"Kenapa kamu teriak-teriak, Catherine?" Kania langsung masuk ke area dapur, menatap adik tirinya polos seolah tidak mendengar apapun, "Ingat ya kita ini di rumah bukan di hutan. Punya yang namanya sopan santun, kan?"
"Mulut mulutku, kenapa kau protes?!" sentak Catherine namun sesaat pandangan matanya tertuju pada leher Kania yang memakai kaos berleher rendah hingga bekas Kissmark yang dimiliki wanita itu terpampang dengan jelas, "Dasar Jalang busuk." gumaman itu mengalun dengan tatapan penuh benci.
"Ya terima kasih atas sapaanmu hari ini." wanita itu menggendikkan bahunya masa bodoh kemudian mengalihkan pandangannya pada sang suami.
"Apa yang Aa' lakukan?"
"Oh, Saya mencoba membuatkan sarapan untukmu, mau coba?"
"Boleh." Kania langsung membuka mulutnya, menerima suapan yang diberikan Bagus padanya.
"Enak?"
"Sepertinya Aa bisa buka rumah makan karena saking enaknya masakan Aa'." senyum Kania lebar dan gadis itu kembali membuka mulutnya, meminta Bagus menyuapinya lagi, "Lagi!" Kania membuka mulutnya lagi dan lagi, meminta sang suami terus menyuapinya.
"Kalau makan jangan terburu-buru, lihat mulutmu jadi belepotan." Bagus mengulurkan jemari, menghapus setitik noda diujung bibir sang istri kemudian membawa jarinya kedalam mulut, "Iya enak juga."
"A!" pekik Kania malu sembari memukul d**a bidang sang suami.
"Aduh, aduh sakit Kania."
"Ehem!" suara deheman itu mengalun dengan keras, memaksa dua sejoli itu untuk menghentikan kemesraan mereka.
"Loh, masih disini?" Kania menatap Catherine dengan polos, "Mau minta sarapan buatan A' Bagus juga?"
"Aku tidak sedih makan makanan mengerikan seperti itu!" Catherine tahu kalau ucapannya sangat kasar terhadap Bagus tapi mau bagaimana lagi Catherine sudah kepalang kesal pada pasangan itu.
"Ya sudah sana pergi!" tangan kalian mengibas, mengusir Catherine seperti lalat.
"b******k, awas saja kalian berdua!" Catherine meninggalkan area dapur, pergi dengan kekesalan menumpuk dalam hati.
"Sepertinya kamu puas sekali karena telah berhasil membuatnya marah seperti itu?"
"Ya puaslah!" Kania langsung menatap Bagus dengan senyum lebarnya, "Memangnya dia saja yang bisa membuatku kesal. Apalagi saat melihat ekspresi cemburunya tadi. Menyenangkan sekali rasanya."
"Jadi suamimu ini hanya jadi alat untuk balas dendam?" Bibir Bagus mencebik, "Entah kenapa rasanya sesak sekali hati ini."
"Atututu kasihan sekali." Kania meraih wajah sang suami dengan senyum tertahan, "Coba sini menunduk." Bagus sedikit menundukkan wajahnya sesuai perintah sang istri.
Cup.
Satu kecupan panjang diberikan di pipi, "Sudah tidak sedih lagi? Masih kurang?" Kania memajukan wajahnya, meraih tengkuk sang suami kemudian menyatukan kedua bibir mereka dan Bagus yang dipancing seperti itu otomatis membalas ciuman sang istri, melumatnya lembut kemudian menggigit ujung bibir Kania untuk kemudian memancing lidah Kania untuk bermain.
"Hup!"
Tangan besar Bagus mengangkat tubuh Kania dan secara otomatis wanita itu mengalungkan lengannya pada leher sang suami.
Bagus berjalan perlahan kemudian meletakkan tubuh Kania diatas meja bar tanpa melepaskan tautan bibir mereka.
"Bagaimana ini, saya langsung naik." Bagus melepaskan tautan bibir keduanya dengan nafas terengah-engah dengan dahi saling menempel, "Apakah masih sakit?"
"Masih sedikit ngilu." Kania mengecup bibir Bagus singkat, " Petting saja, Ok?"
"Ok." Pria itu lantas menundukkan wajahnya, menyerang ceruk leher sang istri dengan serangan-serangan nakal.
"A!" Manic Kania terpejam erat dengan bibir setengah terbuka serta jemari mulai menekan tengkuk sang suami.
"Engh!"
"Astaga!"
Pergumulan keduanya terpisah detik itu juga, keduanya dengan cepat menoleh ke sumber suara dan mendapati Yanti, Ibu dari Bagus, berdiri di depan pintu masuk area dapur.
"BAGUS!" suara Yanti terdengar keras, wanita paruh baya itu meraih serbet yang ada di meja kemudian langsung maju dan memukuli sang putra dengan kesal
"Aduh ibu sakit!" pria itu melindungi wajahnya dari sabetan kain kotor yang ibunya bawa, "Sudah, Bu. Sudah. Ampun."
"Ampun apa?!" sentak Yanti marah, wanita itu membuang serbetnya dan menjewer telinga sang putra dengan keras, "Tidak punya malu untuk melakukan hal begini di ruangan umum?! Tidak malu kalau ada yang lihat?!" Yanti menggelandang Bagus pergi dari area dapur dengan tangan tetap menjewer telinga pria itu sedangkan Kania, wanita muda yang masih duduk di atas meja bar itu akhirnya memutuskan untuk turun secara perlahan dan mengikuti kemana langkah suami dan mertuanya pergi.
"Jangan pernah lakukan hal seperti itu lagi! Ingat!"
"Iya, Bu." angguk Bagus patuh.
"Hm." sahut sang ibu ketus karena masih marah pada sang putra dan Kania yang mengintip dibalik dinding hanya bisa tertawa pelan akan tingkah keduanya.
"Bu, sebenarnya ini juga salah Kania."
"Mana ada!" sergah Yanti keras, "Kelakuan laki-laki baru kenal perempuan ya begitu." sengit Yanti sembari melirik sang putra sinis karena pria itu telah membuatnya malu. Untung saja tadi yang masuk ke dapur Yanti sendiri, coba orang lain, dia bisa jadi gunjingan meskipun itu adalah rumah si pemilik sendiri.
"Yanti, katanya mau ikut masak?" seorang assisten cukup baya menepuk punggung Yanti dan Kania yang tahu siapa wanita itu langsung terpekik.
"Loh, mbok Sumi sudah kembali?" Kania menyentuh kedua pundak wanita yang lebih pendek darinya itu.
"Iya, mbok sudah sehat." wanita itu tersenyum kemudian melirik kearah Bagus.
"Yang jadi suamimu Kasep pisan, beda sama pacar-pacar yang dulu."
"Aish!" bibir Kania cemberut dengan malu, "Mbok sih pulang kampungnya kelamaan jadi mbok tidak bisa lihat Kania menikah."
"Maaf, ya." wanita itu tersenyum lembut, jemarinya menyentuh pipi Kania, "Yang penting sekarang kamu sudah ada yang menemani dan tidak sendirian lagi. Dan terlihat bahagia." Senyum Mbok Sumi terlihat menggoda.
"Terima kasih Mbok." Kania tersenyum dan langsung memeluk wanita yang sudah merawatnya sejak kematian sang ibu.
"Sudah. Sudah." Sumi melepaskan pelukan Kania, "Mbok harus cepat ke dapur sebelum adik tirimu teriak-teriak karena tidak ada makanan.
"Yanti ayo kita ke dapur."
"Ayo." keduanya lantas pergi meninggalkan sepasang suami istri itu.
"Jadi aku ini wanita satu-satunya, ya." Kania menggigit bibirnya kecil, "Tapi kok semalam jago sekali, ya. Seperti sudah sering melakukan hal seperti itu."
"Saya ini laki-laki, Kania. Lelaki punya insting."
"Oh..." sudut bibir Kania naik dengan cara meledek, "Masa, mana mungkin cuma insting lelaki..."
"CK!" Bagus berdecak, "Padahal sudah ada buktinya atau mau dibuktikan lagi sekarang."
"Sorry. Aku bilang masih ngilu. Jadi aku tidak mau." Kania menggelengkan kepalanya pelan.
"Baiklah kalau begitu."
"Agrh!" Kania menjerit pelan, tubuhnya diangkat dengan mudah oleh sang suami hingga membuat Kania menatap sang suami dengan manic melotot.
"A! Aku bilang masih sakit!"
"Tidak ada tapi-tapian, Nyonya Dewangga."
Dan disinilah mereka berdua, berendam didalam bathtub dengan buih-buih beraroma coklat yang manis.
"Bagaimana kalau nanti sore kita kencan?" Kania yang sedari tadi menelusuri otot-otot tanga sang suami akhirnya mengeluarkan idenya.
"Hm? Kencan?" Bagus mengerutkan alisnya.
"Iya kencan. Nonton, jalan-jalan seperti pasangan yang lain."
"Bukankah urutan yang kita lakukan salah?"
Kania yang tidak mengerti ucapan Bagus langsung membalikkan tubuhnya secara penuh.
"Seharusnya kita kencan dulu, mengenal lebih dalam satu sama lain sebelum akhirnya melakukan hal seperti ini."
"Oh." angguk Kania mengerti, "Tidak masalah juga. Lagipula Aa' sudah lulus." jemari Kania mulai menelusuri d**a bidang Bagus, menghitung berapa jumlah tahi lalat yang ada disana.
'Tahi lalat ada satu di pangkal leher, satu diatas d**a sebelah kiri dan satu diatas pusar.'
"Lulus dari apa?"
"Catherine." Kania mengangkat wajahnya, menampilkan wajah bahagianya.
"Darimana kamu tahu?"
"Kan selama ini aku mengintai kelakuan Aa'."
"Jadi lulus karena itu?"
"Iya. Apalagi masalah tadi pagi." Kania mengecup pipi sang suami dengan lembut, "Aa' menegur Catherine, meminta anak itu untuk menjauh. Hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh mantan-mantan Kania sebelumnya. Terima kasih."
"Saya memang harus melakukan itu karena memang itu adalah kewajiban saya. Saya harus menghalau orang yang hendak mencuri saya dari kamu karena Saya adalah suamimu. Orang yang harus saya jaga perasaannya."
"Semakin sayang pada Aa'." Kania memeluk sang suami erat hingga tubuh mereka tak berjarak.
"Kania."
"Hm?"
"Jangan peluk semakin erat, nanti kalau saya lepas kendali bagaimana?"
"Hah?" Kania menolehkan kepalanya pada sang suami sebelum akhirnya mengerti, "Ya tahan dululah!"