POV FELI-Terimakasih Naya

1117 Words
Aku memiliki teman baik sejak kecil yang bernama Naya, biasa aku panggil dengan nama manisnya Nay. Dia berumur lima tahun lebih tua dariku walaupun kami teman sepermainan. Dia juga tidak ingin aku memanggilnya kakak, hingga aku menyematkan nama Naya sebagai nama kesayanganku padanya. Dia telah menikah dengan seorang Aparat yang bernama Brahma Timur dan biasa aku panggil dengan nama singkat Mas Bram. Dia lah temanku yang selalu ada di setiap suka dan duka, kami berdua selalu akrab dan sudah seperti saudara. Entah apa yang mengikat kami menjadi begitu erat. Tidak ada yang bisa memisahkan walaupun jarak menerpa. aku yang sedang hamil delapan Minggu mulai cemas, kalut, gusar dan takut bercampur aduk di dalam tubuhku karena aku tahu pria itu tidak akan mungkin mengakui anak ini, walaupun aku menemuinya. Bila aku nekad itu hanya akan membuatku semakin tersakiti hingga aku benar-benar ingin menangis dan menjerit. Dalam seminggu ini aku telah berpikir panjang, dengan semua uang yang telah aku kumpulkan selama ini aku akan bisa membiayai hidupku dan anak ini dalam sementara waktu menjelang anak ini lahir. Karena dimanapun tidak ada yang akan mau memperkerjakan diriku dalam kondisi seperti ini, apalagi dengan statusku dan anak ini yang akan menjadi praduga dalam setiap pikiran orang yang melihat. Tidak ada yang bisa aku pikirkan kecuali nama Naya saat ini. Aku mencoba mengambil ponselku dan mencari nama Naya. Dengan gugup aku menekan panggil pada nomor itu. “Hallo Naya. Ini aku Feli, masih ingatkan? Aku ingin bertemu dan berbicara denganmu dan aku sangat berharap kalau kamu bisa membantuku.” Tidak ada jawaban dari seberang sana. “Apa Naya sudah tidak ingat denganku?” “Hey Feli! apa-apaan ucapanmu, kita sudah seperti saudara! Akulah yang selalu menyusahkanmu. Apa kamu sekarang di Bogor? “Iya kau sedang di Bogor.” “Baiklah besok kita bertemu di cafe depan rumah sakit!” Itu lah ucapan Naya kepadaku hingga aku yakin dengan Naya. Aku hanya bisa mengucapkan kata terimakasih kepadanya. Besoknya aku dengan segera bersiap diri. Aku tidak ingin Naya menungguku, maka aku segera menuju ke tempat yang telah di janjikan dan saat ini aku sudah berada di depan cafe rumah sakit menunggu Naya. Kami berhubungan baik sampai sekarang, Naya sangatlah kekanakan tapi nasib baik selalu berada di pihaknya. Ayah Naya adalah teman almarhum ayahku, dan Naya adalah Dokter di rumah sakit ini. Memang Naya memiliki nasib yang baik dari pada aku. Aku tak mempermasalahkan tentang itu semua, tapi aku telah memilih jalanku sendiri dan telah melakukan di luar nalarku sendiri. Sekarang aku akan menanggung sendiri dengan apa yang telah aku lakukan. Aku tidak mungkin mencari Ayah dari anak ini, pasti dia akan menghindar dan menjauh. Aku akan berkata apa dengan Naya sewaktu bertemu nanti, apa dia akan tetap membantuku sebagai saudara bukan sedarah ini? atau hanya iba terhadapku tidak lebih dari itu. Aku tidak tahu bagaimana tanggapannya setelah mengetahui semua ini. "Naya...!!” panggilku sambil melambaikan tangan kepadanya. Naya berlari kecil untuk segera menghampiriku, 'wanita cantik ini masih sama seperti dulu!' gumamku. Tak kusangka Naya langsung memelukku dengan hangat. “Segera katakan! jangan ada kebohongan, Apapun itu!” ucap Naya dengan sedikit meninggikan hentakan nada suaranya. Aku yang terkejut dengan suara Naya langsung meluruskan posisi dudukku karena tersentak seperti prajurit yang menerima perintah dari Komandannya tanpa bisa melakukan perlawanan. Kalimat Naya membuatku menjadi takut karena tidak biasanya mengeluarkan nada tinggi kepadaku. Hingga akhirnya aku merasa kalau Naya tidak punya waktu untuk mendengarkan kisahku yang panjang ini. Melihat wajahku yang muram dan gusar. Barulah Naya meminta maaf kepadaku dan bilang kalau bukan maksudnya berkata demikian kepadaku. Karena perasaanku yang tertekan maka terlalu cepat menerima respon hingga aku tidak bisa mendengar kalimat bernada tinggi. “Maafkan aku. Aku hanya bercanda saja.” Ucap Naya merayuku agar perasaanku teralihkan. Sebenarnya Naya tahu kalau aku mencarinya karena ada sesuatu hal yang sangat berat, tak bisa aku hadapi sendiri. Aku senang tanggapan dia sewaktu aku meminta bantuannya, dia sedari dulu terus membantuku dalam setiap masalahku tapi kini Naya sudah menikah. Apakah Naya masih seperti dulu yang selalu setia membantuku dalam kesulitan. “Apa itu?" Teriakan menyentak tubuhku. Rasa penasaran Naya membuat ucapannya menjadi histeris hingga aku di bilang mengidap penyakit kronis yang membahayakan diriku.  Aku langsung menutup mulut Naya dengan segera, aku tahu respon Naya akan sangat terkejut setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Ada rasa ragu yang menyelimutiku saat ini, selain itu aku pun merasa takut untuk menyampaikan kepada Naya dan di tambah pula suami Naya adalah Aparat yang menjaga Keamanan. Jadi apa benar aku melangkah ke arah Naya dalam permasalahan ini, tapi tetap harus aku sampaikan apapun keputusan dari Naya. Naya pasti akan memberikan keputusan yang sesuai dengan langkahku. “Apa yang terjadi denganku?” Tanya seorang sahabat ini yang tidak ingin lebih lama lagi menantikan rasa penasarannya. Aku saat ini merasakan Kalau lidah ku sangat kaku, mulutku terkunci dan suaraku hilang seketika. Aku merasakan semua ini akan sia–sia hingga akhirnya aku pasrah dan tetap tidak ingin menyampaikan kepada Naya ”Hey Feli...” panggil Naya kepadaku. Naya melihat wajahku sangat pucat dan cemas. Hanya jawaban “YA” yang saat itu keluar dari mulutku karena terkejut dengan dentuman suara Naya. Naya terus mendesakku. “Apa yang akan kamu katakan tentangku, Nay?" Air mataku mulai berlinang karena tidak kuasa menahan diri. “Oh, Jangan menangis, Maafkan aku karena membentakmu. Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.” Akhirnya aku memberi tahukan kepada Naya yang sudah terlihat penasaran dengan satu syarat kalau aku tidak ingin di jauhi oleh dia sahabat kecilku, sekaligus saudara bukan sedarah. Naya menyetujuinya dan Baru lah aku berani mengatakan kepada Naya setelah dia berjanji tidak akan memutus persaudaraan kami. Naya sangat terkejut dengan keadaanku. Aku melihat wajah Naya yang sangat sangat tegang. “Apa? Siapa pria itu?” Tanya Naya yang sudah menyemburkan air yang sedang dia minum. Dengan cepat Naya menyapu wajahnya yang basah. “Tolong katakan padaku sekali lagi.” Pinta Naya. “Aku hamil, Nay.” Aku menekan jawaban itu. “Ya Tuhan Fel...” Teriak Naya histeris. Wajah Naya terlihat panik dan dia berusaha menenangkan pikirannya karena ini adalah keputusan yang berat. Resiko yang besar bila salah dalam menentukan pilihan. Secara perlahan wajah Naya sudah berangsur normal kembali, begitu senangnya aku melihat Naya mulai tenang. “Ada dua pilihan untukmu Fel! yang pertama apa kamu siap untuk kehilangan anak itu dan yang kedua kamu akan tetap harus melahirkan, merawat, menjaga dan membesarkan anak itu." Terang Naya kepadaku yang membuat diriku bertambah gusar. Kedua pilihan ini sangat memberatkan bagiku. Tapi Naya sudah tahu apa yang akan kujawab karena aku tidak ingin membuang anak yang masih berada di dalam perutku ini. Namun aku ragu bisa membesarkan anak ini seorang diri tanpa ada pria yang membantuku untuk menafkahi hidup. “Aku ingin membesarkan anak ini. Tapi kamu tahukan kalau aku tidak bisa menafkahinya. Aku tidak ingin anak ini menderita karena ibunya yang tidak mampu." Jawab Feli. “Kita akan membesarkannya bersama. Bagaimana?” Tanya Naya padaku membuat Aku sangat terkejut dengan ucapan Naya. “Apa kamu sungguh-sungguh?” Tanyaku. Naya mengangguk dan aku sangat berterimakasih. Aku tidak bisa membendung perasaanku. Air mataku menetes begitu saja. akankah semua ini akan baik-baik saja? Kebodohanku telah menyesatkanku. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD