7. PELUKAN HANGAT

1458 Words
"Rayhan kamu melihat semuanya?" Mia bertanya sembari berjalan dengan bergandengan tangan. Suara Mia begitu lemah dan lirih. Rayhan hanya mengangguk tanpa bicara. Sedih dan malu, perasaan itu tampak jelas di wajah Mia yang merah dan bengkak karena tamparan Tata. Di sudut bibirnya terlihat sedikit bercak darah. Dipermalukan di tengah orang banyak tentulah meninggalkan bekas luka yang mendalam di hati Mia. Saat keluar pintu restoran Rayhan melepaskan jaketnya lalu meletakkan ke bahu Mia. Sangat berguna menutup punggung Mia yang terbuka. Mereka menaiki sepeda motor pergi dari restoran itu. Rayhan mengajaknya pergi ke kedai jagung bakar. Dia sengaja memilih kedai yang sepi dari pengunjung agar mereka bisa bicara dengan nyaman. "Kamu baik-baik saja?" Rayhan bertanya dengan perasaan khawatir. "Aku baik-baik saja," ucap Mia penuh kesedihan. Rayhan mengambil ponselnya. "Daniel, bisa kamu datang ke sini? Aku bersama Mia, dia sedang ada masalah." "Ya, kami tunggu." Rayhan menutup panggilannya. "Sebentar," ucap Rayhan, dia berdiri mendekati pemilik kedai itu, dia meminta kain bersih dan es batu. Rayhan kembali ke kursinya, setelah sebelumnya menggesernya mendekati Mia. Mia bingung, dia justru menggeser kursinya menjauh. "Aku mau mengompres pipimu," Rayhan memperlihatkan es batu yang sudah dibungkus kain, "pipimu bengkak," Rayhan memandangi wajah Mia dengan perasaan khawatir. "Aku bisa sendiri." Mia menadahkan tangannya. Rayhan memberikannya kepada Mia. "Kamu bersama siapa di restoran tadi?" tanya Mia kepada Rayhan. "Aku bersama teman. Lebih tepatnya Bos sebenarnya. Kami ada kerjasama bisnis." "Kamu melihat semuanya?" Mia menundukkan wajahnya. Dia malu. Dia khawatir penilaian buruk Rayhan kepada dirinya. Rayhan mengangguk pelan, "Aku melihatmu sejak kamu baru datang dan duduk di sana." "Aaaah," Mia mendesah dalam hati sambil memejamkan matanya rapat-rapat. "Terima kasih sudah menolongku." Mia menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Tidak papa," Rayhan tersenyum sambil membuang napas panjang. "Sebentar," ucap Rayhan. Dia mengambil ponselnya yang berdering. "Halo," Rayhan mendengarkan, "Oh, OK. Aku tunggu di tepi jalan," ucap Rayhan sambil melangkah ke jalan raya. Mia memperhatikan Rayhan yang perlahan menjauhi dirinya. Dia masih bicara di telepon. Rayhan berdiri di tepi jalan, tidak lama kemudian dia melihat motor berdiri tepat di depan Rayhan. Rayhan memandangi lelaki yang baru saja tiba dan berhenti di depannya. "Ada apa? Mia kenapa?" tanya Daniel kepada Rayhan. "Aku tadi makan malam di restoran Eat Boss. Aku melihat Mia juga makan malam bersama seseorang." "Laki-laki?" tanya Daniel. "Iya. Tiba-tiba ada perempuan datang mengamuk. Ternyata perempuan itu istrinya. Mia ditampar, rambutnya juga dijambak. Waktu aku itu aku mau melerai, tepat saat itu dia dilempar dengan gelas. Untung aku sempat menghalangi." "Oh, ya?" Daniel terkejut. "Iya. Kurasa dia sangat sedih dan terguncang saat ini." ucap Rayhan. Daniel memandangi Mia, dia duduk termenung di kursi, berjarak sekitar tiga puluh meter dari mereka. "Mari kita ke sana," ucap Daniel mengarahkan stang sepeda motornya lebih ke tepi untuk memarkirkannya. Mia melihat ke arah Daniel, dia sangat rapi dan terlihat tampan dengan setelan jas berwarna hitam pekat yang dikenakannya. "Kamu dari mana?" tanya Mia. "Tadi ada rapat di restoran, rapat santai sama bos. Lumayanlah sambil makan enak gratis," ujar Daniel sambil tersenyum. Dia menarik kursi lalu duduk. Begitu juga dengan Rayhan. "Rapatnya sudah selesai?" "Belum, aku langsung ke sini saat Rayhan menghubungiku tadi." "Maaf menyusahkanmu. Apa tidak apa-apa rapatnya kamu tinggal pergi?" Terdengar nada khawatir pada suara Mia. "Tidak masalah, aku sudah mengatakan keluargaku ada masalah. Jadi aku pamit pulang duluan." "Terima kasih sudah menganggapku keluarga." Mia menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata. "Kamu memang keluargaku." Daniel berkata penuh dengan kelembutan dan kehangatan dia merentangkan kedua tangannya. Mia pun berhambur ke dalam pelukan Daniel dan menumpahkan tangisannya yang terdengar sangat pilu dan menyedihkan. Daniel membiarkan Mia memeluknya cukup lama, sampai perasaan Mia membaik. Setelah Mia terlihat dapat menguasai emosinya. Daniel menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Mia terdiam, dia menundukkan wajahnya. Rayhan beranjak dari kursinya, "Aku tinggal sebentar, aku mau merokok," ucap Rayhan. Dia ingin memberikan ruang untuk Mia agar dia bisa bercerita. Rayhan menjauh ke tepi jalan raya, di tepi jalan itu ada jembatan, dia menyandarkan tubuhnya sambil memperhatikan Daniel dan Mia. Dia menarik napas panjang, meski cukup jauh, dia bisa melihat Mia bercerita dengan nyaman kepada Daniel. Perasaannya sedikit tidak nyaman melihat kedekatan mereka. Mia dan Daniel sudah bersahabat cukup lama. Daniel bercerita mereka berkenalan di sebuah mall, karena saat itu Daniel yang menemukan dompet Mia yang hilang. Daniel mengembalikan dompetnya ke meja informasi. Sejak saat itu mereka berteman lalu menjadi sahabat dekat. Rayhan menyesap rokoknya dalam-dalam. Dia memikirkan apa yang baru saja menimpa Mia. Dia ingin berbuat banyak, dia ingin menolong gadis itu, tapi Mia belum merasa nyaman kepada dirinya, sehingga dia tidak mau menceritakan apa pun. Rayhan sadar mereka baru saja kenal, tentu ada perasaan sungkan di dalam hati Mia. Rayhan melihat Daniel dan Mia kembali berpelukan erat lalu mereka melepaskan pelukan itu. Rayhan melihat Mia mengangguk pelan. Tahulah Rayhan saat ini semua pasti sudah baik-baik saja. Rayhan melangkah kembali ke meja itu, dia duduk di kursinya. Dia mendengar Mia bercerita Andre memintanya untuk menikahinya dan meminta Mia untuk berhenti bekerja. Hingga tiba- tiba datanglah istri Andre ke restoran itu. "Aku bingung bagaimana istrinya tahu kami berada di sana," ucap Mia. Rayhan memperhatikan tak ada lagi air mata yang membanjiri kedua pipinya gadis itu. Dia sudah terlihat membaik. "Tentu saja untuk orang sekelas Andre, Istrinya pasti memiliki uang yang cukup untuk memata-matai suaminya. Ia memiliki perusahaan batu bara dan perkebunanan sawit salah satu yang terbesar di pulau ini." Daniel coba menganalisa yang terjadi. Rayhan mendengarkan dengan saksama. "Ya, sepertinya begitu. Berarti aku belum bisa pulang ke rumah kontrakanku. Mungkin dia juga tau di mana rumahku. Aku tak ingin masalah ini sampai ke rumahku. Aku tidak mau semakin dipermalukan." Mia semakin cemas dengan nasibnya. Rayhan dan Daniel saling berpandangan cukup lama. Rayhan bisa menangkap isi pemikiran Daniel. "Tidak bisa kalau di galeri. Ayahku datang setiap hari pada pagi hari. Ini demi kebaikan Mia, aku tidak ingin orang tuaku berpikiran macam-macam," ucap Rayhan dengan nada berat. "Mia, bagaimana jika sementara kamu tinggal di hotel. Aku yang akan membayarnya. Aku tidak ada maksud apa-apa. Jangan salah paham," ucap Rayhan sambil memandangi Mia. Dia takut gadis itu salah paham dengan mengajak Mia tinggal di hotel. Mia menarik napas panjang memandangi mereka berdua, lalu dia kembali memandangi Rayhan, "Kamu baik sekali, tapi maaf aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak ingin menyusahkanmu. Tinggal di hotel selama beberapa hari tentu bukanlah uang yang sedikit." "Begini saja. Mia, tanteku punya ruko yang kosong. Kamu bisa menempatinya sementara. Kamu bisa menenangkan diri. Nanti aku bicara dengan tanteku. Kamu mau?" tanya Daniel kepada Mia. "Apa tidak merepotkan? Apa tidak masalah dengan tantemu?" "Kurasa tidak. Mungkin dia justru senang ruko itu ada yang menempati." "Baiklah jika tidak merepotkan. Terima kasih banyak." ucap Mia. "Rayhan, kamu bisa temani Mia? Ruko itu menakutkan kalau sendirian," ucap Daniel. Rayhan memandangi Daniel dengan tatapan rumit. "Tidak papa. Biar pun tidak ditemani. Aku bisa sendiri," ucap Mia saat melihat keengganan di wajah Rayhan. "Tidak Mia, harus ada yang menemanimu. Sehingga jika perlu sesuatu ada yang bisa pergi keluar untuk mencarinya. Rayhan bisa kita bicara sebentar." Daniel menggerakkan dagunya. Rayhan mengangguk pelan, mereka berdua beranjak dari kursi dan berjalan pelan menjauhi Mia. "Daniel, aku tidak bisa. Aku takut terjadi sesuatu." "Terjadi apa Ray? Tidak akan terjadi apa-apa." Daniel tersenyum. "Pura-pura tidak mengerti," Rayhan berdecak kesal. "Aku yakin tidak akan terjadi apa-apa. Aku tau seperti apa dirimu." Daniel menepuk lengan Rayhan. "Tapi ini beda!" Rayhan tetap menolaknya. "Dia butuh teman saat ini. Aku tidak bisa. Aku harus mengantar ibuku ke pasar subuh untuk belanja kebutuhan warung makannya. Kamu tau 'kan?" "Iya," ucap Rayhan sambil mengangguk, "kenapa dia tidak sendiri saja?" "Jangan, dia sangat rentan saat ini. Aku takut terjadi apa-apa kepadanya." Daniel memandangi wajah Rayhan lekat-lekat. "Baiklah kalau begitu," Rayhan mengangguk pelan. Tiba-tiba Rayhan menjadi gugup. Dadanya berdegup kencang. Dia sangat takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Walaupun dia sangat ingin, tapi tidak saat ini. Tidak saat gadis itu dalam keadaan terpuruk. Mereka kembali melangkah ke kursi. Daniel tersenyum memandangi wajah sedih Mia, "Rayhan yang akan menemanimu. Tidak papa 'kan?" tanya Daniel. "Mia jangan salah paham, kami tidak ada maksud apa pun, tidak ada pemikiran untuk mengopermu atau …" ucap Rayhan dengan gugup. "Tidak papa, aku senang ada yang menemani." kata Mia. Dia tersenyum melihat sikap Rayhan. Mia bisa menangkap kekhawatiran Rayhan. Dia tahu pasti Rayhan takut dirinya salah paham dan menganggap Rayhan mencari kesempatan untuk bisa berduaan dengannya. Dia ingat mereka pernah jalan-jalan bersama, dan betapa manisnya lelaki itu bersikap. Dia meminta izinnya hanya untuk sekedar memegang tangannya. Tentu saja Rayhan adalah orang yang sopan dan sangat menghargai perempuan di mata Mia, bukanlah lelaki yang suka mengambil kesempatan. "Terima kasih, Daniel." Mia memeluk Daniel penuh rasa syukur dan terima kasih. Daniel mengusap punggung Mia dengan hangat, "Tidak masalah, kamu bisa datang kepadaku kapan saja." Ucap Daniel sambil tersenyum. Rayhan memalingkan wajahnya melihat mereka berpelukan, dia menarik napas panjang dan berat. Perasaannya menyesak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD