"Apakah kamu tidak berpikir kalau apa yang saya pakai ini terlalu berlebihan?" Bagus menatap penampilannya di depan cermin yang kini memakai jaket kulit dengan dalaman kaos putih, celana jeans hitam serta rambut yang ditata rapi.
"Berlebihan apanya?" Kania membalikkan tubuh sang suami kemudian menatapnya dari atas sampai ke bawah, "Cakep begini kok."
"Kania. Saya yang merasa aneh."
"Tidak ada yang aneh. Malah kupikir Aa' ini ada sedikit darah keturunannya." Kania mengangkat tangan, merapikan lagi anak rambut Bagus, "Tapi memang beneran ada? Dari ayahnya Aa' mungkin?"
"Tidak ada sama sekali, Kania."
"Oh. Tapi kok ya aneh, ya." ucap Kania pelan, "Ah udahlah. Kita berangkat sekarang." Kania mengulurkan tangannya, meraih jemari sang suami kemudian keluar dari kamar menuju halaman rumah yang telah terparkir mobil milik Kania.
"Sini biar saya saja yang mengemudi." Kania langsung memberikan kunci mobilnya. Setelah kunci mobil ditangan, Bagus lantas membukakan pintu bagi sang istri, meletakkan tangan diatas kap mobil supaya kepala wanita itu tidak terbentur. Pintu penumpang ditutup dan Bagus langsung menuju pintu kemudi, menyalakan kereta besi itu kemudian menjalankannya sesuai dengan arah petunjuk sang istri.
"Mau nonton film Indo atau luar?" Kania mengotak-atik ponsel pintarnya.
"Film apa saja. Asalkan filmnya bagus."
"Ok. Kalau begitu." Kania langsung menekan salah satu judul film yang tayang dan memesan dua tiket secara online.
Dan tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti disebuah mall terbesar di kota.
Bagus memang kelewat tampan hari ini terlebih lagi dengan setelan yang dia pakai dan hal ini tak luput dari pandangan setiap kali kaki mereka melangkah. Dan Kania yang menunjukkan kepemilikan pria itu langsung menggandeng tangannya, mengajak sang suami untuk menjelajah semakin dalam area mall dan menuju rooftop.
"Jadwal nontonnya jam 7an. Jadi kita main-main diatas dulu." Bagus tidak protes apapun, dia hanya menganggukkan kepala dan mengikuti apa kata sang istri.
Rooftop mall besar itu sudah padat dengan pengunjung, Bagus lantas ditarik Kania untuk mengantri disalah satu wahana yang ada disana.
"Kita naik bianglala ya." senyum Kania lebar hingga membuat Bagus tidak enak untuk menolaknya karena rerata yang naik keatas sana adalah pasangan ABG atau anak bersama orang tua mereka.
Tiket sudah ada ditangan dan keduanya langsung dibantu petugas untuk masuk kedalam ruangan berdinding kaca tebal dan beberapa menit kemudian, benda besar itu berputar, secara perlahan mereka naik keatas.
"Aa' belum pernah lihat Jakarta dari atas, kan?" Kania yang duduk didepan Bagus lantas menunjuk kearah kaca samping mereka.
"Yah meskipun tidak terlalu jelas, setidaknya sudah cukup terlihatkan pemandangan Jakarta sore hari."
"Iya."
"Kalau begitu kita bisa coba naik ke rooftop gedung hotel di malam hari untuk melihat bias lampu jalanan yang didominasi kendaraan. Memang sih terlihat sangat padat karena kemacetan tapi percaya deh, lampu-lampu kendaraan jika dilihat dari atas gedung tuh terlihat cantik, ada merah, orange, putih dan mereka semua berlomba untuk menerangi gelap." Kania tersenyum sembari berbicara.
"Iya, nanti kita kesana."
Bianglala naik semakin tinggi dan Kania langsung mengeluarkan ponselnya dan duduk disebelah Bagus, "Aa' lihat sini." Satu kecupan Kania berikan di pipi sang suami.
Cekrek!
Sebuah bayang tercipta di ponsel Kania dan wanita muda satu itu tersenyum lebar menatap ponselnya.
Tak lama kemudian bianglala berhenti setelah berputar hampir 30 menit, satu persatu penumpang turun dan Kania mengajak Bagus untuk memesan makanan ringan.
"Ada apa?" Bagus mengamati Kania yang mengamati jam kemudian menoleh kearah sekitar.
"Tidak ada." geleng Kania pelan namun setelah matahari tenggelam dan bulan mulai menyapa, Kania kembali menarik tangan sang suami untuk turun ke lantai bawah.
"Kemana?"
"Lihat lampu."
"Lampu?" Bagus pasrah, mengikuti sang istri dan benar saja, begitu mereka sampai lantai bawah, ribuan lampu yang ditata secara cantik seperti lautan bunga menyala dengan terang.
"Mau foto?"
Kania langsung menyerahkan ponselnya, berdiri dengan senyum lebar didepan ribuan lampu cantik itu.
"Ayo kita kesana!" Kania lantas menarik Bagus, membawa pria itu menuju lorong lampu berwarna putih dan Kania langsung meminta tolong pada salah satu pengunjung untuk mengambil foto mereka berdua.
Kania dan Bagus saling berpegangan tangan dan tersenyum lebar kearah ponsel dan kurang dari satu menit, potret keduanya sudah tersimpan.
"Sepertinya jadwal film sudah mulai." Bagus menatap jam tangan yang dipasangkan Kania padanya.
"Ok." Keduanya berlalu menuju gedung bioskop dan masuk ke gedung teater yang ditentukan namun sebelum masuk Bagus masih sempat membeli popcorn serta minuman untuk mereka berdua.
Suara menggaung diseluruh area teater dan Screen LSF diputar, "Kania, kenapa kita menonton film ini?" Bagus langsung menolehkan kepalanya pada sang istri begitu tahu judul film yang akan dia tonton.
"Kan tadi katanya terserah asalkan filmnya bagus dan Film BERANAK LEWAT PUNGGUNG ini punya ulasan yang baik di berbagai situs."
"Tapi ini horor."
"Memang kenapa kalau horor?" Kania memajukan wajahnya, menatap ekspresi Bagus lebih dekat, "Aa' takut?" Kania hampir meledakkan tawa saat melihat wajah sang suami mulai memucat dengan keringat dingin mengalir di pelipis.
"Atututu sini." Kania langsung menarik keatas pembatas tempat duduk mereka dan membawa kepala sang suami untuk bersembunyi di pundaknya, "Sembunyi disini supaya tidak takut."
"Tidak lucu, Kania."
"Iya tahu." Tangan Kania terulur, mengelus kepala sang suami dengan lembut, "Tapikan kalau kita keluar sekarang, sayang tiket yang sudah dibeli, A'. Jadi Aa tetap disini temani Kania, ya?"
Kania tahu apa yang dilakukannya keterlaluan tapi melihat Bagus yang bersembunyi di ceruknya sambil sesekali berteriak kaget karena jump scare yang pria itu dengarkan, itu terasa sangat lucu hingga membuat tubuhnya bergetar karena tertawa.
"Sudahlah A, jangan marah lagi." Kania terus membujuk sang suami yang kini tidur memunggunginya, "A!" Kania langsung membalikkan tubuh sang suami dan naik keatas perut pria itu, "Jangan marah lagi. Ok. Kania minta maaf."
"Sekarang kamu tahu kalau Aa penakut jadi jangan ulangi hal seperti ini lagi Ok?"
"Ok." angguk Kania.
"Hm." Bagus lantas mengulurkan tangan, membawa sang istri yang masih diatas tubuhnya itu untuk dipeluk.
"Sekarang sudah malam, sebaiknya kita tidur." Bagus mulai mengelus surai lembutnya.
"Yakin hanya mau tidur saja?"
"Iya." Sahut Bagus pelan, "Sayang sekali." bisik Kania lirih sebelum memejamkan manicnya menyusul sang suami yang terlelap terlebih dahulu.
Pagi menjelang, pasangan itu keluar dari kamar mereka untuk sarapan pagi di meja makan dan mendapati 4 orang anggota keluarga sudah berada disana.
"Loh, Ayah sudah pulang?" Kania mengambil duduk disebelah sang ayah.
"Sudah. Ayah pulangnya semalam."
"Oh." angguk Kania pelan.
"Bagus, nanti kamu ikut saya."
"Kemana?" tanya Seruni ingin tahu.
"Ayah mau mengenalkan Bagus pada relasi Ayah. Cepat atau lambat Bagus juga harus ambil bagian untuk mengelola kebun kita, Ma."
"Loh, bukannya kebun jatahnya Kania? Kok Bagus juga ikut?" Seruni mengerutkan Alisnya, tidak paham. Seruni mengalihkan pandangannya pada Kania dan dibalas gedikan bahu tidak peduli ala wanita muda itu.
"Kania juga butuh teman untuk mengelola kebun teh kita, Ma."
"Tapikan Bagus hanya orang luar. Dia hanya menantu?" sergah Seruni. Jika Suseno butuh orang untuk membantu mengelola kebun, harusnya Catherine yang ditunjuk bulan orang luar seperti Bagus itu, "Ada Catherine, Mama yakin dia bisa. Dia kan anak pintar." tunjuk Seruni pada sang putri yang akhir-akhir ini sering diam.
"Tuan Suseno, apa yang dibilang Nyonya Seruni itu benar. Bagus hanya menantu, dia orang luar dan saya rasanya tidak berhak untuk ikut campur urusan bisnis keluarga anda." Bagus mulai angkat bicara.
"Saya tahu mana yang bisa saya andalkan. Dan jangan panggil saya Tuan panggil saya Ayah." Ucap Suseno sembari menatap Bagus yakin.
"Tuan Suseno, sepertinya anda harus mempertimbangkan usul anda lagi demi kebaikan bersama." sahut Yanti sembari menatap Seruni tidak enak atas keputusan Suseno.
Namun Suseno tetaplah Suseno, Pria paruh baya itu tidak terima bantahan sekecil apapun.
"Ayah yakin?"
"Yakin sekali, Mama." Suseno menatap penuh yakin pada sang istri yang kini mengantarkannya ke mobil.
Jujur saja, mendengar jawaban yang sama membuat Seruni kesal setengah mati.
"Oh, Mama mau arisan, kan?" Suseno bisa menebak karena Seruni memakai setelan yang rapi serta beberapa perhiasan yang biasanya jarang wanita itu pakai.
"Ya, di rumah Bu Joko."
"Kalau arisannya selesai, cepat pulang. Ok?"
"Ya. Memangnya mama mau kemana lagi habis arisan." bibir wanita itu menipis kesal.
"Jangan cemberut begitu." Suseno menatap istrinya penuh senyum, "Ayah berangkat sekarang, ya." Suseno mengecup dahi sang istri kemudian melambaikan tangannya sesaat setelah masuk kedalam mobil.
"Kita berangkat sekarang." Suseno memerintahkan Bagus untuk duduk disampingnya dan tak lama kemudian mobil yang membawa dua orang itu langsung melesat jauh, meninggalkan kediaman Djuaji.
"Nyonya, mobilnya sudah siap."
"Ya." Seruni langsung mengikuti supirnya dan masuk kedalam mobil setelah pria akhir 40 tahun-an itu membukakan pintu penumpang.
"Selamat datang Jeng Seruni." Si pemilik rumah langsung menyambut kedatangan tamu terhormatnya, memberikan ciuman di pipi kanan dan kiri.
"Ayo silahkan masuk, yang lain sudah menunggu di dalam." Seruni digiring masuk menuju halaman belakang rumah yang luas.
"Silahkan dinikmati hidangan sederhana yang saya suguhkan."
"Iya terima kasih." angguk Seruni kecil.
"Apa ada masalah? Kenapa hari ini Jeng Seruni terlihat tidak semangat?"
"Memang ada masalah." jawab Seruni jujur, toh mau ditutupi sekalipun pada akhirnya akan terbongkar juga mengingat koneksi mereka yang itu-itu saja.
"Mau cerita? Siapa tahu saya bisa bantu."