Bab 3

1958 Words
Suara pintu yang dibuka secara paksa, menampilkan wajah merah padam seorang pria. Jelas keadaannya tidak baik-baik saja saat ini, emosinya sudah memuncah. Bagaimana saat kabar yang diterimanya tadi siang, membuat perasaannya tidak menentu. Sungguh keterlaluan jika ini hanya sebuah lelucon, tapi sungguh pria tua yang sedang menghisap cerutunya itu tidak menyukai lelucon. “Apa-apaan dengan berita yang Daddy sebarkan tadi siang?” teriak pria yang tadi mendobrak masuk ruang kerja bernuansa klasik dengan interior kayu pada dindingnya.  “Daddy rasa kau mengerti bahasa Indonesia,” jawabnya kembali menyelipkan corong cerutu di bibir tipisnya yang sedikit mengeriput. “Daddy!!!” bentaknya membuat pria tua itu bangkit dari duduknya, melemparkan korek ke wajah tampan itu. Tepat sasaran. “Kau berani membentak Daddy, Rishyad???” sentak Christian tidak kalah dengan putra bungsunya.  “Daddy please understand me... Please...” Rishyad berlutut di depan ayahnya, memohon agar sedikit saja Christian mengasihaninya. “I always understand you, Son, but now you out of the rule. Dia calon istri keponakanmu dan perjodohan itu sudah berlangsung lama,” Christian menetralkan suaranya dan kembali menghisap cerutunya.  “Aku mencintainya, Dad,” lirih Rishyad yang masih berlutut, saat ini ia benar-benar ingin merendahkan dirinya. Huda Adnan dan Amara Permata Adhiguna akan segera menikah, itulah berita yang sampai ke telinganya tadi siang. Seharusnya itu menjadi kabar bahagia untuknya, mengingat Huda Adnan adalah keponakannya. Namun mengingat siapa calon pasangan hidup keponakannya itu, Rishyad tidak bisa berbahagia. Meski Amara mengatakan hubungan mereka berakhir, tapi tidak dengannya. Saat ini pun ia masih berusaha memperjuangkan gadis yang telah mencuri hati dan dunianya. Seakan-akan Amara adalah sebuah matahari dan Richard adalah planet yang mengitari mengikuti orbit. “Hentikan kegilaanmu, jangan kau pikir Daddy tidak tahu bahwa kau yang terus mengejarnya,” Christian berdecak kesal menatap putranya yang tidak pernah sekalipun merendahkan diri seperti sekarang. Melihat Rishyad yang masih berlutut membuatnya iba, tapi ia tidak boleh lemah untuk meloloskan permintaan itu. Bagaimanapun Amara adalah gadis yang sudah dipilih olehnya, untuk menjadi istri Huda. Jauh sebelum Rishyad mengenal dan jatuh pada pesona gadis itu. Dia hanya perlu membuat hubungan terlarang antara putranya dan juga calon istri cucunya berakhir. Itulah sebabnya ia menyebarkan berita pernikahan Huda dan Amara. “Maaf...” lirih Rishyad yang sudah mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Ia melangkahkan kaki keluar dari ruang kerja ayahnya. Langkahnya gontai dan tidak sepercaya diri biasa, benar-benar hancur perasaannya saat ini. Bagaimana bisa ia mencintai gadis yang akan dinikahi keponakannya. Dan itu artinya ia telah mengambil sesuatu yang seharusnya menjadi milik Huda. Sungguh rasanya kepala Rishyad ingin pecah, seperti ada palu godam menghantam kepalanya sangat keras. “Amara...” lirihnya membenamkan kepalanya pada setir mobil yang terparkir di depan lobby hotel milik ayahnya, Christian Kelly. *** Amara masih tak bergeming dari posisi mematungnya, dengan kepala yang terus saja menunduk. Menghindari tatapan membunuh yang diarahkan Huda padanya. Ruang kerja Ammar Adnan terasa mencekam saat ini. Huda yang tak hentinya memberikan tatapan membunuh pada Amara, terlebih lagi ia harus mendapat tamparan keras dari Ammar. Hanya karena seorang Amara Permata Adhiguna. Bibirnya mencibir ke arah Amara yang masih terus meloloskan bulir bening dari pelupuk matanya. Dia sangat kesal ketika mendengan berita diluar sana, bahwa ia akan segera menikah dengan Amara. Sungguh keterlaluan Opanya kali ini. “Angkat saja,” ucap Ammar pada Huda yang menatap ponselnya yang sedari tadi berdering. “Hallo,” Huda merespon panggilan masuk di ponselnya sesuai instruksi sang ayah.  Hanya saja ia tidak dapat keluar dari situasi ini, karena Ammar telah memberikan isyarat untuk tidak beranjak. Amara pun tidak bisa melakukannya, jadi ia bisa mendengar  dengan jelas segala percakapan Huda dengan seseorang. “---“ “Aku bisa jelasin, Sayang,” ucapnya sembari melirik Amara yang terlihat biasa aja.  Jujur Huda semakin kesal melihat reaksi Amara yang biasa aja, membuatnya semakin yakin bahwa hanya ada Rishyad di hati gadis itu. Semakin meningkat saja rasa jijik dan marah pada kedua orang itu. Terutama Amara yang menurutnya tidak memiliki harga diri. “---“ “Baiklah, nanti malam aku akan menenuimu,” terdengar suara Huda melembut. “Tidak ada lagi pertemuan apapun dengan perempuan itu. Kau jangan gila, Huda!!!” sentak Ammar yang sedari tadi hanya menyimak.  Rupanya Ammar mengetahui siapa yang menghubungi putranya. Ia tahu benar siapa gadis itu, tidak lebih dari seorang lintah yang menempel pada putranya. Selama ini ia sudah mengawasi gerak gerik gadis itu. Hanya saja ia bertahan untuk tidak mengatakannya pada Huda, setidaknya sampai hari ini. Karena ia sudah bertekat untuk mengatakannya pada Huda. Huda menggeram saat mendengar sang ayah mengatakan hal seperti tadi, terlebih saat Intan menangis dan memutus sambungan. Moodnya sangat buruk saat ini, dan semakin buruk saja karena kekasihnya. Ia melirik Amara yang menatapnya dengan tatapan sendu. Apa di matamu hanya ada Om Rishyad? Kenapa kau bisa sejauh itu, Ara? Kenapa kau sebodoh itu? Kenapa, Ara?  Huda bergumam dalam hati saat tatapannya bertemu dengan manik coklat Amara. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan pikiran gadis itu. Menjalin cinta dengan pria beristri, terlebih dia bukan dari kalangan biasa. Jadi tidak mungkin jika alasannya adalah materi seperti kebanyakan orang. Tapi jika hal itu adalah cinta, bagaimana mungkin? Kenapa harus Rishyad yang membuatamu jatuh cinta? Setidaknya bagi Huda tidak akan begitu sulit menerima perjodohan ini jika memang Amara memiliki kekasih. Tapi kekasih calon istrinya adalah om kandungnya sendiri. Apalagi Rishyad sudah berkeluarga, perasaan jijik itu kembali hadir. “Jangan menatapku seperti itu, jalang! Aku bukan Om Rishyad!” bentak Huda pada Amara yang masih berdiri mematung di depannya. “Huda!!!” teriak Ammar penuh kemarahan, karena ia tidak pernah mengajarkan kata-kata kasar pada anak-anaknya. “Tapi itu benar, Pa. Dia ini simpanan Om Rishyad dan kenapa juga aku harus menikah dengannya?” ucap Huda tidak terima dengan bentakkan sang ayah. “Permisi, Pak. Saya rasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Saya tetap akan mengundurkan diri, dan untuk anda Pak Huda. Jujur saya tidak mengetahui apapun tentang pernikahan dengan anda. Saya akan menanyakannya pada ayah segera, dan membatalkannya seperti keinginan anda jika itu benar,” ucap Amara lebih panjang dari biasanya, karena jujur ia memang tidak tahu menahu tentang perjodohannya dengan Huda.  “Mengundurkan diri?” tanya Huda pada Amara yang sudah siap untuk melangkah. “Benar, hari ini saya menyerahkan surat pengunduran diri dari perusahaan Bapak. Dan tentang Tuan Rishyad Kelly, kami sudah tidak ada hubungan apapun,” Amara bicara seakan dia baik-baik saja, walau sejujurnya di dalam hatinya sedang berkecamuk. Cukup tadi saja ia menangis dan menampakkan kelemahannya. “Tuh Papa dengar kan dia bilang apa? Kalau dia dan Om Rishyad sudah tidak ada hubungan apapun, itu artinya mereka memang memiliki hubungan,” Huda menunjuk-nunjuk wajah Amara yang masih terlihat gusar. “Cukup, Huda! Amara kau bisa pergi sekarang dan untuk pengunduran diri itu, saya tidak bisa memaksamu bertahan jika itu keinginanmu. Hermawan membutuhkan putri cerdasnya,” ucap Ammar mempersilahkan Amara meninggalkan suasana mencekam di ruang kerjanya. “Terima kasih, Pak. Permisi...” Amara berjalan melewati Huda yang sempat mengatakan sesuatu dan hanya ia yang bisa mendengarnya. “Terlalu cerdas sampai harus menjadi seorang jalang,” ucap Huda sinis ketika tubuh Amara tepat bersisian dengannya. Sepeninggal Amara, ayah dan anak itu kembali berdebat tentang perjodohan yang menurut Huda sangat tidak masuk akal. Matimatian ia menolak namun semua upayanya gagal. Rasanya ia sungguh frustasi dengan pernikahan gila ini, ia harus menikah dengan gadis yang pernah menjadi simpanan omnya sendiri.  Selama ini ia tidak pernah membantah, tapi bisakah sekali ini saja ia membantah kemauan Ammar. Walau ia sudah tahu pasti apa yang akan didapatkannya. Namun Ammar berhasil mengendalikan putranya itu, dengan alasan kesehatan Christian yang menurun. Huda tidak pernah tega dengan kakeknya yang beberapa tahun terakhir kondisinya kurang baik. *** Amara memacu mobilnya menuju kediaman Adhiguna. Air matanya terus saja mengalir, memikirkan semua yang terjadi padanya. Mengapa ia begitu bodoh dengan mencintai Rishyad. Penyesalan selalu datang terlambat, dan saat ini ia sedang merasakannya. Kalau saja ia tahu telah dijodohkan, sudah tentu tidak akan pernah ada ceritanya dan Rishyad. Tidak akan ada penyerahan yang tidak seharusnya terjadi, tapi sekali lagi itu hanya sebuah penyesalan bodoh. Pergi ke Singapura untuk operasi mengembalikan hal itupun rasanya percuma, karena lelaki yang akan jadi suaminya tahu masa lalunya. Dan lagi dia bukan lelaki bodoh yang dengan mudah percaya pada sesuatu. Amara semakin menangis saat mengingat semua kata-kata pedas dari Huda.  Membayangkan setiap harinya akan ada kata-kata seperti tadi membuatnya berteriak frustasi. Amara memutar balik mobilnya, ia mengurungkan niat untuk pulang. Hanya ada satu tempat yang ingin dikunjunginya saat ini. Tempat yang menurutnya lebih menenangkan dari sebuah ruangan psikiater.  Mobil yang dikendarai Amara berhenti tepat di depan sebuah Masjid, matanya menatap nanar bangunan berwarna biru dengan kubah emasnya. Rasanya sudah cukup lama ia tidak melangkahkan kaki ke tempat seperti ini. Bahkan ibadah hari raya pun ia tak mendatanginya, benar-benar kehidupannya setahun ini cukup kacau. Dia menghembuskan nafas kasar sebelum turun dari mobil. Dengan pasti ia memasuki area Masjid yang sepertinya sedang ada kajian dari seorang Ustadzah. Amara mendudukkan dirinya di antara para jemaah yang sedang mendengarkan ceramah. Sebagian mereka ada yang benarbenar menyimak ada juga yang sambil memainkan ponsel. Dan Amara benar-benar menyimak cerita yang sedang meluncur dari mulut Ustadzah yang bernama Khadijah ArRamy. “Seperti doa Rabiatul Adawiyah saat taubatnya pada Allah,” Ustadzah Khadijah menjeda. “Sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, biarkanlah neraka itu bersamaku. Dan jika aku beribadah karena mengharap surga, maka jauhkanlah surga itu dariku. Tetapi bila aku beribadah karena cinta semata, maka limpahkan lah keindahan-Mu selalu...” lanjutnya. Seketika itu juga tangis Amara pecah, isakannya bahkan bisa terdengar jelas oleh jemaah lain. Sungguh hatinya terasa sakit, dia tidak pernah takut pada Allah. Tidak takut untuk dimasukkan ke neraka dan mengacuhkan surga. Hanya karena keegoisan dan perasaan cinta bodohnya selama ini.  Seorang gadis yang duduk bersebelahan dengannya nampak berusaha menenangkan Amara. Saat ini ia jadi pusat perhatian sebagian jemaah dan Ustadzah Khadijah yang juga bisa menangkap isakan tangisnya. “Ya Allah... Ampuni aku karena menghancurkan diriku sendiri. Ampuni aku karena jauh dari-Mu dan menyakiti hati orang lain. Ampuni aku...” lirihnya sarat akan kesedihan. Telinganya masih dapat mendengar dengan jelas semua yang dikatakan Ustadzah Khadijah hingga selesai. Suasana dalam Masjid sudah lebih lengang, menyisakan Amara yang masih menangis dengan gadis yang menenangkannya. Juga Ustadzah Khadijah yang memang belum beranjak. “Assalamu'allaikum...” suara lembut Ustadzah Khadijah menginterupsi isakan Amara. “Wa'allikum sallam, Ustadzah...” jawab Amara sembari menenangkan dirinya. “Ada apa sampai anakku menangis seperti ini?” tanya Ustadzah Khadijah ikut duduk di dekat Amara. Dengan masih sedikit terisak Amara menceritakan semua yang dialami dan dirasakannya selama ini. Sekarang hanya ada Ustadzah Khadijah dengan gadis yang ternyata putri sang Ustadzah, Kalila namanya. Keduanya tersentak saat mendengar bagaimana cerita masa lalu gelap Amara. Namun mereka tak ingin untuk menghakimi gadis yang saat ini ingin berubah. “Bertaubatlah, Nak. banyak minta ampun sama Allah, karena Allah Maha Pengampun, menerima segala taubat dari hamba-Nya yang tersesat,” ucap Ustadzah Khadijah setelah Amara bercerita. “Kakak jangan menangis lagi, Allah sayang Kakak. Makanya hidayah itu datangnya lebih cepat, coba kalau Allah tidak sayang. Pasti Kakak akan dibiarkan tersesat semakin jauh,” Kalila mencoba membesarkan hati Amara yang jelas ciut saat ini. “Terima kasih Ummi dan Kalila... Aku menerima kehidupan baruku ini, mengejar ridho Allah,” ucap Amara penuh keyakinan. *** Sebuah vas bunga itu hancur berantakkan ketika dilemparkan ke dinding kamar yang bernuansa sangat perempuan. Intan menghancurkan kamarnya hingga tak berbentuk, berita pernikahan Huda Adnan dan Amara Permata Adhiguna ternyata sampai juga ke telinganya. Terjawab sudah pertanyaannya tadi malam, jika ada gadis lain yang sedang dipikirkan Huda. “Lihat saja kau, Amara. Aku akan menghancurkanmu! Huda hanya untukku, UNTUKKU!!!” Teriakan frustasinya memenuhi kamar. Tekadnya sudah bulat, menghancurkan Amara dan menggagalkan pernikahan sialan itu. Huda hanya miliknya, hanya untuknya. Tidak akan semudah itu untuk merebut Huda dari tangannya. “p*****r sialan!!!” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD