Dalam sepuluh menit, Dylan sudah berada di kafe kecil itu dan menyaksikan semua keributan menjelang dibukanya kafe untuk jam sarapan. Ada dua hal yang membuatnya datang lebih cepat. Pertama, tentu saja karena ia harus mendapatkan meja sebelum jam sarapan yang biasanya sangat ramai, dan kedua, karena ia suka melihat keributan yang terjadi di dapur milik Sofia.
Selama tiga tahun ini, Dylan selalu hidup dalam kesunyian dan ketenangan karena tidak pernah ada orang lain di apartemennya. Meskipun menyukai itu, kadang Dylan merindukan keributan seperti yang dulu selalu ia dapatkan saat masih di rumah. Ibunya akan selalu menyemarakkan rumah dengan ocehannya yang dulu selalu membuatnya dan Nathan jengkel.
Lucu bahwa kadang hal-hal menjengkelkan semacam itu menjadi sesuatu yang paling dirindukan saat kebiasaan tersebut hilang. Karena itulah, Dylan sering berada di tempat Sofia pagi-pagi seperti ini hanya agar mendengar dan juga melihat keributan yang ia rindukan.
Hanya saja, pagi ini ada pemandangan berbeda yang dilihatnya. Selain Sofia dan staff dapur lain yang sudah sering Dylan lihat, ada satu sosok lain yang sebelumnya tidak ada di sana. Seorang gadis berambut pirang dan bertubuh lumayan tinggi untuk seorang wanita, tengah berdiri di dekat kulkas besar, seakan ia ingin menenggelamkan diri di ceruk antara kulkas dan lemari dapur itu.
Namun tentu itu gagal. Badannya agak terlalu besar untuk masuk ke ceruk kecil itu, dan tentu rambut pirangnya yang bersinar akan menarik perhatian siapa saja. Rambut pirang yang tidak Dylan sukai.
Akan tetapi, Dylan mendapati dirinya mengamati gadis itu sejak ia pertama kali memasukki dapur. Ia tahu siapa pemilik rambut pirang itu. Gadis metal yang kemarin bertengkar dengannya karena muffin.
Pagi ini, si metal itu tampak lebih ‘manusiawi’ tanpa jaket kulit dan celana jins robeknya. Gadis itu hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut, kaus oblong yang tampak kebesaran di tubuhnya, juga rambut yang diikat asal-asalan di puncak kepalanya.
“Apa kau memiliki chef baru, Sofia?”
Entah mengapa, Dylan memiliki keinginan yang besar untuk membuat gadis itu kesal seperti yang terjadi saat pertemuan pertama mereka. Si barbar itu pasti akan berteriak dan melotot padanya seperti yang ia lakukan sebelumnya.
“Tentu saja. Kau ingin berkenalan dengannya?”
Selanjutnya, Dylan terkekeh sendiri saat mendapati dua wanita beradu mulut seperti sebelumnya. Apa semua nenek dan cucu memang selalu memiliki hubungan seperti itu? Ia dan neneknya juga sering sekali beradu mulut. Terutama saat neneknya mulai membahas tentang bahwa ia harus menikah.
Setelah perdebatan kecil itu, dengan setengah cemberut, Jade berbalik padanya. Dylan terhenyak dan merasa sedikit goyah. Beruntung ada meja di sampingnya yang bias ia pegang sebelum ia mempermalukan dirinya karena terjatuh gara-gara seorang gadis.
Ada apa ini? Tidak ada yang istimewa dari Jade pagi ini, ataupun hari sebelumnya. Gadis itu bahkan tampak jauh berbeda tanpa riasan gothic di wajahnya. Memperlihatkan kesan bahwa di balik penampilannya yang sangar, Jade tetaplah seorang gadis yang polos.
Matanya bulat, berwarna biru cerah, dengan bibir berwarna pink alami tanpa olesan apapun. Tidak ada yang menarik karena memang Jade bukan tipe wanita impiannya. Jadi, apa yang membuatnya goyah pasti bukan gadis itu. Ia pasti sudah kelaparan. Dylan yakin itu.
Masih dengan bibir yang cemberut, Jade mengulurkan tangannya yang berlumuran tepung. Yah, tangan berlumuran tepung memang wajar saat berada di dapur dan tengah membuat kue. Namun mengapa Dylan merasa Jade sengaja melumuri tangannya dengan tepung agar ia tidak mau bersalaman dengan gadis itu? Jari-jari panjang itu tampak baru saja dibenamkan ke dalam gundukan tepung.
Setengah tersenyum, Dylan mengulurkan tangan dan menjabat milik Jade dengan erat hingga gadis itu terkesiap. Oh, Jade jelas salah jika menantangnya. Ia seorang Galahault yang tidak akan mundur karena sebuah tantangan remeh belaka.
Mulut Jade terbuka hingga membuat Dylan merasakan dorongan kuat untuk melesakkan tubuh gadis itu ke dinding dan menciumnya kuat-kuat. Dylan tidak akan membiarkan bibir penuh itu menganga lagi di hadapannya.
Tidak, ia pasti sudah benar-benar kelaparan hingga mempunyai pikiran melantur seperti itu. Rambut pirang, mata biru, dan tubuh yang tinggi adalah hal terlarang bagi Dylan. Jade sama dengan buah terlarang yang tidak boleh ia nikmati atau ia akan terusir dari surga.
“Jade,” kata Jade datar sambil menarik tangannya dari genggaman Dylan bahkan sebelum Dylan membuka mulutnya.
“Kau tentu sudah tahu namaku. Aku sangat terkenal di sini,” ucap Dylan sambil menyeringai yang disambut cibiran gadis itu.
“Yah, tentu saja semua orang tahu siapa kau. Bahkan aku yakin semua wanita di kota ini mengenalmu dan sepak terjangmu. Apa aku benar?”
Lagi-lagi Dylan tersenyum mendengar suara sinis itu. Sudah lama sekali tidak ada wanita yang berdebat dengannya dan ini terasa seperti angin segar di pagi hari yang cerah ini.
“Dan apakah kau juga sudah mendengar sepak terjangku yang tersohor itu?”
Dylan maju selangkah lebih dekat pada Jade. Ia bisa mencium aroma vanilla dan lemon menguar dari tubuh dan rambut gadis ini. Menarik. Aroma gadis ini bahkan seperti muffin.
Jade kembali mencibir. “Aku tidak butuh tahu tentang itu. Tidak penting. Lagipula aku tidak merasa ingin tahu tentangmu. Jika bukan Granny yang memaksaku, aku bahkan tidak sudi berkenalan denganmu.”
Tangan Sofia memukul bahu Jade dengan kuat hingga gadis itu mengaduh dan menoleh marah pada neneknya.
“Apalagi salahku sekarang??”
“Aku tidak membesarkanmu untuk berkata kasar seperti itu kepada orang lain!”
Dylan menangkap sebersit rasa bersalah di wajah Jade, tetapi gadis itu kembali memasang topeng nakalnya dan melotot pada Sofia.
“Kau memang tidak membesarkanku. Dad dan Mom yang melakukannya lalu aku mengurus diriku sendiri setelah itu.”
Sofia berkacak pinggang dan semakin marah saat menatap Jade. “Lalu kenapa kau pulang kemari jika bisa mengurus dirimu sendiri? Bukankah seharusnya kau tetap di London jika memang hidupmu sudah sangat menyenangkan??”
Masalah keluarga. Seharusnya Dylan menyingkir atau menghentikan pertengkaran mereka. Namun Dylan tidak ingin melakukan dua hal itu. Ia tahu ada yang terjadi dalam hidup Jade saat melihat mata Jade yang sedih untuk satu detik.
“Jadi kau lebih memilih mati seorang diri daripada ditemani oleh cucumu? Baik! Aku bisa kembali ke London jika itu membuatmu senang!”
Gadis bodoh! Seharusnya Jade tidak mengatakan itu. Itu akan menyakiti Sofia karena Dylan tahu bagaimana wanita tua tersebut sangat menyayangi Jade. Hampir setiap kali, Sofia selalu membicarakan gadis itu saat mengobrol dengannya.
“Jade, kau tidak boleh berkata seperti itu pada nenekmu.”
Jade menoleh dan menyipit menatapnya. “Nah, apakah kau sedang berperan menjadi pahlawan sekarang? Jangan ikut campur masalah keluargaku jika kau tidak tahu apa-apa!”
Memang tidak banyak yang Dylan ketahui tentang keluarga mereka, tetapi ia tahu bagaimana perasaan yang Sofia miliki untuk cucu satu-satunya ini.
“Aku cukup tahu bagaimana Sofia menyayangimu. Seharusnya kau bersyukur masih memiliki seseorang yang menyayangimu seperti Sofia.”
Bukannya mereda, kemarahan Jade malah semakin besar. Namun kali ini, setidaknya kemarahan itu ditujukan padanya, bukan Sofia.
Jade mendekat hingga jarak mereka kini begitu dekat. Dylan bisa mencium aroma lain yang nyaris membuatnya mabuk. Aroma tubuh Jade. Bagaimana seorang gadis bisa beraroma seharum ini?
Tangan Jade terangkat dan jari ramping itu menusuk dadanya. “Hanya karena nenekku baik padamu, bukan berarti dia menceritakan segalanya. Tidak peduli bagaimana anggapan nenekku padamu, bagiku kau tetap orang asing sampai kapanpun. Jadi jangan pernah mencampuri urusan keluargaku atau kau akan merasakan akibatnya. Jangan pernah sekalipun!”
Selesai mengatakan itu, Jade berpaling dan berjalan keluar dari dapur. Dan ancaman itu, bukannya membuat Dylan gentar, justru membuatnya semakin tertantang. Ia harus tahu hal buruk apa yang telah terjadi dalam hidup Jade dan juga keluarga ini.
Lagipula, hal macam apa sih yang bisa dilakukan seorang gadis padanya? mungkin hanya sebatas omelan dan tamparan. Itu jelas bukan sesuatu yang tidak bisa ia tanggung. Apapun yang terjadi, ia pasti akan tahu apa yang Jade sembunyikan. Dan Dylan juga tahu, sangat tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah ini. Tidak akan pernah.