BAB 3

1836 Words
Keesokan hari. Andre tiba-tiba sudah tiba di rumah. Ia bahkan sedang berbincang dengan ibu pada dudukan yang ada di teras. Sedangkan, aku hanya mengintip gerak gerik ketiga orang di sana. Yah! Aku sedang melihat interaksi Andre dengan ayah, yang sedang hendak berangkat bekerja. Lalu, melanjutkan bahan obrolan dengan ibu. Entah, apa yang mereka obrolkan. Hanya ada sayup-sayup yang sedikit terdengar dari sisi dalam ruangan. Melihat ibu beranjak dari posisi duduk semula, aku memundurkan langkah. Tak lagi, berada tepat di balik sisi jendela, yang tak dapat dilihat dari arah luar. Dengan langkah cepat aku menuju kamar mandi. Hanya saja, sepertinya ibu memilih mencariku di kamar. “Nak, ini ada Nak Andre. Katanya, mau berangkat ke kampus bareng. Kok kamu belum siap-siap?” Suara ibu terdengar. Sesaat sebelum suara daun pintu kamar yang terbuka. Sepertinya, Nadine sedang mandi. Ibu bergumam, Dan, “Ada apa, Bu?” Aku menyahut. Berjalan keluar dari sisi kamar mandi. Menatap ibu dari kejauhan. “Ada Nak Andre, tuh. Katanya, mau berangkat ke kampus bareng. Kok, kamu masih acak-acakan sih? Tadi, nggak sekalian mandi?” Ibu bertanya. Memperhatikan penampilanku yang masih lengkap dengan piyama. “Nadine baru aja cuci muka, Bu. Lagi pula, Nadine nggak ada kelas pagi. Jadi, entaran aja mandinya.” “Loh? Tapi, Nak Andre bilang—” Ibu menghentikan ucapan. Mengalihkan pandang menuju sisi depan rumah. “Ya sudah, Bu. Sebentar, biar Nadine ke depan dulu.” “Tapi, Nak?” Ibu mencekal lengan sisi kanan milikku. “Ada apa, Bu?” “Masa iya, kamu keluar masih pakai piyama?” “Nggak apa-apa dong, Bu. Lagi pula, Nadine sudah cuci muka dan gosok gigi,” Aku berujar santai. Berlalu meninggalkan ibu seorang diri. ****** Di depan teras rumah. Andre segera menatap seorang perempuan berpakaian piyama. Lalu, beralih menyapa. “Hai, Nad?” “Kok kamu ke sini, sih? Aku lagi nggak ada SKS pagi.” “Oh, ya?” Andre melebarkan mata. “Seperti yang kamu lihat. Aku bahkan belum mandi,” Aku menurunkan posisi kepala. Menatap diriku sendiri. “Oh, gitu. Ya sudah kalau gitu, aku ke kampus duluan deh, ya?” Tak ada sahutan. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Namun, Sesaat usai Andre memutar tubuh; membelakangi posisiku. “Sial! Jadi, nggak bisa minta duit bensin lagi nih, gue,” Suara itu terdengar. Tak lantang. Lirih sekali di dalam telingaku. Apa aku tidak salah dengar? Aku bergumam. Menelengkan kepala. Menatap Andre yang kini berbalik arah kepadaku. Melambai tangan sembari tersenyum. Kemudian, beralih masuk ke dalam mobil. Ini aneh sekali. Aku benar-benar yakin, jika Andre berkata akan meminjam uangku lagi. Ah! Meminta? Entahlah. Aku menyugar puncak kepala. Membuat sisi depan rambut milikku menjadi berantakan. ****** Di dalam rumah. Tepatnya, usai aku kembali masuk ke dalam kamar. Ponsel di atas nakas bergetar. Nama Tania muncul di dalam layar. **Tania : “Nad, berangkat bareng Andre lagi?” **Nadine : “Enggak nih.” **Tania : “Ya udah, entar aku jemput ya di rumah? Balik ngampus, sekalian nemenin aku beli kado buat Mama.” **Nadine : “Siap.” ****** Setiba kami di kampus. “Nad, Andre tuh,” Tania berujar. Membuat kepalaku sontak menoleh pada sebuah arah. Benar saja, Andre sedang berjalan menyusur salah satu jalanan menuju sebuah fakultas. Tentu, dia tak seorang diri. Melainkan, bersama teman-teman sekelas. Ehm, atau bersama teman-teman BEM. Aku tak terlalu mengenal sosok mereka. Dan, di saat aku hendak menyapa Andre. Pria dengan garis wajah rupawan itu, justru bersibuk berbincang dengan para kawan. Seolah berlaga tak melihat sosokku, yang baru saja berpapasan dengan dia. Nyaliku menciut. Tak dapat dipungkiri, jika Tania juga menyadari hal tersebut. “Nad?” Tania berbisik. Sesaat usai kami melintas pada arah jalan menuju sisi fakultas. Aku menoleh. “Ngomong-ngomong, tumben tadi nggak berangkat bareng Andre lagi?” Sepertinya, kejadian baru saja, membuat Tania menjadi penasaran. Aku menggeleng pelan. Menambahkan, “Tadi pagi, Andre ke rumah. Tapi, aku belum mandi. Jelas, kan kita memang tak ada SKS pagi.” “Terus, kok dia ngejemput kamu? Memang, dia nggak tahu jadwal kelas kita hari ini?” Aku mengedikkan bahu. Berkata, “Entahlah, tadi pagi tanpa permisi; tanpa berkirim pesan, dia tiba-tiba muncul di depan rumah.” Tania menggerucutkan bibir. Berujar lirih, “Kok aneh sih?” ****** Di depan lift fakultas. Aku dan Tania sedang mengantri dengan mahasiswa lain. Di sela kami menunggu lift berdenting, seseorang terdengar menyuarakan nama Nadine. “Nadine?” Benar, mahasiswa tersebut baru saja memanggil namaku. Refleks, aku menoleh pada sumber suara. “Kak Rendy?” “Hai, Nad,” Rendy mengulang sapaan. Beralih menatap Tania, yang sedang berada di sampingku. “Ah, iya. Kenalin, Kak. Ini Tania, dia temen sekelas Nadine,” Aku memperkenalkan. Rendy segera menyalamkan tangan. Tania membalas salaman tangan tersebut. Menunduk singkat. Mengingat-ingat sosok Rendy, yang baru saja kusapa dengan cukup akrab. Ting! Pada saat bersamaan, lift berbunyi. Kami bertiga masuk bersama-sama. Rendy melanjutkan ucapan, “Oh, iya Nad. Jam dua belas siang nanti, kami akan mengadakan rapat dengan tim pecinta alam. Kamu bisa ikutan, kan?” Aku mengangguk pelan, “Bisa, Kak.” “Oke deh, nanti aku tunggu di gazebo sisi barat, ya.” “Siap, Kak.” ****** Kini, lift telah sampai pada tujuan. Kami bertiga keluar bergantian. Namun, aku dan Tania harus berpisah arah dengan Rendy. Yah! Rendy adalah kakak tingkat sejurusan kami. Sewaktu penerimaan mahasiswa baru, salah satu kegiatan jurusan kami diisi dengan agenda pengisian form perihal minat dan bakat di bidang non-akademis. Kebetulan, aku memberi tanda centang pada kolom pecinta alam. Dan, pada saat itulah kali pertama aku berkenalan dengan Rendy. Seorang kakak tingkat, yang berperawakan tinggi jakung, disertai paras tampan dengan tambahan lesung di pipi. Sembari berjalan menuju arah kelas, Tania menanyaiku. Tak heran. Mengingat, Tania memiliki sifat ingin tahu yang sedikit berlebihan. “Itu Kak Rendy kakak tingkat kita, kan?” “Iya.” “Terus pecinta alam? Pecinta alam apaan?” Pada akhirnya, perjalanan kami menuju ke kelas berakhir dengan penjelasan perihal awal mula pertemuanku dengan Rendy. ****** SKS pertama telah usai. Sebelum menuju ke kantin, aku menyempatkan diri untuk menuju gazebo sisi barat; sesuai yang Rendy instruksikan. “Tan, ikutan kan?” “Tapi, aku nggak ada minat nih di pecinta alam.” “Nggak apa. Ikutan rapat pembahasannya aja. Nggak harus jadi anggota kok.” Tania mengangguk kepala. Kami berjalan menuju sisi gazebo. Benar saja, kerumunan para anggota telah berada di sana. Aku dan Tania turut duduk bersama. Kami memilih tempat pada sisi paling belakang. Namun, Pada saat bersamaan, seseorang menepuk pundakku dari arah belakang. Puk! Aku terkejut. Sontak, menoleh. Demikian pula dengan Tania. “Andre?” Aku berseru. “Ada apa?” “Udah buruan, sini ikut aku!” Andre berujar. Memaksa. Dengan sedikit berat, aku beranjak. Berjalan mengikuti Andre, yang sedang membawaku menjauh dari kerumunan. “Ada apa?” Aku bergerak. Melepas cengkraman tangan yang Andre tujukan. “Entar sore, balik ngampus sama aku aja.” Spontan, alis pada sisi atas kedua bola mataku bertaut. Dia seenaknya saja! “Aku nggak bisa, Ndre. Sore ini, aku sudah ada janji sama Tania.” “Janji sama Tania? Jadi, kamu lebih mementingkan Tania?” Suara Andre terdengar naik satu oktaf. “Nggak boleh! Pokok, nanti sore aku tunggu kamu di parkiran. Kamu balik bareng aku aja,” Andre berujar. Kemudian, berlalu pergi begitu saja. Issh! Aku berdesis. Lalu, kulajukan langkah menuju posisi semula. “Nad, ada apa?” Tania berbisik. Aku menggeleng. “Tadi, Andre kok ngebentak kamu sih?” Aku mengedikkan bahu. Kembali mengajak Tania memusatkan pandangan dan pendengaran pada sosok pemimpin pertemuan pecinta alam. ****** Sesaat usai rapat pertemuan diadakan. Drrt drrt! **Andre : “Inget, entar sore balik bareng aku ya, Nad.” Tanpa membalas, aku segera menyampaikan permintaan maaf pada Tania. Tentu, perihal aku yang tak bisa menemani Tania membeli kado pada sore itu. Tania mengangguk kepala. Memaklumi keadaan yang sedang kulalui. ****** Hanya saja, Pukul lima sore. Sudah satu jam aku menunggu kedatangan Andre di parkiran mobil. Namun, Andre belum juga menampakkan diri. Ia juga tak segera membalas pesan dariku. Pesan berisi pertanyaan, kapan ia akan tiba? Perasaan kesal tak dapat membendung diri. Aku bergegas pergi menuju sisi depan kampus. Beruntung, kendaraan online yang kupesan segera tiba. “Mbak Nadine, ya?” “Iya, Mas. Ayo,” Aku mengajak. Menggunakan helm dan bergegas naik ke atas kendaraan roda dua. ****** Di dalam perjalanan. Mas ojek yang sedang mengendarai motor, tak henti mengeluarkan suara. Ia terdengar sedang mengeluarkan keluh kesah. “Pacar saya, belakangan hari ini aneh, Mbak.” Blablabla Dia tak henti bercerita perihal sang kekasih yang sering meminta dibelikan pulsa. Namun, jarang menelepon mau pun berkirim pesan dengan dia. Aku hanya memanggut-manggutkan kepala. Sedikit merasa empati. Tak terasa, “Sudah sampai nih, Mbak.” “Siap, Mas. Terima kasih banyak. Terima kasih juga sudah membuat perjalanan saya ke mari, tak terasa sepi.” Si Mas ojek tersebut menyengir sungkan. Lalu, berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. ****** Pada sisi depan sebuah kamar kos. Tok-tok! Aku mengetuk pintu. Tak lama setelah itu, Tania menampakkan diri. “Kok kamu di sini, Nad?” Tania bertanya heran. Bercelingukan, “Sendiri?” “Iya, nih.” Tania mengarahkan aku ke dalam kamar. Lalu, aku menyampaikan maksud dan tujuanku menuju kos milik Tania. “Oh, ya udah sih. Ayo aja, kita berangkat sekarang,” Tania mengiyakan ajakanku untuk menemani ia pergi mencari kado. ****** Sore itu, aku kembali melanjutkan perjalanan. Yakni, menuju sebuah mall di wilayah Kota Jakarta. Jalanan yang cukup padat, membuat Tania harus ekstra sabar saat mengendarai kendaraan roda empat. Yah! Karena kami akan pulang cukup larut, Tania memutuskan untuk mengendarai mobil dibanding motor pada saat itu. Meski, anak rantau. Namun, Tania beruntung. Ia berasal dari keluarga yang cukup kaya. Selain tinggal pada sebuah kos yang cukup mewah. Tania juga berkuliah di Jakarta, dengan dibekali alat transportasi baik roda dua mau pun roda empat. ****** Sesampainya di basemen. Tania sedang berputar-putar; mencari lokasi kosong untuk memarkirkan kendaraan. Di sela, Tania memutar kemudi pada sebuah lahan, aku tak sengaja melihat mobil yang cukup kukenal. Namun, aku tak dapat memastikan jika pengelihatanku benar. Hingga, “Nad, nggak turun nih?” Tania memecah lamunan. Aku gelagapan. Kemudian, mengikuti langkah Tania yang sedang keluar dari dalam mobil. “Ayo,” Tania mengajak. Sembari menoleh ke arah belakang, aku mencoba memastikan suatu hal. “Tan, bentar deh ya.” Tak menunggu lama, aku menuju sisi depan sebuah mobil lain. Bukan mobil milik Tania. Sontak, manik mataku melebar. Dan, Tut.. tut.. *Andre* Aku menujukan panggilan keluar. Tapi, tak kunjung kudapati jawaban dari seberang. “Ada apa, Nad?” Tania bertanya. Sesaat usai menghampiri posisiku berada. “Ini mobil Andre, Tan,” Aku berucap. Memastikan nomor plat beserta pajangan kecil yang berada pada sisi spion kaca tengah. “Bukannya tadi dia nggak jadi balik sama kamu, karena ada rapat BEM?” Gelengan kepala terus menjadi penyerta ekspresi diri, yang sedang tak mampu memahami situasi. Sedangkan, perihal rapat BEM? Itu adalah kesimpulan yang kubuat sendiri. Demikian pula, saat aku menyampaikan alasan pada Tania perihal kehadiranku secara tiba-tiba di kosan miliknya. Namun, Aku nggak nyangka, Ndre. Kamu justru pergi ke mari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD