Le Café Doutor

2006 Words
Tokyo, Jepang. Bulan Mei adalah puncak musim semi di Jepang. Adelia merasa keberuntungannya sungguh berlipat ganda saat bisa mengunjungi negeri sakura ini di musim semi. Pertama, dia tak perlu repot-repot membeli coat jika harus mengunjunginya di musim dingin dan juga tak perlu kepayahan karena gerah di bawah temperatur 34 derajat yang lembab jika harus mengunjunginya di musim panas. “Del, nggak habis pikir deh sama kamu. Kalau datang ke Jepang di musim semi itu kita harusnya melihat sakura. Ohanami. Aku baca di internet, itu warga Tokyo pada ngumpul-ngumpul di bawah sakura.” Rinai tak berhenti protes. Dia telah mengambil cuti seminggu dari kantor karena begitu bersemangat saat Adelia mengajaknya ke Jepang dengan iming-iming ‘kamu cukup bayar tiket pesawat. Nginapnya sama aku’. Rinai telah menyusun destinasinya selama berada di negri matahari terbit itu. Dia ingin melihat sakura, dia ingin ke Disney Land, dia ingin mengunjungi Daruma Fair. Tapi, semua rasanya hanya mimpi belaka karena sejak menginjakkan kaki di Tokyo, Adelia tampak sangat sibuk. Meeting sana-sani dengan Mr. Murakami dan timnya. Dan Rinai sama sekali tidak dilibatkan. Hari ini, Adelia tidak memiliki jadwal meeting dan tiket pulang mereka tertanggal esok hari. Jadi, waktu mereka menikmati Tokyo hanya ada sehari, tapi bukannya pergi melihat sakura, Adelia malah sibuk mengantri membeli kopi di salah satu kafe. “Ini kok kita malah ngantri beli kopi di sini, sih? Panjang lagi antriannya. Cari kopi di tempat lain aja, yuk!” Rinai masih melanjutkan protesnya. “Nay, kamu nggak tau? Ini Kafe Doutor.” Nay adalah panggilan akrab Adelia kepada sahabatnya itu. Namanya Rinaila Putri. Mereka bersahabat baik karena Adelia pernah bekerja di satu perusahaan yang sama dengan gadis berambut ikal itu dan ketika Adelia resign dari perusahaan tersebut, persahabat mereka tetap terjalin. Bahkan saat ini mereka tinggal satu flat di salah satu gedung apartemen yang terletak di pusat kota. “Apa!? Kafe katro!?” Rinai membelalakkan matanya. Adelia menjitak kepala Rinai, “Doutor! Le Café Doutor.” Adelia menunjuk led sign bertuliskan nama kafe yang tergantung di salah satu sisi dinding. “Kamu nggak baca?” “Iya, iya….” Rinai mengusap kepalanya yang tadi dijitak Adelia. “Tapi, ini antriannya masih panjang loh. Kenapa nggak ke kafe lain aja, sih? Starbuck, kek.” “Doutor ini kafe paling terkenal se-Tokyo. Ini autentik. Jaringan kafe yang dibangun sama orang Jepang sendiri. Bukan franchise dari luar.” Adelia mencoba menjelaskan. Rinai menanggapi dengan mengerucutkan bibirnya sebal. Dia ingin membantah tapi mengingat bagaimana keanehan sahabatnya itu, maka dia memilih mengurungkan niatnya. Adelia memang unik. Cara berpikirnya, tindakannya, keputusan-keputusan yang diambilnya. Hal-hal itulah yang membuat ibunya selalu mempertentangkan segala keputusa gadis itu sehingga membuat Adelia jengah dan memilih minggat dari rumah. Ralat. Tidak benar-benar minggat karena Adelia akan pulang ke rumah ibunya setiap weekend atau setiap dia rindu masakan ibunya. Tuh, kan? Adelia memang seaneh itu. Suatu ketika dua tahun yang lalu, tepat seminggu setelah dia memergoki Beno selingkuh, Adelia mengajukan surat resign dari perusahaan dengan alasan ingin fokus berkarir di dunia seni. Kemampuan Adelia dalam menggambar memang tidak diragukan lagi, tapi seisi gedung kantornya meyakini bahwa resign-nya Adelia bukanlah karena dia ingin fokus dengan karir menggambarnya, melainkan karena patah hati pada Beno. Beno yang adalah rekan kerja Adelia dan Rinai. Beno yang dengan kurang ajarnya malah kedapatan tidur dengan Siska, sekretaris salah satu pemimpin unit di kantor mereka. Saat itu Adelia memang tidak tampak bersedih tapi Rinai tahu hati Adelia hancur berkeping-keping. Dia dan Beno telah menjalin hubungan selama tiga tahun dan Beno dengan mudahnya mengkhianati hubungan mereka. Maka, demi Adelia dan persahabatan yang mereka miliki, Rinai mendatangi apartemen milik Beno dan menamparnya hanya tiga detik setelah pintu apartemen itu terbuka. Tamparan yang tidak akan pernah Beno dapatkan dari Adelia, karena gadis itu sangat baik dan manis dan tidak mungkin menyakiti orang lain meski orang itu menyakitinya. “Aku ingin serius dengan Adel tapi yang ada di kepalanya hanya mimpi-mimpinya yang aneh.” “Mimpi-mimpi yang aneh?” “Adel bilang dia tidak akan menikah sebelum bisa ke Belanda dan menyewa camper van di sana.” “Apa? ke Belanda? Ngapain?” “Menyewa camper van!” “Ya, tapi untuk apa? jangan mengada-ngada ya, Ben!” “Nah! Itu. Itu dia! Aku menganggap Adelia hanya mengada-ngada saat mengatakan hal itu. Hanya mencari-cari alasan karena mungkin sudah tidak ingin menjalin hubungan ini lagi. Aku merasa hanya aku yang serius dalam uhbungan kami.” “Ya, tapi….tapi….kamu tidak bisa seenaknya selingkuh begini dong! putusin dulu kek baik-baik.” “Ya, aku mengakui bahwa aku salah dalam hal ini. Tapi, aku tidak bisa digantung seperti ini terus. Aku mencintai Adelia. Aku ingin serius dengannya. Tapi, dia seolah-olah hanya mempermainkan aku.” Rinai kembali mengingat percakapannya dengan Beno saat dia datang untuk memberi pemuda tampan, baik hati, idola cewek-cewek sekaligus ibu-ibu seantero kantor itu, sedikit perhitungan. Namun, penjelasan yang dia peroleh dari Beno sungguh mengejutkannya. “Eh, Del. Emang benar kamu ingin ke Belanda?” Rinai bertanya. Setelah pertemuannya dengan Beno tempo hari, dia tidak mengonfirmasi apa pun pada Adelia. Dia bahkan tidak bilang bahwa dia telah menampar pipi Beno untuknya. “Hah?” Adelia hanya merespon singkat. Sudah kuduga, ini hanya akal-akalan Beno saja! Rinai mengumpat dalam hati. “Kamu tau dari mana, Nay? Kayaknya aku nggak pernah cerita deh ke kamu tentang itu.” Lanjut Adelia sedikit terkejut. Antrian di depannya telah jauh berkurang. Tinggal dua orang lagi dan Adelia bisa segera memesan hand brew coffee yang terkenal itu, yang dibacanya di salah satu majalah wisata, dan sesegera itu juga membeli hand brew coffee di Doutor Ginza menjadi target Adelia. “Jadi benar kamu ingin ke Belanda!?” Kali ini Rinai yang berganti terkejut, “Ngapain, Del? Jalan-jalan? Atau mengunjungi kenalan? Saudara?” Adelia menggelengkan kepalanya dengan santai. “Untuk menyewa camper van.” Dan jawaban itu sukses membuat Rinai melongo, “Kamu tau nggak, Nay hampir semua penduduk Belanda memiliki camper van yang juga disewakan untuk turis asing. Kalau di sana banyak yang punya, harga sewanya pasti murah, kan? Nah, aku ingin sewa camper van di sana lalu mulai perjalanan keliling Eropa. Tentu saja aku akan mengurus SIM internasional terlebih dahulu.” Shit! Jadi benar Adel dan Beno putus gara-gara perkara camper van ini? Rinai masih tak mempercayai pendengarannya sendiri. “Adel, jadi….” “Selain itu, aku juga ingin ke Mueseum Leiden.” Adelia memotong ucapan Rinai. Dia masih ingin bercerita dan dia sangat antusias jika ada yang bertanya tentang impiannya ke Belanda itu. Antrean di depan mereka kembali berkurang. Tingga satu orang lagi, “Kamu tau nggak, Museum Leiden menyimpan naskah-naskah kuno Nusantara. Kitab Pangeran Bonang, Lontara Bugis dan masih banyak lagi.” Adelia kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Rinai, “Orang-orang Belanda mencurinya dari kita waktu mereka datang menjajah.” Rinai hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya untuk informasi-informasi yang baru dia ketahui dari Adelia tentang Belanda dan juga untuk tingkah Adelia yang merasa perlu untuk berbisik di telinganya, seolah-olah takut ada orang Belanda di kafe itu dan tersinggung jika mendengarnya. Ah, Adelia memang aneh dan mimpi-mimpinya begitu nyentrik. “Kamu bisa kapan saja ke Belanda. Pergilah kalau kamu memang ingin pergi!” Rinai berseru. “Tabunganku belum cukup untuk membiayai hidupku keliling Eropa.” Adelia menjawab singkat. “Eh, udah giliran kita.” Adelia maju hingga di depan kasir, “One hand brew coffee.” Lalu dia kembali menatap Rinai, “Eh, kamu mau pesan apa, Nay?” “Samain aja!” Rinai menjawab singkat. Pikirannya masih berproses mencerna kenyataan-kenyataan yang baru dia ketahui dari Adelia. Sial! Kasihan benar Beno kalau memang mereka putus hanya perkara mimpi Adelia ke Belanda untuk menyewa camper van. Beno memang terlihat sangat serius dalam menjalin hubungan dengan Adelia. Bahkan hingga saat ini Beno pun tidak lagi pernah kelihatan sedang menjalani hubungan serius dengan gadis lain. Sepertinya pemuda itu juga belum move on. “Make it two!” seruan Adelia mengejutkan lamunan Rinai. “Two cups for hand brew coffee.” Kasir laki-laki itu mengonfirmasi kembali pesanan Adelia. “Okay, wait a minute.” “Adel….” Rinai baru saja akan bertany apakah perkara ke Belanda itu yang menyebabkan kandasnya hubungan dia dan Beno, tapi Adelia terlanjur menyela. “Aku juga ingin punya rumah di New Zealand.” “Apa!?” “Iya, sepertinya menghabiskan masa tua di sana sangat menyenangkan.” Lihatlah bagaimana Adelia kembali menceritakan mimpi-mimpinya yang aneh. “Katanya jumlah domba di sana lebih banyak dari pada manusia. Bukankah itu sangat menyenangkan?” Rinai hanya bisa kembali melongo tapi pemuda jangkung yang mengantre di belakang mereka kini setengah mati menahan dirinya untuk tidak tertawa. Dia mendengarkan percakapan dua gadis di hadapannya sedari tadi dan hanya bisa berkali-kali membuang muka untuk sekadar tersenyum tipis. Benar-benar percakapan terkonyol yang pernah dia dengar. “This is your coffee.” Kasir itu menyerahkan dua cup kopi. Adelia dan Rinai menerimanya dengan antusias. “Hmmm…wangi ya.” Rinai menghidu tepi cup kertas kopi itu. “Nah! Aku bilang apa, kan?” Adelia tersenyum. “Yuk, cepat. Masih belum terlambat untuk menyaksikan sakura!” Rinai menarik tangan Adelia. Gadis itu setuju. Kopi enak di bawah taburan sakura musim semi adalah hal yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Tapi, oopsy! “Astaga!” Adelia menjerit saat dia berbalik dan menubruk tubuh pemuda jangkung di belakangnya. Membuat gelas kopi yang sedang dia pegang tergencet di antara tubuh mereka berdua dan isinya yang masih panas itu kini membasahai kemeja putih pemuda tersebut. “Arrgggh!” Pemuda itu mengerang saat cairan kopi yang panas menyentuh kulitnya. “Oh my God, Mister. I’m so sorry.” Adelia refleks mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya dan menyapukan benda itu di atas kemeja sang pemuda yang ketumpahan kopinya. “Arigatou! Arigatou!” Rinai melotot lalu menyikut perut Adelia yang masih sibuk membersihkan kemeja pemuda itu, “Bukan arigatou. Gomen. Gomennasai!” Rinai kemudian membungkuk pada sang pemuda sambil berseru, “Gomennasai, Mister. Gomennsai kudasai.” Setelah itu Rinai menggamit lengan Adelia dan menariknya untuk keluar dari kafe itu. Meninggalkan sang pemuda yang hanya bisa melongo dan sapu tangan Adelia yang tak sengaja terjatuh. “Nay, ya ampun. Aku nggak sengaja.” “Iya, aku tau! Makanya ayo kita pergi saja! Dari pada kamu diomelin sama orang Jepang itu!” “Tapi, Nay….” “Apa lagi sih!?” “Kopiku….” “Astaga Adel! Aku nggak mau ya harus ngantri lagi dari awal. Ini ambil saja kopiku!” Rinai memberikan gelas kopinya pada Adelia dan gadis itu tersenyum haru. “Serius, Nay?” “Dua ribu rius! Udah cepatan, yuk!” Rinai kembali menggamit lengan Adelia dan menyeretnya untuk menjauhi bangunan Kafe Doutor. “Kamu memang sahabatku paling baik!” “Simpan saja pujianmu!” Sementara itu, di Kafe Doutor, pemuda jangkung dengan kemeja putih yang kini sudah bernoda kopi telah kehilangan selera untuk memesan kopinya. Kesialan macam apa ini? padahal dia hanya menertawai percakapan dua gadis Indonesia itu dalam hati, tapi kenapa Tuhan seolah membalas perbuatannya dengan cairan kopi yang kini mengotori kemejanya? Dia kan jadinya harus pulang kembali ke apartemen untuk ganti baju? Semoga rekan bisnisnya mau memahami kenapa dia datang terlambat untuk meeting hari ini. Orang Jepang terkenal disiplin akan waktu. Pemuda itu merogoh ponsel dari dalam kantung celana bahannya, “Moshi-moshi. Mr. Edogawa. I’m sorry. Maybe i’ll be late for our meeting. I had an accident. No, I am alright! Thank you.” Pemuda itu mengakhiri pembicaraannya dan memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya. Keningnya mengernyit saat melihat sapu tangan milik gadis yang menumpahkan kopi itu tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia memungut benda itu. Meremasnya dengan sedikit gemas. Jika dia mau, dia bisa saja mengejar gadis yang tidak bertanggung jawab itu dan memarahinya atas tindakannya yang begitu ceroboh. Tapi, Shandy Gobel kita yang baik dan sangat ber-attitude tidak akan pernah melakukan hal itu pada seroang gadis. Pada gadis mana pun. Untuk itu, yang dia lakukan justru mengantungi sapu tangan tersebut dan melangkah ke luar dari kafe seolah tidak terjadi apa-apa. Yang tidak diketahui oleh Shandy, kesialan yang disebabkan oleh Adelia pada dirinya tidak akan berhenti sampai di situ.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD