11. ATTARIK ART GALARY

1118 Words
Papan nama bertulisan “Attarik Art Gallery” tergantung di tiang besi. Menancap di atas tanah berbatu di depan bangunan kokoh berwarna putih.  Galeri itu memiliki banyak jendela kaca yang besar.Tidak terlalu luas, tapi banyak lukisan menempel di dinding berwarna putih. Terlihat sangat cantik. Mia memuaskan dirinya menikmati keindahan di depannya. "Ini semua lukisanmu dan ayahmu?" Wajah Mia menyiratkan kekaguman. "Tidak semua. Ada beberapa lukisan milik teman ayahku. Mereka tidak punya galeri jadi kami bantu jualkan." Rayhan melihat ke sekeliling galeri dengan perasaan puas. "Rayhan kau punya kekasih? Maksudku. Apa kau sedang menjalin hubungan dengan seseorang?" Mia berusaha bertanya dengan nada yang biasa dan datar. Seolah bukan hal penting baginya.  Rayhan menatap Mia tanpa menjawab. Dia menanggapinya dengan senyuman. "Jangan salah paham. Aku cuma tidak mau saat kita berjalan bersama seseorang akan kembali menjambak rambutku." Mia tersenyum hambar, “aku belajar dari pengalaman." Dia tertawa miris. "Tidak. Aku tidak mempunyai kekasih juga tidak sedang menjalin hubungan." Rayhan memastikan. Ia memandangi wajah Mia dengan saksama. Senyuman manis terkembang di bibirnya. "Kenapa? Bagaimana mungkin lelaki tampan sepertimu tidak ada yang suka. "Aku memang tampan sejak lahir,” Rayhan tertawa “Bagaimana denganmu? Apa kau menyukaiku? Bukankah aku tampan menurutmu?" Rayhan tersenyum menggoda Mia. "Kau mempunyai rasa percaya diri yang tinggi tuan Rayhan." Mia tersenyum sinis. Matanya berbinar saat mengatakannya. "Bukan begitu. Ini fakta. Hampir semua wanita yang ketemui mengatakan aku sangat tampan. Mereka tak segan-segan untuk mengajakku 'pergi' bersama. Bahkan seseorang pernah memberiku bunga." Rayhan bercerita dengan raut wajah bersungguh-sungguh. Mia tertawa mendengarnya. Namun ia mengakui di dalam hati Rayhan memang sangat menarik. "Jadi kenapa? Kenapa kau tidak memiliki kekasih. Kau ‘kan tinggal pilih di antara wanita yang mengejarmu. Mana yang kau suka." Mia penasaran. "Aku tidak mencintai mereka. Aku juga tidak ingin mempermainkan mereka dengan menjalin hubungan tanpa ada rasa cinta." "Lalu, apa kau pernah jatuh cinta? Kurasa menjalin hubungan dengan serius tidak masalah. Itu tidak mempermainkan." Mia mempertahankan argumennya. "Aku pernah jatuh cinta waktu SMA. Tapi aku tidak berpacaran dengannya. Menurutku ketika menjalin hubungan dengan seseorang, dia-lah orang yang kita inginkan mendampingi seumur hidup. Jika hanya mencoba-coba kurasa tidak. Aku bukan orang yang seperti itu." Mia menganggukan kepalanya perlahan. Mencoba memahami pemikiran Rayhan yang sangat idealis menurutnya. Rayhan menunjukan lebih banyak lukisan semakin mereka berjalan ke arah dalam bangunan itu. "Kau setiap hari melukis?" Mia menyentuh lukisan yang bergambar hutan belantara. "Tidak. Terkadang aku melukis tiap hari hanya karena aku ingin menyelesaikan lukisan yang belum selesai. Tapi lebih bergantung mood. Jika sedang senang atau sedih aku bisa melukis. Saat marah aku tidak bisa melukis." "Kenapa" tanya Mia heran. Ia memandangi wajah Rayhan. "Aku hanya ingin membereskan orang yang  membuatku marah." Rayhan memasang raut wajah lucu. Mia dan Rayhan tertawa bersama. "Kau mau jus?" Rayhan mengambil kotak jus dari dalam kulkas saat mereka selesai berkeliling. "Mau." Mia mengangguk. Seorang lelaki paruh baya berusia di atas lima puluhan memasuki galery Rayhan. Walaupun guratan usia mulai nampak di wajahnya Sepertinya ketampanannya tak lekang oleh waktu. Kiranya darinya-lah ketampanan Rayhan berasal. Mereka sangat mirip versi Old man Vs young man. "Ayah..."Rayhan lekas berdiri menyambut sang Ayahanda tercinta. Dia mencium punggung tangan lelaki yang dipanggilnya Ayah itu. Serta Rayhan membungkukkan tubuh penuh penghormatan dan cinta. Sebuah tangan penuh kebanggaan mengelus punggung Rayhan, "Anakku." Tuturnya lembut diiringi kewibawaan. Mia termenung melihat hal itu terjadi tepat di depan wajahnya. Kekagumannya kepada Rayhan bertambah. Ayah Rayhan memandangi wajah Mia. Senyumannya mengembang. Keningnya sedikit mengkerut mencoba mengingat wajah gadis di depannya. Mia segera melakukan hal yang sama dengan yang Rayhan lakukan. Mencium punggung tangan ayahnya-Rayhan. "Bukankah dia gadis yang kau lukis beberapa waktu lalu?" ucap Ayah-Rayhan tiba-tiba. "Mati aku,” ucap Rayhan di dalam hati. Dia tersenyum dengan perasaan malu sambil melihat ke arah Mia. Mia memandangi wajah Rayhan dengan perasaan bingung. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia menuntut penjelasan dengan memandangi Rayhan secara mendalam.  "Iya Ayah, Itu memang Mia. Tapi masih belum selesai." Rayhan menunduk malu. "Tidakkah kau mau menunjukan padanya?” Ayah Mia mengangkat kedua alisnya. “Ah...Ayah,” keluh Rayhan di dalam hati. "Ayolah Rayhan, izinkan aku melihatnya." Suara dan mata Mia melakukan permohonan yang tak dapat ditolak oleh siapa pun. "Sudahlah … ajaklah dia melihatnya." Ayah-Rayhan tertawa. "Baiklah." Rayhan berjalan ke arah dalam, dia membuka sebuah kanvas yang masih tertutup kain dan masih terjepit di easel-nya. "Baiklah Mia Ini dia." Rayhan membuka penutup lukisan itu. Mia terdiam... Tak ada kata yang keluar. Matanya terbuka lebar karena kekaguman. Ia berjalan mendekati lukisan dan menyentuhnya. Lukisan itu, adalah wajahnya. "Cantik sekali." Mia berkata dengan lirih. "Bahkan lukisan ini lebih cantik dariku." Ia terpesona dengan apa yang dilihatnya.  "Tentu saja. Aku pelukis yang berbakat. Aku sudah melukis sejak berusia 6 tahun." Rayhan menyombongkan diri sambil tertawa. Mia melihat Rayhan tertawa "Kau sangat tampan." Mia bergumam di dalam hati. "Kapan kau mulai melukisnya? Sejak pertama kali kita bertemu?" Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Mia. "Apakah maksudmu saat kita bertemu di depan gang rumahmu?" "Iya waktu itu kau datang bersama Daniel." "Ya. Aku memang melukismu sejak pertama kali melihatmu, tapi malam itu bukan kali pertama aku melihatmu. Itu yang ketiga kalinya." Rayhan berkata dengan nada cuek. "Benarkah?!" Mia terperanjat. "Kapan kau pernah melihatku? Malam itu pertama kali kita bertemu." Mia bingung. "Aku pernah melihatmu di klub. Aku mendekatimu. Menawarkanmu minuman, tapi kau mengacuhkanku. Setelah itu kau pergi menjauh.  Di lain waktu aku melihatmu bicara dengan Daniel di klub malam. Aku bertanya tentangmu kepadanya. Ternyata kalian bersahabat, aku meminta Daniel memperkenalkan kita. Beberapa hari kemudian kita bertemu di jalan dekat rumahmu." "Benarkah?" Mia melihat ke arah Rayhan tak berkedip. “Apakah Rayhan juga menyukaiku?” "Aku harus melihatmu secara langsung dari dekat supaya bisa menyelesaikan lukisan ini,” ucap Rayhan. Seolah dia bisa membaca pertanyaan-pertanyaan di benak Mia. Mia kembali memperhatikan lukisan wajahnya, “Ini belum selesai?" "Iya masih belum selesai. Aku baru melukis wajahmu saja sementara latar belakangnya masih belum." Ponsel Mia tiba-tiba berdering. "Mia. Ada perempuan hamil di sini. Dia menunggumu,” ucap Vera teman satu kontrakan Mia yang menempati kamar di sebelahnya. "Benarkah?"Mia shock. "Iya. Aku tanyakan siapa dia dan mau apa. Dia bilang kau merebut suaminya." "Astaga!!!" Mia hampir terduduk di lantai. Kedua kakinya terasa lemas. Rayhan mengambilkan bangku yang biasa dipakainya untuk duduk saat melukis. Dia memberikannya kepada Mia. "Iya, Mia kau jangan pulang dulu, nanti kalau dia sudah pulang aku beri kabar.”  "Baiklah. Terima kasih, Vera. Mia membuat panggilan lain, "Andre! Istrimu sekarang berada di rumahku. Tolong kau urus dia. Tapi sebelum itu kita bertemu di showroom kemarin. Kita selesaikan masalah mobil itu. Jika kau mencintaiku, tolong biarkan aku hidup tenang.” Mia langsung mematikan panggilannya tanpa sempat Andre berkata sepatah kata pun.  Mia melangkah keluar dari galeri. "Mia biarkan aku mengantarmu." Rayhan berusaha mengiringi langkah Mia dengan setengah berlari. "Tidak Rayhan. Kali ini aku akan menyelesaikan masalahku sendiri. Aku akan meminta bantuanmu untuk memindahkan barang-barangku. Aku akan segera pindah ke rumah kontrakan milik Daniel. "Tolong Rayhan…” Mia berhenti, dia melihat ke wajah Rayhan, "Tolong segera bicarakan dengan temanmu masalah pekerjaan yang kau katakan kepadaku." "Baiklah." Rayhan mengangguk. Mereka berpisah di halaman galeri.  Mia pergi naik angkutan umum. Sementara Rayhan kembali masuk ke dalam galeri diiringi tatapan heran ayahnya "Dia ada permasalahan mendadak yang harus diselesaikan,” ucap Rayhan kepada ayahnya. Ayahnya mengangguk lalu menepuk pundak Rayhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD