BAB 2

1778 Words
Sesuai isi pesan Andre di kolom perpesanan, sore itu; setelah menuntaskan mata ajar kuliah terakhir, aku menuju kantin. Menjumpai Andre di sana. Pada mulanya, aku tak tahu perihal maksud dan tujuan Andre mengajak untuk bertemu. Tentu, sebagai salah satu anggota BEM di kampus, Andre sudah pasti lebih sibuk dariku. Setiap sore, ia selalu berkumpul dengan para anggota BEM. Sehingga, pertemuan sore itu cukup tak biasa. Namun, Setiba di kantin. “Nad, bisa tolong kerjain tugas aku, nggak?” What? Dengan mudah, Andre berkata demikian. Secara terang-terangan; tanpa basa-basi. “Aku nggak salah denger nih, Ndre?” “Nggak dong, Nad. Telinga kamu masih beres kok. Sore ini, ada jadwal rapat sama temen-temen BEM. Jadi, aku minta tolong kamu kerjain proposal aku, ya? Bisa, kan?” Hah? Aku menyengir. Menanggapi permintaan Andre dengan gerak bibir sedikit mencibir. “Sorry ya, Ndre. Aku nggak bisa. Kita kan, beda jurusan. Jadi, nggak mungkin dong aku bisa ngerjain tugas kamu.” “Tapi, Nad. Aku tahu, kamu itu salah satu mahasiswa terpintar di kampus. Jadi, kamu pasti bisa,” Andre bersikeras membujuk. Dia bahkan menyentuh kedua pergelangan tanganku. Menatap penuh arti. Pengharapan dari lubuk hati. Sial! Ini laki-laki, pintar amat bikin hati perempuan meleleh. Aku bergumam. Tak dapat kupungkiri, jika perempuan mana pun, takkan menolak. Tentu, jika Andre sudah memohon dengan gurat seberharap itu. Terlebih, paras rupawan di wajah, membuat semua wanita tak mampu berkilah. Dan, Tidak! Tidak! Nadine, kau jangan pernah menjadi budaak tugas lagi. Jangan bodoh dong, Nad. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menolak. Andre tak dapat berbuat banyak. Selain mengiyakan penolakan pertama, yang kutujukan. “Oke, Nad. Nggak apa. Ya sudah, kalau gitu gimana kalau sore ini, kamu balik bareng aku aja?” Andre menawarkan. Kebetulan hari itu, aku tak berangkat ke kampus dengan mengendarai motor. Jadi, tak ada alasan untuk menolak ajakan Andre. ****** Di dalam perjalanan. Tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir kami berdua. Baik aku mau pun Andre, kami sama-sama hanya terdiam. Jika, Andre sedang berfokus pada kemudi. Maka, aku memilih menenggelamkan pikiran perihal beberapa hal janggal, yang kutemukan pada diri Andre. Tak dapat kupungkiri, jika perasaan takut kembali menyelimuti. Sebuah rasa bercampur memori perihal masa lalu bersama Bagas yang toxic. Meski, berhubungan dengan Andre selama satu bulan ini, belum ada bukti konkret, jika Andre juga bersikap sama dengan sosok Bagas dahulu. Tapi, mengapa dia memintaku mengerjakan tugas perkuliahan miliknya? Pertanyaan itu kembali memenuhi isi kepala. Bagaimana tidak, sudah jelas kami berbeda jurusan. Namun, Andre tetap mengambil kesempatan untuk memintaku mengerjakan proposal tugas miliknya. Ini aneh! ******            Sesampainya di depan halaman rumah. Andre tak berniat membukakan pintu mobil untukku. Dan, aku juga tak berharap sebesar itu. Lagi pula, aku bukan ratu. “Nad, aku balik dulu, ya. Nanti jangan lupa balas pesan aku,” Andre berujar. Sesaat usai menurunkan posisi jendela mobil. Tanpa banyak kata, aku segera mengangguk mengiyakan. Ceklek! Belum sempat aku masuk ke dalam rumah. Bahkan, daun pintu baru saja terbuka. Namun, ponsel di dalam tasku bergetar. Refleks, tangan kanan ini meraih ponsel di dalam tas. Dan, **Andre : “Jangan lupa makan.” Pesan itu membuatku tercengang. Tapi, aku tak berniat memberi balasan. ****** Hari berganti petang. Tepatnya, pada pukul tujuh malam. Di sela, aku bersibuk dengan materi bahan ajar kuliah. Manik pada mata ini mengedar. Menatap layar ponsel yang sedang tak menyala. Sembari meregangkan tubuh yang terasa tegang, aku menggulir jemari pada kolom perpesanan. **Nadine : “Kamu lagi di mana, Ndre?” Tak biasa, aku berniat mengirim pesan berisi pertanyaan pada Andre. Lebih tepatnya, pada seorang kekasih yang sedang kupacari. Seumur-umur, aku tak pernah peduli perihal orang lain. Baik Bagas mau pun Andre. Namun, entah mengapa kali itu tidak. Aku tiba-tiba ingin mengirim pesan pada salah seorang laki-laki, yang berhasil membuatku berstatus tak ‘sendiri’. Drrt drrt! Satu menit setelah pesan tersebut terbaca. **Andre : “Aku di kampus, Nad.” Di kampus? Jadi, setelah mengantarku pulang tadi, Andre balik lagi ke kampus? **Andre : “Ada apa?” **Nadine : “Enggak, nggak apa-apa. Aku cuma mau tahu aja.” Sial! Pesan itu berhasil terkirim. Percuma saja, kutarik. Andre sedang online saat itu. Benar saja, **Andre : “Tumben?” **Andre : “Ah! Tapi, aku seneng sih. Kamu pengen tahu aku ada di mana. Jadi, sudah mulai perhatian, nih?” Issh! Apaan sih. Aku berdesis. Melempar ponsel ke atas meja belajar. Terkejut usai mendapati balasan Andre yang tak terkira. Anehnya, jantungku mendadak berdetak lebih cepat. Belum sempat aku membalas pesan dari dia, **Andre : “Besok, aku SKS pagi. Aku jemput kamu ke rumah, ya.” **Nadine : “Oke.” Tanpa berniat menanggapi pertanyaan Andre sebelumnya, aku beralih membalas pesan dengan kalimat pernyataan ‘iya’ saat dia menawarkan untuk berangkat ke kampus bersama. Terkadang, aku merasa beruntung. Andre berkenan memacari perempuan sepertiku. Padahal, di kampus kami, sudah jelas banyak mahasiswi yang mengantri untuk menjadi kekasih Andre. ****** Keesokan hari. Aku berdandan rapi. Bersiap menunggu kedatangan Andre pagi itu. Drrt drrt! **Andre : “Nad, aku udah di depan rumah kamu.” **Nadine : “Oke, bentar. Aku mau pamit dulu sama ibu.” Tak lama setelah itu, Ceklek! Daun pintu rumah terbuka. Manik mata ini sontak tertuju pada sosok Andre, yang sedang bersandar pada sisi depan bagian mobil. Hembusan napas mencuat keluar begitu saja. Degup jantung kembali berdetak tak beraturan. Paras tampan Andre, benar-benar berhasil membuat ludahku tertelan. “Udah, yuk. Berangkat,” Aku menyapa. Mengalihkan rasa bergelojak dengan ajakan untuk beralih dari depan halaman rumah. Mesin kendaraan terdengar. Andre mulai melajukan mobil berwarna hitam. Namun, Di ujung jalan perumahaan. “Nad, aku mau isi bensin dulu nih,” Andre berujar. “Oh, iya. Nggak apa. Masih ada waktu, kok. Nggak bakal telat juga, kalau cuma mampir isi bensin,” Aku menyahut. Masih belum berpikiran macam-macam atas kalimat yang Andre lontarkan. Hanya saja, Setiba kami di pom bensin. “Nad, kamu ada duit dua ratus ribu, kan?” Andre berucap tanpa basa-basi. Sesaat sembari menyentuh ujung kepalaku dengan tangan kiri miliknya. Bola mataku menyipit. Dua ratus ribu? Bisa berangkat kuliah dengan mengendarai motor saja, aku sudah bersyukur. Lantas, membeli bensin dengan harga dua ratus ribu? Hal tersebut tak pernah terlintas di dalam benak. Tapi, pagi itu Andre bertanya blak-blakkan padaku. Bertanya, apa aku punya uang dua ratus ribu? Aku terdiam sejenak. Lalu, memberanikan diri berkata, “Dua ratus ribu? Banyak sekali untukku, Ndre. Ayah hanya memberiku uang jajan harian sebanyak lima puluh ribu aja.” “Ehm, jadi nggak ada nih?” Andre mengkonfirmasi. Tanpa menyahut, aku mengecek isi dompet. Empat lembar uang lima puluh ribuan terpaksa keluar dari dalam tempat penyimpanan. Dengan sedikit ragu, aku menyodorkan uang tersebut pada Andre. “Oke, kamu tunggu sebentar, ya.” Andre menuruni mobil, sesaat usai berkata demikian. Tak ada ucapan terima kasih. Dia hanya segera menyelimur pergi. Seorang petugas pom bensin baru saja menunduk sebagai tanda salam hormat. Andre kembali menduduki bangku pengendara mobil pada sisi kanan. Memasang sabuk pengaman. Menyalakan mesin. Melajukan kendaraan. ****** Di dalam perjalanan. “Nad, kamu sudah sarapan?” Andre bertanya. Memecah keheningan. “Sudah, kok.” “Tapi, aku belum.” “Mau mampir sarapan dulu?” “Tapi, kamu sudah sarapan.” “Ehm, nggak apa. Tadi, aku cuma sempet sarapan roti sama selai stroberi kok. Kalau gitu, kita mampir di depot soto sebelum arah kampus aja?” Aku menyarankan. Andre mengangguk mengiyakan. ****** Tak berapa lama kemudian. Andre menepikan mobil. Tepat di depan depot soto yang hendak kami tuju. “Nad, tapi kamu masih ada duit, kan?” Andre bertanya. Bergerak melepas sabuk pengaman. Duit lagi? Aku berdecak. “Nggak ada, Ndre. Tadi kan, duit aku dua ratus ribu udah kamu pinjam.” “Pinjam?” Andre memekikkan suara. Ck! Sebuah seringaian menyertai pekikan suara Andre. Kemudian, “Ya udah, kalau gitu kita nggak usah mampir sarapan. Mendadak aku jadi nggak napsu makan,” Andre berujar. Kembali melajukan mobil menuju arah kampus. Aku tak henti tercengang. ****** Sesampainya di kampus. Usai turun dari dalam mobil, kami berjalan menuju arah yang berbeda. Yah! Mengingat, fakultas kami memang tak sama. Di dalam perjalanan menuju arah kelas, aku berpapasan dengan Tania. Ia baru saja keluar dari parkiran motor pada sebuah sudut universitas. “Hai, Nad,” Suara Tania terdengar lantang. “Hai,” Aku menyahut sapaan. Menoleh dengan gurat tak terlalu sumringah. Meski begitu, Tania si temanku ini, amat dipenuhi dengan semangat. Ia segera memeluk tubuhku dari arah belakang. Mendaratkan tangan kanan pada sisi bahu milikku. Berbisik tepat pada sisi telinga sebelah kiri, “Nad, kok aku nggak lihat motor kamu sih di parkiran?” Dengan sedikit malas, aku menjawab, “Aku tadi berangkat bareng Andre, Tan.” Tania memanggut-manggutkan dagu, “Oh, pantes aja.” “Pantes apa?” Aku menyahut sembari menautkan alis. “Enggak, nggak apa. Wajar kok, namanya juga sedang berada di dalam status berhubungan. Jadi, berangkat pulang ada yang mengantar,” Teman terdekatku itu mencibir pelan. Sesekali, meringis; melempar godaan. “Apaan sih, Tan,” Aku menyahut dengan muka masam. Bagaimana tidak, alih-alih merasa senang; berangkat bersama seorang laki-laki tampan berstatus pacar. Aku justru merasa tak nyaman. Banyak hal janggal, yang kudapati dari beberapa gerak gerik Andre belakang hari. Di sela aku dan Tania berbincang, ponsel dari dalam tas bergetar. Getaran itu menghujam. Memaksa agar aku segera membalas pesan yang ditujukan. Benar saja, **Andre : “Nad, udah sampai di kelas?” **Andre : “Nanti, kamu selesai kuliah jam berapa?” **Andre : “Kayaknya, aku entar nggak bisa antar kamu pulang.” **Andre : “Ada rapat bareng anak BEM, ntar.” **Andre : “Nggak apa-apa, kan?” Issh! Ini orang enak sekali. Setelah menawarkan diri untuk menjemput ke rumah dan berangkat ke kampus bersama, meminjam uang empat lembar berwarna biru, sekarang tiba-tiba dia berkata tak bisa mengantarku pulang? Mengapa seenaknya seperti itu? Aku bergumam. Memenuhi garis wajah dengan kerutan kesal. “Nad, ada apa?” Tania spontan bertanya. Sesaat usai melihat mimik wajahku berubah. “I-ini, Tan. Andre—” “Andre kenapa?” “Dia bilang, entar sore nggak bisa nemenin aku balik. Intinya, aku harus balik sendiri. Tapi—” Tania mengangkat alis. Bersiap mendengar kalimat yang sedang terjeda. “Tapi, aku nggak ada ongkos buat balik.” “Ehm, gitu. Ya sudah sih, ntar sore balik bareng aku aja,” Tania membuat keputusan. Tanpa banyak pikir, tawaran itu terlontar. “Bener, Tan? Nggak apa?” “Ya dong, kan kita juga udah biasa saling anter jemput. Yah, itu sih. Sebelum kamu punya pacar,” Tania menyahut. Menyengir lebar. Dan, Drrt drrt! **Andre : “Sekali lagi, maaf. Aku nggak bisa nganterin kamu pulang.” Pesan telah k****a. Namun, hanya kubalas dengan raut masam. Sembari mengumpat, Andre benar-benar menyebalkan!    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD