Bab 14 : poros hidup Nafisah

487 Words
Semakin keras ia mencoba, semakin menjadi pula takdir yang melukainya. Dengan mengusap air mata nya, Nafisah melangkah kan diri mendekati Aditya yang tengah merangkul mesra Andini itu. "Mas, bekal mas ketinggalan." Ujar Nafisah yang langsung membuat keduanya terperanjat kaget dan langsung melepaskan rangkulan tadi. "Nafis, please jangan nangis," ujar Aditya lagi. Laki-laki itu mengusap Jilbab yang digunakan Nafis lalu membantu wanita itu untuk berdiri. "Andini, apa yang kamu lakukan? Jadi tumpah itu nasi goreng." Tegur Aditya menatap tajam Andini yang hanya terdiam menatap Nafisah dengan tajam. "Kamu kan tahu kalau kamu gak boleh makan makanan berminyak dan karbohidrat seperti itu di pagi hari," ucap Andini dengan mata yang menyorot Nafisah dengan tajam. Nafisah sendiri hanya bisa terdiam dengan tangan yang saling meremas satu sama lain. "Andini, aku gak papa makan nasi goreng, toh sesekali." Jawa Aditya berusaha membela Nafisah secara tidak langsung. "Tetep aja, seharusnya Nafisah jadi istri tau dong kalau suaminya ini seorang pilot dan harus jaga body. Masa dikasih makanan begini." Omel Andini tanpa melihat keadaan sekitar yang semakin ramai. Banyak orang yang menyudutkan Nafisah dan membela Andini. Membuat wanita itu hanya bergetar ketakutan. "Andini! Gak sepantasnya kamu ngomong seperti itu." Teriak adityabyang merasa Andini telah keterlaluan. Aditya hendak meraih tangan Nafisah, namun pada saat yang bersamaan Nafisah langsung bergerak menjauhi kerumunan tersebut dan berlari masuk ke dalam taksi yang tadinya mereka naiki dan tengah menunggunya di parkiran. "Maaf yah, Pak. Saya lama," ujar Nafisah purau, gadis itu masih tetap menahan tangisnya, ia berusaha tegar di depan orang lain, jangan sempat orang luar tahu permasalahan yang terjadi di dalam rumah tangganya. Aditya sendiri terpaku menatap ke arah tubuh mungil itu yang perlahan menghilang. Matanya masih dengan setia melihat ke arah sana dengan keadaan hati yang tidak karuan. Entah bagaimana ia harus mendeskripsikan permasalahan seperti ini yang jelas sangat terasa sekali sakitnya. "Mas Adit." Panggilan itu menbuat Aditya kembali melirik ke arah Andini yang sedang tersenyum manis seolah tidak terjadi apa-apa, seolah kata-kata nya tadi tidak menyakiti wanita lain. "Bisa yah kamu senyum begitu di saat tanpa sadar kamu buat wanita lain nangis karena mulut yang tidak beretika kamu itu," ucap Aditya tajam. Ia sangat tidak bisa mentolerir kesalahan Andini untuk kali ini. Terlebih ketika melihat Nafisah yang memilih diam dan menahan tangisnya dibandingkan melawan semua perkataan Andini yang terdengar seperti menyudutkan nya sebagai seorang istri. "Yah pantas dong aku marah! Aku yang mati-matian buat kamu kayak gini, malah dia seenaknya ngasih makanan yang buat kamu gendut." "Jadi kalau aku gendut kenapa emangnya?" Tanya Aditya heran. Perasaan dalam peraturan pilot tidak ada yang mengatakan tidak boleh gendut. Kenapa istrinya malah ngotot masalah ini? "Yah gak bagus dong!" "Kamu banyak aturan tau gak! Aku muak liatnya. Keterlaluan!" Aditya langsung menarik koper miliknya menuju ruangan pilot meninggalkan Andini yang menatap Aditya dengan kesal. Sepanjang perjalanan, Aditya terus memikirkan bagaimana kondisi Nafisah? Ia ingin menelpon namun terasa nanggung karena sebentar lagi dia akan flight ke kota Samarinda. "Nafis, maaf."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD