamu email menu mingguan dari Mas Pram. Kalau ada yang mau dirubah, dia tunggu sebelum makan siang." Leo mengernyitkan keningnya, ekspresinya langsung bete. "Siapa dia ngatur-ngatur aku?" sungutnya. Cindra menarik napas panjang. Drama pagi dimulai lagi, keluhnya dalam hati. "Biar bisa langsung direvisi, soalnya Mas Pram mau belanja bahan makanan besok," sahutnya, menahan geram. Ia mengembuskan napas lega saat akhirnya Leo tak lagi mendebatnya. Jujur, saat ini ia tidak ingin bertengkar lagi. Kekesalannya masih belum reda sejak kemarin sore. "Temani aku sarapan!" Tiba-tiba saja Leo menarik tangannya. Tapi Cindra bergeming, langkahnya tertahan. "Kali ini beneran aku belum sarapan!" sahut Leo, seolah membaca pikiran Cindra yang takut dibohongi lagi. Akhirnya Cindra membiarkan Leo menariknya masuk ke dalam elevator, turun kembali ke lantai dasar, lalu berjalan memutar ke halaman belakang. Tepat di samping kolam renang outdoor. Itu memang tempat favorit Leo, paling jauh dari rumah utama, dan paling jarang dikunjungi Mami Renata dan Papi Marlon. Padahal di dalam rumah ada dua ruang makan keluarga dan dua ruang ngopi dengan pemandangan taman yang indah yang bisa ia gunakan tanpa harus bersusah payah berjalan jauh. Tapi Leo memang seaneh itu. Baginya, kalau ada pilihan yang lebih sulit, kenapa harus memilih yang mudah? Dua nampan sarapan pagi sudah tersaji di atas meja kayu bulat dengan payung besar ala Bali berwarna putih. Ternyata Leo sudah meminta pelayan untuk membawakannya. Leo menarik kursi untuk Cindra, membuat Cindra merasa tersanjung, walau selalu berusaha menutupinya. Ia tidak mau Leo menjadi kegeeran. Sejak kecil, Leo memang sudah diajarkan etika sebagai gentleman, mengingat keluarga Atmaja selalu berinteraksi dengan orang-orang high profile. Mami Renata bahkan menyewa seorang coach untuk mengajarinya etika berjalan, duduk, menyambut tamu, berbicara, table manner, dan etiket lainnya. Meski terasa sangat berlebihan, Cindra mengerti karena Leo adalah pewaris tunggal Atmaja Company, calon pemimpin perusahaan dengan ribuan karyawan dan partner bisnis dari berbagai negara. Cindra menuangkan teh lemon hangat ke dalam cangkir Leo, menambahkan sedikit madu dan mengaduknya. Lalu ia menuangkannya ke cangkir lain untuk dirinya sendiri. Disesapnya teh hangat itu perlahan, sambil menerka-nerka, apa yang akan dilakukan Leo selanjutnya setelah mengetahui tentang Andra. Apakah ia akan membicarakannya sekarang? Hatinya mendadak gusar. Ia memandangi Leo yang tengah mengoleskan butter di atas rotinya. "Kamu enggak sarapan?" tanya Leo melihat Cindra tidak memakan rotinya. "Aku sebenarnya tadi udah sarapan di belakang," sahut Cindra seraya kembali menyesap tehnya. "Sama Pram?" Cindra mengangguk penuh tanya. Hatinya tak tenang mendengar nada suara Leo yang mendadak berubah. "Mulai besok kita harus selalu sarapan bareng." Kini Cindra membulatkan kedua matanya. "Setiap hari?" tanyanya tak percaya. Leo mengangguk tanpa ragu. "Kenapa?" tanyanya lagi. "Tapi..." "Masukkan itu sebagai bagian dari pekerjaan juga," tukas Leo dengan tatapan yang tak ingin dibantah. Cindra terdiam dalam kebingungan. Ia sama sekali tidak bisa menerka maksud Leo. Leo tidak mungkin cemburu dengan Mas Pram. Mas Pram sudah bekerja selama tiga tahun, dan selama ini Leo tidak pernah ada masalah dengannya. Dan ia juga sudah tahu Mas Pram sudah dianggapnya sebagai abangnya sendiri. "Boleh aku tahu alasannya?" tanya Cindra akhirnya. "Karena aku maunya begitu," sahut Leo dengan cuek. Ya, Tuhan! Cindra kembali menarik napasnya dan menghembuskannya dengan kesal. Sungguh ia tidak mengerti. Kemarin masalah Andra, lalu sekarang Mas Pram? Ada apa ini? "Aku kuliah cuma dua jam. Kamu ikut aku nanti." "Hah?!" Kali ini Cindra tak tahan lagi dengan semua rencana Leo yang tiba-tiba. "Aku ada kuliah jam sebelas nanti, Leo?" ujarnya. "Aku tahu. Kuliah online, kan? Kamu kan bisa online di kampusku? Kamu bisa nunggu di cafe, di taman, di perpustakaan..." "Tapi buat apa aku ikut? Enggak ada gunanya juga cuma nungguin kamu?" "Aku mau diantar belanja ke mall." Cindra pun kembali terkejut. Buru-buru ia membuka ponselnya untuk melihat jadwal harian Leo. Seingatnya, tidak ada jadwal belanja hari ini. "Tapi siang nanti kamu ada jadwal makan siang sama Papi dan Om Delon di kantor." Cindra menatap Leo dengan tanya. "Udah aku batalin." Leo menyahut dengan santai. Cindra mengangkat kedua alisnya. "Loh, kamu kok baru bilang sekarang?" protesnya. "Baru aku batalin tadi. Aku bilang sama Papi kalau kamu minta diantar ke mall untuk cari kado ulang tahun Mami." Dan kini Cindra tak bisa berkata-kata lagi. Leo selalu saja menggunakan dirinya untuk kepentingannya sendiri. Ulang tahun Mami Renata masih satu bulan lagi, buat apa dia cari kado dari sekarang? Lagipula, sekalipun ia ingin membelinya, tak mungkin ia meminta Leo untuk menemaninya. "Kenapa? Gak suka?" tukas Leo melihat kekesalan di wajah Cindra. Cindra tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan. Percuma. Leo selalu benar. Dan dia memang tidak salah. Bukankah dia sudah membayarnya untuk melakukan tugas-tugas yang diperintahkannya? Sambil mengunyah rotinya, Leo berusaha menahan senyum. Diliriknya Cindra yang masih tertunduk dengan raut wajah yang kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD