TBB 3 -Jenny, Si Anak Magang

1106 Words
Selama ini Ally memang sering ditindas dan tidak diperlakukan dengan benar oleh ibu tiri dan adik tirinya. Ia lebih banyak mengalah karena masih berharap kalau perilaku mereka tidak akan separah ini. Ally tidak begitu suka membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan juga, karena merupakan gangguan kejiwaan, dan Ally masih cukup waras. Sayangnya, rasa itu sudah menguap, kekejaman mereka yang membuat Ally berniat untuk membalas rasa sakit hatinya. Sabar memang tidak memiliki batas, tapi diam dan membiarkan semua orang salah dalam memandang dirinya adalah suatu kebodohan yang harus segera diakhiri. Ally tidak mau berada di posisi yang menyedihkan dan dikasihani oleh orang lain. Ally tidak butuh itu. Ally akan membuktikan kalau Belinda dan ibu tirinya lah yang jahat dan layak diusir dari rumah. Mereka salah kalau mengusir dirinya yang merupakan pewaris dari harta mendiang ibunya. *** Austin Curtis sedang sibuk memberikan pengarahan kepada anak buahnya di sebuah ruangan meeting di salah satu hotel bintang lima miliknya. Beberapa orang tampak mencatat beberapa kalimat dalam catatan mereka, selebihnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena apa yang dibicarakan harus ditangkap dengan baik. “Kebersihan tolong lebih ditingkatkan lagi. Jangan sampai para tamu undangan merasa kurang nyaman dengan hal tersebut. Kali ini tamu kita kemungkinan akan membawa beberapa awak media sehingga jangan sampai ada citra buruk yang terekam dan disiarkan ke publik. Untuk menu seperti yang sudah disampaikan, saya rasa perlu ditambah beberapa menu lokal.” Austin mengetuk-ngetuk meja pelan sambil berpikir setelah awalnya seorang menyampaikan konsep yang akan diusung untuk mempersiapkan acara berskala nasional yang akan dihadiri beberapa tokoh penting. “Baik, Pak. Akan kami revisi kembali mengenai daftar menu dan akan diemailkan segera.” Jawab salah satu pria berkemeja biru yang sudah terlihat berumur. “Apa ada yang lain?” Austin bertanya kepada peserta meeting. “Soal keamanan apakah kita perlu menambah keamanan?” Seorang wanita berambut pendek menyinggung perihal keamanan. “Benar, bukannya akan ada beberapa awak media yang rata-rata akan membawa rekan-rekannya. Kami takut jika mereka akan membuat acara menjadi tidak kondusif.” Kata yang lainnya. “Ditambah tidak apa-apa, untuk berjaga-jaga daripada nanti ada yang tidak benar yang terjadi.” “Saya rasa sudah cukup, Pak.” Tambah wanita yang bertanya tadi, yang merupakan satu-satunya wanita yang ada di meeting itu. “Baik. Kita akhiri sampai di sini. Selebihnya bisa dibicarakan nanti jika ada kendala. Lusa kita harus benar-benar siap. Kita harus kompak apapun yang terjadi.” Austin mengakhiri percakapannya. “Baik, Pak!” Jawab mereka serentak dan meeting pagi yang hanya lima belas menit itu berakhir. Austin memang tidak suka meeting terlalu lama, karena dia akan merasa bosan dan mengantuk. Ia merupakan pribadi yang tidak suka bertele-tele, Austin lebih suka mengatakan apa yang ingin dia katakan. Basa-basi hanya akan membuat kepalanya pusing. Begitulah salah satu kepribadian dari pemilik Curtis Hotel. Satu per satu orang meninggalkan Austin hingga menyisakan Ando yang selalu setia di belakangnya. “Ando.” “Iya, Tuan.” “Aku lelah dan hari ini sampai seminggu ke depan aku ingin liburan, kau yang kerja, ya?” Austin yang merupakan orang kepercayaan dari Austin cukup kaget dengan ucapan atasannya. Jarang-jarang Austin meminta libur. “Baik, Tuan.” “Umur kita hanya terpaut dua tahun, tidak usah seformal itu.” Ando lebih tua daripada Austin. “Baik. Tapi saya sudah terbiasa dengan gaya saya yang seperti ini.” Ando menjawab. “Apa enaknya hidup dengan standar yang kaku seperti itu? Aku seperti berada di era dulu ketika sistem kasta masih ada. Ya sudahlah, yang penting aku sudah memintamu.” Austin sedikit mengeluh. “Baik, Tuan.” “Tuan lagi.” Austin berjalan meninggalkan ruang meeting sambil berkata lirih dan Ando masih mendengarnya. *** Austin membuka pintu kamarnya dan tidak menemukan wanita asing yang semalam datang ke kamarnya dan menggedor pintu dengan cara yang brutal. Austin mencari hingga ke dalam kamar mandi tapi nihil. Wanita itu sudah pergi begitu saja. “Merepotkan.” Austin mengeluarkan ponselnya dan menelepon Ando. “Ando, Coba cek cctv pagi ini, kemana perginya wanita yang menginap di kamarku. Lebih baik jika kau tahu identitasnya.” “Baik, Tuan.” Ando menjawab. “Apa ada yang lain?” “Cukup. Jangan ada orang yang boleh masuk ke kamarku.” “Baik.” Ando Menjawab lagi. Austin mematikan panggilannya. Ia bosan sebenarnya dengan jawaban Ando yang lebih sering menuruti keinginannya. Itu sangat membuat Austin tidak senang. Akan tetapi Ando masih saja sopan dan formal kepadanya meskipun ia ingin jika asistennya seperti temannya. “Padahal aku sudah minta cuti seminggu, dia malah kabur. Lalu aku harus meminta pertanggungjawaban kepada siapa?” Guman Austin lirih sambil mengamati kamar yang masih berantakan sambil tersenyum. Karena orang yang ingin ditemui tidak ada, Austin memutuskan untuk menghabiskan waktunya di luar. Sudah lama ia tidak jalan-jalan dan melihat kota. Terlalu banyak pekerjaan yang harus Austin selesaikan membuat dirinya sangat jarang bersenang-senang. Pablo sudah pergi dua minggu yang lalu. Austin yakin kalau Pablo kapok dengan ritual kejar-kejaran tengah malam yang dulu terjadi. Ketika Austin keluar dari hotelnya, beberapa orang karyawan yang berpapasan dengannya segera menyapa dan tersenyum. Austin memang orang yang ramah karena baginya melayani orang lain adalah sebuah skill yang harus dikuasai agar bisnisnya berjalan dengan baik.  Dia tidak memiliki wajah yang dingin apalagi kejam. Selain tampan dari lahir, Austin Curtis merupakan orang yang selalu disayangi oleh keluarganya karena merupakan anak dan cucu satu-satunya dari keluarga Curtis yang memiliki reputasi baik. “Hai, Lina. Hari ini bagaimana?” Austin berhenti di meja resepsionis untuk menyapa salah satu karyawannya yang sudah bekerja cukup lama dengannya sehingga ia kenal. “Pengunjung lumayan ramai, Pak. Kabar Pak Austin bagaimana?” “Tampan seperti biasa. Kabarmu bagaimana, sehat?” Jawab Austin sambil tersenyum, ia tahu kalau ucapannya sangatlah narsis. Senyum Austin menular kepada orang-orang di sekitarnya. “Sehat, Pak.” “Karyawan baru?” Austin bertanya. “Anak magang, Pak.” Lina menjawab untuk memperkenalkan orang yang sedang berada di sebelahnya yang takut-takut memandang Austin. “Siapa namamu?” “Jenny, Pak.” Takut-takut gadis itu menatap Austin yang tengah tersenyum kepadanya. “Semoga betah magang di sini. Oh, ya, saya pamit cuti dulu, kalau ada apa-apa langsung ke atasan kalian saja.” Austin menatap lagi ke arah Lina yang sudah paham. “Baik, Pak. Hati-hati di jalan.” Lina tersenyum “Terima kasih.” Setelah Austin pergi, Lina berbicara kepada anak magang yang menjadi rekannya. “Pak Austin orang yang baik, kau tidak perlu takut begitu, Pak Austin tidak akan senang, Jen.” “Aku takut, Kak. Karena beliau itu pemilik hotel ini.” Jenny tahu kalau ada beberapa orang yang mengatakan kalau Austin adalah pemilik hotel tempat di mana dia melakukan magang. Sampai beberapa bulan kedepan, Jenny akan bekerja di Curtis Hotel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD