Kania langsung menutup sambungan telepon begitu dia selesai mengucapkan kata cinta untuk sang suami.
"Apa sih yang kulakukan? Bikin malu!" ucap wanita itu dengan tangan mengipasi wajahnya yang memerah.
Bukan satu dua kali Kania menjalin hubungan dengan seseorang namun baru kali inilah dia merasa sangat mencintai seseorang, jantung berdegup kencang setiap tatapan keduanya bertemu, sering tersenyum sendiri saat mengingat kenangan berdua bahkan sampai tak tahu malu untuk meminta jatah.
"Jangankan olahraga, dulu pacaran saja aku selalu menolak saat mereka ingin menyentuhku. Kenapa sekarang aku jadi seperti ini, sih?!" Kania menutup wajahnya dengan kedua tangan, malu.
"Sudahlah! Semoga Aa' tidak mendengar apa yang kuucapkan tadi. Tapi sepertinya Aa' tadi bicara sesuatu? Tapi apa? Ah bego! Kenapa buru-buru dimatikan sih?!"
Kania lantas pergi dari jendela dapur, tempat dimana dia sedari tadi menghubungi sang suami namun yang Kania tidak sadari sebelum gadis itu beranjak dari sana adalah sosok Seruni yang sedari tadi menguping dari balik dinding dapur, mengamati ekspresi bersemu si anak tiri saat mengatakan cinta pada suaminya.
"Maaf Kania, takdir cintamu harus berhenti sampai disini. Si anak kurang ajar itu harus Mama singkirkan karena Mama tidak suka melihatmu bahagia." senyum Seruni licik, wanita itu lantas menekan tombol di ponselnya untuk menghubungi orang suruhannya yang ada di perkebunan.
"Usir Yanti dari rumah itu sekarang."
"Maaf, Nyonya. Apakah hal ini tidak bisa ditunda dulu? Disini sedang hujan lebat dan kami khawatir beliau tidak ada tempat untuk berteduh nanti." Dan disaat itulah terdengar suara petir bergemuruh seakan mengiyakan laporan orang surahan Seruni itu.
"Kalian menerima uang dari saya tapi kalian masih menghawatirkan wanita sialan itu?" Seruni tertawa keras, "Kalian ingin mengalami nasib yang lebih buruk daripada wanita itu? Asal kalian tahu, sebelum saya memakai kalian, aku sudah mencari tahu lebih dahulu tentang keluarga kalian jadi jika kalian macam-macam, keluarga kalianlah yang akan jadi pengganti kegagalan kalian dalam melakukan tugas dari saya."
"Nyonya..."
"Bukankah kau punya anak berusia 3 tahun? Bagaimana kalau dia saja yang menanggung kegagalan tugas kalian?"
"Nyonya saya mohon, jangan sentuh keluarga saya Nyonya. Saya mohon jangan sentuh anak dan istri saya."
"Maka lakukan perintah saya."
"Baik Nyonya akan segera saya laksanakan."
"Bagus." senyum Seruni lebar, mengakhiri panggilannya dengan orang suruhannya yang ada di kebun kemudian menekan beberapa deret angka.
"Bagaimana?"
"Tuan Bagus terlihat memasuki tol."
"Buntuti dia terus dan pastikan kau terus menghubungi saya. Laporkan setiap detail yang ada, tanpa terkecuali."
"Baik, Nyonya." Dan sambungan telepon terputus, menyisakan Seruni yang tersenyum memikirkan apa yang akan terjadi pada Bagus serta ibunya nanti.
"Tinggal menunggu jam bergerak dan dunia indah Kania akan runtuh dalam sekejap. Dan aku adalah pemenang dari semua permainan yang telah dimainkan, Kania." ucap Seruni sembari menatap pantulan wajahnya yang tersenyum penuh kemenangan di depan meja riasnya.
Sementara itu di kota Bandung, di sebuah rumah besar yang berdiri di tengah-tengah perkebunan teh, sosok wanita paruh baya sedang menyeduh teh untuk menghangatkan suhu tubuhnya. Udara di perkebunan memang selalu dingin tapi kali ini terlalu dingin sampai merasuk ke kulit akibat hujan yang teramat deras serta kilat yang terus menyambar tanpa henti.
"Seharusnya jam segini aku sudah berada di kebun untuk membantu memetik teh." rebung Yanti sembari melihat air hujan berebut mengetuk kaca rumahnya.
"Semoga setelah ini hujannya reda." desahnya pelan sembari menyesap tehnya perlahan.
Tok!Tok!Tok!
Yanti mengerutkan alisnya bingung pasalnya pintunya di ketuk di tengah cuaca yang buruk.
"Siapa yang bertamu ditengah cuaca seperti ini?" Yanti bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu namun ketukan pintu yang semula sopan itu berubah menjadi brutal disertai dobrakan.
Yanti buru-buru membuka pintu rumah dan mendapati dua orang besar berdiri di depan pintu rumahnya.
"Maaf anda berdua siapa? Ada perlu apa mengetuk pintu rumah saya?" Yanti memberanikan diri bertanya pada dua orang itu namun bukannya menjawab pertanyaan dari si pemilik rumah tapi malah menarik tangan Yanti dengan kasar hingga membuat wanita paruh baya itu jatuh terlungkup dan merekapun menerobos masuk ke rumah.
"Kalian siapa?" Yanti berusaha berdiri sembari menahan sakit, "Apa yang kalian lakukan?!" wanita itu menjerit keras saat tangan-tangan besar mereka mulai menghancurkan seisi rumah.
"Jangan!" Yanti berlari kearah orang yang kini sedang menghancurkan deretan foto yang tertata rapi diatas meja, "Kumohon jangan rusak foto-foto itu!" tangan Yanti mencengkram lengan pria itu, menghalangi pria itu merusak lebih jauh.
"Minggir!" Namun sayang lagi-lagi Yanti dilempar hingga membuat wanita itu terhempas keras dan menabrak dinding.
"Apakah ini ponselnya?" salah satu dari mereka menemukan ponsel Yanti yang tergeletak diatas meja, "Bukankah benda ini juga harus dihancurkan?!"
"Brak!" Benda keluaran tahun 2010 itu dibanting dengan keras kemudian kaki berbalut sepatu tinggi itu langsung menginjaknya hingga membuat ponsel milik Yanti langsung hancur.
"Apakah ada hal lain lagi yang perlu dihancurkan?" seseorang terlihat melangkah masuk ke kamar dan Yanti yang melihat langkah kaki pria itu langsung berusaha bangkit, menahan kaki besarnya dengan penuh permohonan.
"Saya mohon hentikan! Cukup."
""Sebaiknya jangan halangi kami atau anda akan terluka semakin parah." peringat pria itu dengan gusar, menunduk didepan wanita itu sembari mencengkram wajahnya dengan tangan kiri.
"Aku akan melawan karena kalian menghancurkan milikku!" sentak Yanti keras dengan menahan tangis akibat rasa takut yang merayap.
"Anda pantas mendapatkan semua ini!" tekan pria itu.
"Saya tidak tahu apa salah saya." Yanti memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa yang menyuruh kalian?!"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Keluar dari rumah ini selagi kami masih berbaik hati."
"Kenapa saya harus pergi? Apakah kalian suruhan Tuan Suseno? Tapi apa salah saya hingga saya diusir seperti ini?" ceruk telaga Yanti menetes tanpa sadar saat menyadari kemungkinan besar dua orang yang kini telah menghancurkan rumah tempatnya berteduh adalah Suseno.
"Cepat seret wanita itu keluar! Jangan ladeni ucapannya yang bisa jadi membuat posisi kita terancam!"
"Jawab pertanyaan saya! Apakah kalian orang suruhan Suseno?!" jerit Yanti semakin keras namun bukan jawaban yang dia terima tapi tubuhnya malah diseret keluar dari rumah disusul dengan lemparan tas berisi beberapa baju milik wanita itu.
"Pergi dari sini selagi kami masih baik hati!"
"Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum aku bertemu dengan Suseno secara langsung."
"Keras kepala sekali, hah!" salah satu dari mereka sudah hilang kesabaran hingga akhirnya menyeret Yanti ke halaman rumah.
"Pergi dan jangan pernah kembali lagi jika kau masih mau hidup!" teriaknya keras dibawah guyuran air hujan.
Pria itu lantas mengangkat kepala, melihat beberapa rumah yang terbuka dan mengintip kejadian terjadi di rumah besar itu.
"Kuperingatkan pada kalian untuk tidak ikut campur masalah ini! Jika ada satu atau dua orang tertangkap membantu wanita itu, Kalian akan mengalami nasib yang lebih buruk dari ini!" peringatnya keras hingga membuat pintu-pintu yang semula terbuka kini menutup karena takut.
"Tugas kita selesai. Kita pergi sekarang!" Keduanya lantas pergi, meninggalkan Yanti seorang diri dengan tangis yang bersatu dengan air hujan.
"Bagus, tolong pulang Nak. Ibu disini membutuhkanmu." Yanti ingin menghubungi sang putra namun sayang ponselnya hancur, dia tidak ada tempat berteduh karena setelah dia diseret keluar, rumah yang selama puluhan tahun dia tinggali itu dikunci dengan rapat oleh para berandalan tadi.
Dengan langkah tertatihnya Yanti mengetuk pintu milik tetangga, meminta tolong meminjam telepon untuk menghubungi Bagus namun sayang tidak ada yang berani membantu wanita itu karena mereka takut. Mereka semua berpikir bahwa apa yang terjadi pada Yanti pasti ada hubungannya dengan Suseno, sang juragan.
Pada akhirnya Yanti hanya bisa tersenyum sedih, melangkahkan kaki kecilnya dengan tangan mendekap tas berisi pakaian miliknya, melangkah dengan kaki bergetar karena dingin serta rasa sakit yang menggerogoti hatinya karena perbuatan sang Tuan yang begitu kejam.
Yang ada dalam pikiran Yanti saat ini adalah menemui putra semata wayangnya Bagus, Bagaimanapun caranya.
Sementara itu mobil city car yang dikemudikan Bagus mulai memasuki wilayah Bandung.
Bagus sempat menghentikan perjalanan dan memilih berhenti di swalayan terdekat saat cuaca semakin buruk dan kembali melanjutkan perjalanan saat hujan sedikit terang.
"Rute pertama adalah perkebunan dekat dengan milik Tuan Suseno." pria itu bermonolog sembari mulai menyalakan mesin mobilnya.
Namun cuaca saat itu sama sekali tidak bisa diprediksi, matahari yang tadinya mulai menampakkan diri setelah sedari tadi ditutup awan hitam kini kembali menghilang dan berganti dengan angin kencang dan suara bergemuruh keras.
"Sepertinya diatas sana ada tempat untuk berhenti." Bagus memacu mobilnya dengan kecepatan rendah saat menuruni bukit kecil.
"Jika sampai terperosok ke bawah. Tamat sudah cerita hidup."
Bagus ekstra hati-hati akibat jalanan yang licin dan setelahnya mobil itu mobil itu mulai menuruni tanjakan curam, kaki pria itu mulai menginjak rem.
"Sial!" kaki itu terus menekan pedal rem namun mobil semakin melaju kencang tak terkendali akibat jalanan yang licin serta hujan yang semakin lebat tiap detiknya.
Bagus berusaha menguasai keadaan, mencengkram stang mobil yang ada didepannya dengan keras, mengendalikan laju roda yang seakan menggiringnya ke tepi jurang.
Brak!
Sekuat apapun tangan itu mencengkram stang kendali tidak akan mampu menahan laju roda yang terus berputar tak terkendali.
Kurang dari sepersekian detik, city car berwarna putih itu meluncur dengan kencang kearah jurang yang curam, menghantam tebing dengan keras sebelum akhirnya laju kendaraan itu terhenti, menyisakan kesunyian dan rasa sepi pada sosok pria yang kini kedinginan dalam diam dengan mata terpejam disertai darah mengalir di kepala.
Dan sosok yang sedari tadi mengawasi Bagus dibalik mobilnya itu menatap dengan tatapan kosong pada mobil sedan yang telah hancur dibawah sana sebelum akhirnya meraih ponselnya dan menghubungi sang nyonya.
"Cerita anak itu sudah usai dan saya akan kirimkan fotonya pada anda, Nyonya."
"Bagus. Kau lakukan tugasmu dengan baik." Sambungan telepon terputus dan sosok itu langsung keluar dari balik mobilnya dengan merentangkan payung hitam, mengambil beberapa foto untuk dikirimkan ke sang nyonya.
Setelah menunggu hampir dua jam sekaligus menunggu hujan reda, pria itu kembali menekan layar ponselnya untuk menghubungi polisi, mengabarkan ada kecelakaan di daerah dekat perkebunan teh.
"Kania!"
Pintu kamar milik Kania dibuka dengan paksa.
"Ada perlu apa Mama masuk ke kamar Kania?" Kania menatap dingin sosok sang ibu tiri yang terlihat panik.
"Bagus kecelakaan!"