BAB 4

1965 Words
Pukul sebelas malam. Beberapa menit setelah aku menuntaskan aktivitas mandi dan memasuki area kamar pribadi. Layar pada ponsel di atas nakas, berkedip. Seraya, baru saja mendapat banyak pesan masuk di sana. **Andre : “Nad?” **Andre : “Kamu tadi sore balik ke rumah bareng siapa?” **Andre : “Halo, Nad?” **Andre : “PING!” **Andre : “PING!” Pesan tersebut baru k****a. Dan, Getaran tak henti merasuk ke dalam ponsel yang sedang dalam posisi menyala. *Andre* Benar! Panggilan masuk itu, berasal dari seorang laki-laki tampan yang tak bisa sabar dalam menunggu balasan. “Halo, Ndre?” Dengan sedikit bernada malas, kusapa dia. “Kamu lagi ngapain, sih?” “Lama banget, nggak bales-bales pesan aku?” “Dan, sore tadi kamu balik sama siapa?” Pertanyaan itu memekak gendang telinga. “Aku baru selesai mandi. Sore tadi, aku balik naik ojek online.” Tiba-tiba, “Ah, bohong! Aku nggak percaya,” Suara Andre memekik. Bohong? Bukankah, kamu yang sedang berbohong, Ndre? Namun, “Aku seriusan. Tadi sore, aku balik naik ojek online. Aku ke kos Tania. Karena kamu nggak jadi nganter aku pulang, aku mutusin buat ke kos Tania. Nepatin janji aku ke dia, buat cari kado untuk Mama Tania yang sedang ulang tahun.” “APA? Terus, kenapa kamu nggak pamit dulu sama aku, Nad?” Pamit? Dahiku berkernyit. “Nad?” Andre kembali mengeluarkan suara. Sesaat usai tak mendapati jawaban dariku. “Memang, aku harus pamit dulu gitu ke kamu, Ndre?” “IYALAH!” Astaga! Sontak, kujauhkan ponsel dari sisi telinga. Lagi-lagi, karena perasaan kesal yang tak terbendung. Aku memutuskan untuk melempar pertanyaan ulang pada Andre. “Lagi pula, kamu sendiri tadi sore ke mana? Kamu sudah janji buat anter aku balik. Tapi, sejam Ndre. Sejam! Satu jam aku nunggu kamu di parkiran. Kamu nggak nongol. Kamu juga nggak balas pesan dari aku,” Aku memprotes Andre pada saat itu juga. Rasanya, amarahku tak lagi bisa terbendung di dalam ubun-ubun kepala. Tanpa memberi jawaban, Andre justru beralih mengakhiri panggilan. Menutup sambungan telepon tanpa berpamitan. Haish! Perasaan kesal, membuatku melempar ponsel pada sisi atas ranjang. Bug. Ponsel terpental. Namun, kembali memunculkan getaran. Apa lagi, sih? Aku meraih ponsel tersebut. Menatap layar yang memunculkan notifikasi. **Kak Rendy : “Nad, gimana rapat pertemuan tadi?” **Kak Rendy : “Jadi ikut kemah, kan?” **Kak Rendy : “Aku kirim rundown acara ke kamu, ya.” Sebuah lampiran kuterima. Tanpa memberi balasan, aku meletakkan ponsel pada nakas. Menyudahi hari yang telah larut malam dengan merebahkan tubuh di atas ranjang. Memejamkan mata. Lalu, terlarut dalam tidur, usai melalui hari yang cukup panjang. ****** Keesokan hari. Lagi-lagi, Andre telah berada di depan rumah. Melihat sosok dia, aku aku kembali merasa de-ja-vu. Seakan, aku sedang berpacaran dengan Bagas -mantan pacar sewaktu SMA. Bagaimana tidak, memori perihal perbincangan dengan Mas ojek online pada kemarin sore, tiba-tiba terngiang. Mengingatkan sosok Bagas di dalam pikiran. Dan, kini? Andre? Akankah, kejanggalan yang kurasa, benar halnya disebabkan oleh Andre yang juga toxic? Dengan sedikit ragu, aku melangkah keluar rumah. Membawa serta tas jinjing beserta beberapa tumpuk proposal tugas mata kuliah. “Eh, Nak. Ya sudah buruan berangkat, gih. Nak Andre juga sudah nungguin kamu dari tadi,” Ibu berujar. Bangkit dari duduk. Menyalamkan tangan. Aku dan Andre bergantian mencium tangan kanan ibu. Kelembutan jemari lentik itu, sedang memberi ijin pamit pada seorang mahasiswa laki-laki; untuk membawa sang putri pergi ke kampus bersama. ****** Di dalam perjalanan. Aku tak henti menggeliat. Hari ini, tak biasa aku meninggalkan makan pagi. Kebetulan, ibu memang sedang tak memasak. Dan, untuk makan selehai dua helai roti, aku terlupa; karena lebih dulu berfokus pada kedatangan seorang laki-laki, yang sedang menyetir kendaraan untukku. Sehingga, “Ndre, pagi ini kita mampir makan soto dulu ya. Aku belum sempet sarapan,” Aku memulai obrolan. Andre tak menjawab. Sepertinya, ia sedang dalam mode diam karena perasaan kesal usai berdebat denganku kemarin malam. Lantas, mengapa dia datang menjemput jika masih kesal? ****** Pada sebuah depot soto. Terletak beberapa meter sebelum menuju universitas. Karena aku lebih sering memesan soto di sana, jadi pagi itu aku yang memesan makanan. “Dua mangkuk ya, Bu. Ehm, minumnya teh hangat saja,” Aku berujar. Kembali menuju meja makan. Andre tak berniat mengeluarkan sepatah kata. Dia hanya sesekali mengusap rambut pada bagian depan. Seakan berlaga tebar pesona pada beberapa mahasiswi yang sedang sarapan di sana. Melihat Andre bersibuk dengan ponsel, maka aku melakukan hal yang sama. Yakni, kusibukkan diri dengan menggulir layar pada beranda sosial media. “Ini Mbak, pesanannya.” Pesanan kami baru saja diantar. Sewaktu sedang makan, aku ingin menambahkan kecap manis. Namun, di meja kami kecap tersebut dalam keadaan habis. Sontak, aku beranjak. Meminta botol kecap manis, yang masih terisi penuh pada si penjual soto. Hanya saja, “Kamu lagi ngapain, Ndre?” Aku sedikit meninggikan suara. Sesaat usai melihat Andre menggerakkan jemari pada ponsel milikku. Yah! Sewaktu meminta botol berisi kecap yang terisi penuh, aku sengaja meninggalkan ponsel dan tas jinjing di atas meja. Bukan karena ceroboh. Memang, aku sedang mempercayakan barang-barang milikku pada Andre di sana. Tapi, Melihat dia menggerakan jemari pada layar ponsel yang bukan miliknya, membuatku kesal. “Kamu lagi ngecek ponsel aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Andre memberhentikan pergerakan. Menatap manik mataku dengan tajam. Berkata, “Apa-apaan nih? Jadi, kamu nggak cuma sekedar ikut rapat pertemuan? Tapi, juga berkirim pesan sama Rendy?” “Kak Rendy?” Aku mengkonfirmasi. “Wah, kalian sedang dalam tahap berhubungan kakak adik?” Andre bertanya tak terduga. Aku tak paham dengan jalan pikiran Andre yang tak menentu. “Apaan sih? Aku nggak paham sama maksud kamu,” Aku menyahut. Tak lupa, meraih ponsel dari genggaman tangan dia. Namun, Andre sedang mengenggam erat ponsel tersebut. Berkata, “Bentar, napa!” Astaga! Mimpi apa diriku semalam? Aku bergumam. Kembali menjejalkan p****t pada dudukan. Menggapai sendok dan beralih untuk melanjutkan agenda makan. Berusaha tak peduli pada sosok Andre yang sedang mengutak-atik ponsel. Entah, dia sedang apa? Beberapa saat kemudian, “Udah yuk, buruan. Aku keburu telat masuk kelas,” Andre berujar. Meletakkan ponsel milikku setelah merasa puas berselancar di dalam layar. Nasi soto yang masih tersisa setengah, terpaksa kutinggalkan begitu saja. Aku bergegas membereskan barang bawaan. Dan, Aku lagi nih, yang bayar? Haish! Terpaksa, aku menuju meja kasir. Membayar tagihan untuk dua mangkuk soto dan es teh manis yang sempat kami pesan. ****** Sesampainya di kampus. Aku dan Andre sedang berlalu masing-masing. Dengan langkah sedikit gontai, aku berjalan menuju fakultas. Di dalam perjalanan. “Hai, Nad. Kok lesu banget sih?” Rendy menyapa dari arah belakang. Berjalan menyampingi posisiku di sebelah kanan. “Pagi ini, Nadine kurang sarapan, Kak,” Aku berujar. Tak berpikir sebelum melontarkan jawaban. “Ehm, gitu. Ya udah ayo, aku temenin sarapan.” Hah? Aku melongo. “Enggak, Kak. Enggak, Nadine nggak serius kok.” “Serius juga nggak apa, Nad.” Refleks, aku menyengir. Bagaimana tidak, sebulan berpacaran dengan Andre, hanya aku yang lebih sering mengajak ia makan bersama lebih dulu. Kami belum pernah pergi nonton film. Belum pernah dinner bersama di luar. Dan, aku takkan berharap berlebihan. Mengingat, setiap kali kami makan bersama, hanya aku saja terus menerus membayar tagihan pemesanan. Sedangkan, mendengar Rendy mengajakku makan lebih dulu, membuat sebuah ukiran senyum menyumbul begitu saja di wajah. Beruntung, aku berhasil menyembunyikan gurat manis itu. Pada saat bersamaan, Drrt drrt! **Andre : “Awas, nggak usah kecentilan sama si Rendy, Rendy-mu itu.” Kalimat berisi penegasan menjadi bidik membosankan di dalam retina. Aku tak membuka pesan yang Andre kirim. Aku hanya melirik melalui kolom notifikasi ponsel yang menyala. Lagi pula, bagaimana bisa Andre tahu, jika aku sedang berjalan bersama dengan  KakRendy saat itu? Apa dia sedang diam-diam memperhatikan? Issh! Aku bersimpul sembari sedikit merinding membayangkan perilaku Andre, jika benar demikian. ****** Di dalam kelas. Tania menyampingi posisi duduk milikku. Menanyakan perihal buku catatan yang kemarin sempat kupinjam. “Tenang, aku bawa buku catetan kamu kok,” Aku menyahut. Mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas. “Tadi, kamu berangkat bareng Andre lagi, Nad?” “Iya,” Aku mengangguk. Menyodorkan buku catatan milik Tania.   ******* Mata kuliah telah usai. Dan, sialnya!   Tak ada satu pun penjelasan dari dosen yang masuk ke dalam kepala. Bagaimana tidak, selama dua jam terakhir, aku bersibuk berbalas pesan dengan Andre. Laki-laki itu, tak henti menghujam ponselku dengan beragam pesan. Seolah, Andre tak sedang berada di dalam jam kuliah. Drrt drrt! **Andre : “Aku tunggu di parkiran.” Perjalanan menuju area parkir mobil, kusertai dengan bibir mengerucut. Jika saja, pagi tadi aku mengendarai motor, aku tak perlu kembali pulang bersama Andre. Tak perlu berada di dalam satu kendaraan yang sama. Ini mengesalkan! Aku sedang berpacaran? Atau, sedang terkurung di dalam sangkar? ****** Beruntung, sore itu Andre tak mengingkari janji. Bahkan, dia telah sampai lebih dahulu di area parkir. “Ayo,” Aku mengajak. Kami memasuki mobil bersamaan. Setelah membahu beberapa meter perjalanan. Andre kembali memberhentikan mobil pada sebuah pom bensin. Berujar, “Aku pinjem duit kamu lagi, dua ratus ribu.” “APA?” “Kenapa teriak sih?” Andre menimpali dengan gurat kesal. “Pinjem duit lagi? Yang kapan hari aja, belum kamu balikin, Ndre. Lagi pula, pagi tadi duit aku sudah kepakai untuk bayar soto. Jadi, mana ada aku dua ratus ribu?” “Serius, nggak ada?” “Ya, iya. Nih kamu lihat,” Aku menyodorkan ruang penyimpanan pada dompet. Hanya tersisa satu lembar uang seratus ribu, yang pagi tadi sempat kuambil dari laci meja belajar. Lokasi; tempat aku menyimpan beberapa uang saku, yang berhasil kukumpulkan. “Ya udah, seratus ribu juga nggak apa,” Andre menyahut. Beserta membawa pergi satu lembar uang berwarna merah tersebut. Astaga! Daun pintu mobil baru saja tertutup. Kulihat Andre sedang mengisi tangki bensin bersama seorang petugas pom. Namun, dia tak membeli bensin seharga seratus ribu. Melainkan, dua ratus ribu dari hasil uang tambahan yang ia ambil dari dalam dompet miliknya. Jika, dia memiliki uang, lantas mengapa meminta uang milikku? ******* Andre baru saja kembali masuk usai tangki bensin pada mobil terisi sedikit penuh. Di dalam perjalanan. Sembari menatap jalanan pada sore itu, aku memberanikan diri untuk bertanya perihal alasan Andre tak kunjung tiba kemarin sore. “Kamu kemarin sore ke mana aja?” “Ke mana gimana maksud kamu?” “Kamu janji nganter aku balik. Tapi, sejam kamu nggak nongol di parkiran. Terus, sewaktu jam tujuh malam, mengapa mobil kamu ada di parkiran mall?” Aku mencerca dengan beragam pertanyaan sekaligus. “Kamu mulai over protektif sama aku?” Over protektif? Bukankah, kamu yang over, Ndre? Aku memekik di dalam batin. “Udah jawab aja. Kamu ke mall sama siapa?” “Kamu salah lihat. Dari jam empat sore sampai malam, aku masih di kampus. Ada rapat sama anak-anak BEM.” “Bohong!” Aku meninggikan nada. Andre memelotot parah. “Kamu berani ngebentak aku, Nad?” Kamu juga sering bentak-bentak aku, Ndre. Hanya saja, aku memilih diam. Mengatakan kalimat tersebut di dalam hati. ****** Tak terasa, deru kendaraan terdengar lirih. Andre baru saja memberhentikan mobil di depan halaman rumah, yang sedang dikontrak oleh ayah dan ibu. Yah! Di Jakarta, kami tak memiliki rumah. Semenjak ayah dan ibu melanjutkan pendidikan kuliahku di Jakarta, mereka memilih mengontrak sebuah rumah sederhana. Tak mewah. Namun, setidaknya masih cukup luas untuk dihuni bertiga. “Nad, entar jangan lupa balas pesan aku,” Andre berujar. Mengingatkan. Sesaat sebelum aku benar-benar menghilang dari dudukan sisi penumpang. Aku terdiam. “Nad?” Andre meninggikan nada. “Iya, ah!” Aku menyahut kesal. Menampakkan gurat tak senang. Selagi aku berjalan menuju sisi depan pintu rumah. Drrt drrt! **Andre : “Awas, kalau kamu online tanpa membalas pesan dari aku. Jangan bilang, kamu sedang berbalas pesan sama kakak tingkatmu itu.” Aku menoleh. Andre bahkan belum melajukan kendaraan. Namun, justru menyempatkan diri untuk mengirim pesan berisi kalimat mengancam. Menyebalkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD