Perpisahan yang Pahit
Jakarta, Indonesia
"Han, bagaimana apakah istrimu sudah melahirkan?" tanya pak Ferdi.
"Belum, kalau kalian?" tanya Raihan juga.
"Sama belum juga." jawab pak Ferdi.
"Kalau saya sedang menunggu pembukaan terakhir." jawab pak Nano.
"Lah sama dong ya." kata pak Ferdi dan pak Raihan bersamaan.
"Ya sudah kita tunggu saja dan jangan lupa untuk berdoa demi keselamatan dan juga kesehatan anak-anak kita." kata pak Nano.
Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dan bapak-bapak lah yang memberikan nama untuk anak mereka.
"Alhamdulillah anakku sudah lahir." kata pak Ferdi, pak Nano, dan pak Raihan.
"Dan saya akan memberikan nama untuk putraku dengan nama Bara Adi Pratama, di panggilnya Bara." pak Raihan memberikan nama untuk anak laki-lakinya.
"Anakku kembar saya akan memberi nama mereka Mohammad Daffa Haikal Afan dan Daffi Abdillah Faiz di panggilnya Daffa dan Daffi." pak Ferdi memberikan nama untuk anak kembarnya.
"Kalau saya akan memberikan nama untuk putriku dengan nama Titah Kesumawardani, di panggilnya Titah." pak Nano memberikan nama untuk anak perempuannya.
Lima belas tahun kemudian...
Di perguruan silat Pak Lik Winarno, suasana latihan begitu tegang. Titah, dengan fokusnya yang luar biasa, mengikuti setiap instruksi Pak Lik.
"Terus, Titah! Setelah ini, akan kuberi latihan baru yang lebih berat!" seru Pak Lik Winarno, suaranya berwibawa.
"Siap, Pak Lik!" jawab Titah singkat, tanpa sedikitpun mengeluh.
Tiba-tiba, Daffa muncul, wajahnya tampak kelelahan. "Pak Lik... Pak Lik..." panggilnya, terengah-engah.
"Ada apa, Daffa?" tanya Pak Lik Winarno.
"Pak Lik, Daffa izin istirahat sebentar. Capek sekali," pinta Daffa, suaranya sedikit manja.
Pak Lik Winarno menggeleng tegas. "Tidak ada istirahat sebelum latihan selesai! Paham?"
Titah, Daffi, dan Bara serempak menjawab, "Paham, Pak Lik!"
Daffa merengek, "Ih, Pak Lik... Daffa benar-benar capek..."
Bara menyeringai, "Sabar, Afgansyah Reza. Kau harus kuat." (Bara meledek Daffa dengan nama panggung Afgan)
Daffa kesal, "Afgansyah Reza? Namaku Mohammad Daffa Haikal Afan! Tah..." Ia menatap Titah.
"Ada apa, Daffa?" tanya Titah, sedikit penasaran.
"Kau tahu Afgan? Lihat ini!" Bara menunjukkan foto Afgan di ponselnya pada Daffa.
Daffa mengamati foto itu. "Wah, ganteng juga ya. Mirip aku, kan, Tah?"
Titah terkekeh, "Mirip? Hanya dari jauh dan kalau dilihat pakai sedotan!" Titah dan Bara tertawa lepas.
Daffa merajuk, "Huuu... Aku lapor Mami!"
Daffi ikut nimbrung, "Jantan dong, Fa! Jangan cengeng!"
Bara menambahkan, "Iya, jangan cengeng kaya kerupuk melempem!"
Titah menimpali, "Hahaha... Benar juga!"
Pak Lik Winarno menghentikan kekacauan itu. "Sudah! Kalian ini berisik sekali! Sebagai hukuman, ulangi latihan dari awal!"
Daffa mengeluh, "Ih, Pak Lik... capek..."
Pak Lik Winarno menatap Daffa tajam. "Laki-laki harus kuat, berani, dan tidak cengeng! Jantan!"
Titah berbisik pada Daffa, "Tuh, kan..."
Daffa balik bertanya, "Apa, Tah?"
Titah berteriak, "Kecoa!"
Daffa berteriak histeris, "Kecoa! Aaaaa!" (Padahal tidak ada kecoa)
Titah, Bara, dan Daffi tertawa terbahak-bahak.
Daffa merajuk lagi, "Huuu... Mami..."
Pak Lik Winarno menengahi, "Sudah-sudah! Ayah kalian membayar mahal, jadi latihannya harus serius! Kalau masih ribut, berendam di kolam!" Ia menunjuk ke arah kolam.
Titah, Bara, Daffa, dan Daffi serempak menjawab, "Siap, Pak Lik!"
Setelah latihan bela diri yang melelahkan, Bara, Daffa, dan Daffi pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Bara mendapat kabar mengejutkan ayahnya akan mengirimnya sekolah ke Turki. Hatinya langsung remuk. Bukan sekadar pindah sekolah, ini berarti meninggalkan Titah, sahabat sekaligus pujaan hatinya yang selama ini hanya ia cintai dalam diam.
Sementara itu, di rumah Pak Ferdi, suasana berbeda tercipta.
"Assalamualaikum," sapa Daffa dan Daffi bersamaan.
"Waalaikumussalam," jawab Pak Ferdi.
"Pi, Mami di mana?" tanya Daffa.
"Di dapur," jawab Pak Ferdi.
Daffa hendak berlalu, namun Daffi menahannya. "Eh, eh... Mau ke mana, Fa?"
"Ke dapur, lah! Mau bantu Mami masak," jawab Daffa, sedikit defensif.
Daffi menyeringai, "Atau mau ngadu ke Mami karena dihukum Pak Lik Winarno tadi?"
Ibu Yanti muncul dari dapur. "Dihukum? Kenapa?"
Pak Ferdi mendengus, "Alah, pasti dia yang salah. Anakmu itu, Fa, sedikit-sedikit ngeluh capek, kalau tidak ya ribut terus waktu latihan."
Daffa merajuk pada Ibu Yanti, "Ih, Pi... Mami..."
Pak Ferdi buru-buru mengalihkan pembicaraan, karena ia tahu istrinya pasti akan membela Daffa. "Sudah, jangan manjain Daffa terus. Makan malam sudah siap?"
Ibu Yanti menjawab, "Sudah."
Pak Ferdi berkata, "Yuk, makan malam dulu. Setelah itu, belajar dan tidur."
Di ruang makan rumah mewah Pak Raihan, Bara duduk dengan wajah muram. Ia baru saja menerima kabar buruk dari ayahnya.
"Pah, aku tetap tidak mau pindah ke Turki! Aku mau lanjut SMA di Indonesia," kata Bara, suaranya terdengar tegas, namun di baliknya tersimpan keputusasaan.
Pak Raihan menghela napas panjang. "Bara, ini permintaan Kakekmu di Turki. Kau tahu sendiri, ia sudah tua dan ingin bertemu cucunya."
Bara menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, Pah... Aku..."
Ibu Rosalinda menimpali dengan lembut, "Bara sayang, kalau kamu rindu Papa dan Mama, kita bisa video call setiap hari, kok. Ini demi masa depanmu."
Bara diam, hatinya berontak. Ia bukan hanya menolak meninggalkan orang tuanya, tetapi juga meninggalkan Titah. Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya pada orang tuanya?
Pak Raihan berkata dengan nada final, "Tidak ada tapi-tapi, Bara. Semuanya sudah diatur. Setelah lulus SMP, kamu langsung terbang ke Turki."
Ibu Rosalinda mengelus lengan Bara. "Sayang, turuti saja Papa. Ini untuk kebaikanmu."
Pak Raihan menambahkan, "Sudah, makan malammu. Setelah ini, langsung naik ke kamar dan istirahat. Jangan begadang lagi."
Bara mengangguk patuh, namun air matanya tak mampu ia bendung. Ia hanya bisa menunduk, menahan gejolak di hatinya. Keputusan ayahnya terasa seperti sebuah hukuman yang berat baginya.
Di rumah Pak Nano, suasana makan malam terasa hangat. Titah, setelah menghabiskan makan malamnya, berkata, "Alhamdulillah..."
Ia lalu pamit, "Bu, Pak, Titah ke kamar ya. Mau belajar buat ulangan besok, terus tidur. Hehe..."
Ibu Sarah menjawab dengan lembut, "Iya, Nak. Ya sudah, sana."
Pak Nano menambahkan, "Belajar yang rajin ya, Nak. Semoga kamu lulus dengan nilai terbaik."
"Aamiin," jawab Titah.
Setelah Titah pergi, Ibu Sarah menoleh pada Pak Nano. "Mas Nano," panggilnya.
"Iya, Dik Sarah? Ada apa?" tanya Pak Nano.
"Besok Ayah datang ke Jakarta. Saya harus menyambut kedatangannya, dan juga memasak makanan kesukaan Ayah. Mas Nano bisa menjemput Ayah di stasiun besok pagi?"
Pak Nano bertanya, "Jam berapa, Dik Sarah? Saya harus menjemput Ayah di stasiun jam berapa?"
"Jam sembilan pagi, Mas," jawab Ibu Sarah.
Pak Nano berpikir sejenak. "Baiklah, saya usahakan menjemput Ayah di stasiun besok pagi. Tapi kalau ada pekerjaan yang menumpuk di kantor, bagaimana?"
Ibu Sarah mengerti. "Iya, Mas. Kalau tidak bisa, tidak apa-apa. Tolong kabari saya saja."
Pak Nano mengangguk. "Baiklah, Dik."
Keesokan harinya, Titah sudah siap menunggu di depan rumah. Ia masih sibuk menghafal pelajaran untuk ulangan hari ini. Detik-detik berlalu, namun Bara, Daffa, dan Daffi belum juga datang. Titah mulai cemas.
"Duh, mereka kok belum datang juga? Ini sudah hampir jam sekolah. Nanti telat bagaimana, ya?" gumam Titah, cemas.
Ibu Sarah muncul dari dalam rumah, melihat Titah masih di depan rumah. "Loh, Nak, kok belum berangkat sekolah? Hari ini kan kamu ulangan. Nanti telat, lho!"
Titah menjelaskan, "Iya, Bu. Tapi Titah masih menunggu Bara, Daffa, dan Daffi."
"Oalah..." kata Ibu Sarah, mengerti.
Ibu Sarah terlihat membawa beberapa tas belanja. Titah bertanya, "Bu, Ibu mau ke mana? Kok bawa banyak belanjaan?"
"Ibu mau ke pasar, Nak. Nenekmu akan menginap di Jakarta hari ini."
"Oh..." Titah mengangguk.
Tiba-tiba, suara motor terdengar. "Itu dia, mereka!" seru Ibu Sarah, menunjuk ke arah Bara, Daffa, dan Daffi yang baru datang.
"Assalamu'alaikum," sapa Bara, Daffa, dan Daffi serempak.
"Waalaikumussalam," jawab Titah dan Ibu Sarah.