"Ibu tadi cerita kalau kamu baru saja membelikannya baju."
"Hm." angguk Kania pelan.
"Ibu senang. Dia cerita kalau baju yang kamu belikan bagus-bagus sampai-sampai beliau sayang untuk memakainya." Bagus mengelus surai Kania yang berbaring diatas tubuhnya itu, "Terima kasih karena sudah perhatian pada ibu saya."
" Sekarang ini ibunya Aa' adalah ibu Kania juga." Kania mengangkat kepalanya dan bertumpu didada bidang sang suami, "Apapun milik Aa' otomatis milik Kania, kan?"
"Tentu saja."
Senyum Kania terbit, wanita muda itu lantas memajukan wajahnya, mengecup bibir Bagus secara singkat.
"A, bolehkah Kania cerita sesuatu?"
"Boleh. Cerita apa?"
"Kania bahagia karena pilihan Kania untuk menikah dengan Aa adalah pilihan yang tepat."
"Aa' juga bahagia karena Kamu mau terima Aa' apa adanya."
"Kalau dilihat-lihat, Aa' ini bukan sekedar apa adanya." Ucap Kania dengan ujung jari mulai menelusuri d**a bidang sang suami, "Tampan, tinggi, gagah, perkasa, pintar dan minusnya cuma miskin saja."
"Mungkin karena Aa' miskin makanya tidak ada yang melirik Aa' selama ini."
"Siapa bilang? Lupa pada orang yang namanya Catherine?" bibir Kania langsung cemberut, "Lupa kalau dia pernah hampir telanjang untuk menggoda Aa'."
"Saat itu saya tidak menyangka Kalau Catherine berani berbuat sejauh itu. Lagipula saya tidak tergoda, kan? Buktinya malah kamu yang olahraga malam sama Aa'."
"Hidih! Coba Aa' ingat tidak warna puncak buah d**a Catherine?"
"Lah mana Aa' ingat saat itu Aa' buru-buru menyelesaikan kran air yang bocor kemudian pergi secepat mungkin dari sana."
"Padahal punya Catherine lebih besar dari punya Kania, sepertinya tipe idaman para lelaki."
"Kalau idaman Aa' itu yang sekarang sedang menindih tubuh Aa'." sahut Bagus disertai senyum mesumnya, "Teksturnya lembut, warnanya pualam seperti mutiara dengan puncak pink yang jika disentuh akan berdiri tegak menantang untuk dimanjakan."
"Sopankah membicarakan bagian tubuh seseorang tepat dihadapan orangnya?"
"Kan punya istri sendiri." Senyum Bagus lebar sebelum akhirnya menggulingkan tubuh sang istri dan menindihnya.
"Kalau Aa' minta sekarang boleh?" Kalau dipikir-pikir mereka melakukannya baru sekali meskipun dilakukan semalam suntuk hingga membuat Kania kelelahan.
"Eh, bagaimana ya?" Kania menurunkan tali tipis yang membalut pundaknya dan Bagus yang melihat itu langsung tersenyum lebar, menundukkan wajahnya dan langsung menghisap tulang selangka sang istri.
"Mau yang lembut atau keras?" Bagus bertanya sembari mengecupi wajah Kania.
"Terserah Aa'." Kania memegang wajah pria itu, "Mau lembut atau keras Kania suka."
"Siap laksanakan Nyonya Dewangga." Bagus langsung menarik terusan malam sang istri hingga membuat wanita muda rentan dengan cara menggoda.
"Sebentar, Aa mau membuktikan ucapan Aa' tadi." tangan besar Bagus terulur, memijat kedua bongkahan Kania, memijatnya dengan lembut hingga membuat Kania mendesah lirih, "Teksturnya lembut sekali, warnanya juga cantik." Bagus lantas menundukkan wajah, meniup puncak pink Kania yang berdiri tegak, "lihatlah Kania. Ini minta dihisap." Bagus lantas mengeluarkan lidahnya, menelusuri bagian samping buah mengkal sang istri, melakukannya secara adil antara kanan dan kiri sebelum akhirnya membuka mulut semakin lebar dan menghisap puncaknya.
"A..." Kania mendesah keras, mengelus surai lebat sang suami sambil sesekali mendorong kepala pria itu untuk memakan buahnya semakin banyak di mulut.
"Lembut sekali, Kania." Pria itu mengangkat wajahnya, menatap sang istri dengan wajah memerah sebelum akhirnya kembali menunduk, memuja tubuh sang istri setelah membuat Kania lemas barulah pria itu melepas celana tidurnya, menindih tubuh Kania dengan hati-hati, "Aa' masuk sekarang, ya."
"Yah." angguk Kania pelan dan kurang dari satu detik wanita muda itu kembali mengerang keras saat benda pusaka milik Bagus menerobos masuk kedalamnya.
"A..." peluh membanjiri tubuh Kania dan Bagus yang melihat penampilan merah sang istri hanya bisa tersenyum, "Aa' bergerak sekarang ya?"
"Yah." Dan setelah itu hanya ada erangan yang memenuhi isi kamar keduanya.
"Kania..."
"Yah..." Nafas Kania hampir putus saat Bagus mengakhiri permainannya, pria itu lantas menempelkan kedua dahi mereka, saling beradu nafas akibat kegiatan yang telah mereka lakukan.
"Terima kasih, sayang." Bagus mengecup puncak kepala sang istri dalam dan membawa tubuh Kania dalam pelukannya.
"Kania."
"Hm?"
"Dengan apa yang terjadi saat ini, perjanjian kita sebelumnya harus diperbaiki, bukan?"
"Tunggu sebentar." Kania bangkit dari atas ranjang dengan menutupi tubuhnya dengan selimut kemudian kembali lagi keatas ranjang disamping sang suami.
"Mau ditambahkan apa?"
"Bagus Dewangga akan berjanji menjaga dan menyayangi Kania Jasmine Djuaji apapun keadaan yang terjadi. Kania adalah tanggung jawab penuh dari Bagus Dewangga baik itu tanggung jawab secara materiil dan spirituil. Apapun milik Bagus Dewangga adalah milik Kania Jasmine Djuaji."
Kania yang mendengar itu langsung tersenyum lebar, meraih wajah sang suami dan mengecupnya dalam, "Dan apapun yang menjadi milik Kania adalah milik Bagus Dewangga. Selamanya."
Klausal tambahan telah ditulis dan Kania kembali menyimpan perjanjian mereka di laci, "Apakah aman menyimpan disana?" Bagus tidak tahan untuk bertanya.
"Aman. Tidak ada yang berani membuka kamar ini tanpa izin pemiliknya."
"Baguslah kalau begitu." Bagus lantas membawa Kania dalam pelukannya, "Jika nanti ada waktu sebaiknya kita bawa berkas perjanjian kita untuk didaftarkan secara sah sebagai perjanjian nikah."
"Iya nanti kalau ada waktu kita sama-sama temui Uncle Kustanto." senyum Kania lebar dan menenggelamkan dirinya dalam pelukan sang suami.
'Terima kasih Aa'. Aa' adalah pilihan paling tepat untuk Kania.' Dan wanita muda itu tersenyum dalam kebahagiaannya.
Dan pagi datang menjelang, Bagus yang bangun terlebih dahulu membangunkan sang istri kemudian membantu wanita itu untuk mandi. Setelah rapi, keduanya keluar dari kamar untuk sarapan bersama yang lain.
"Lihat, ibu cocok sekali memakai baju itu." Kania langsung memekik senang saat Yanti datang dengan setelan barunya, setelan sederhana berupa rok terusan berwarna coklat muda.
"Iya cocok sekali."Senyum Bagus lebar kemudian mengalihkan pandangannya kearah Kania, "Terima kasih, ya."
"Sama-sama." balas Kania sembari melirik ekspresi Seruni yang terlihat tidak suka, "Lagipula Ibu sangat cantik, bertubuh bagus dan tinggi jadi setelan sederhana seperti ini bisa terlihat mahal dan mewah oleh beliau."
"Kamu bisa saja, Kania. Ibu jadi malu." Yanti tersenyum malu-malu.
"Itu memang benar kok. Kalau memang dasarnya baik dan cantik, seseorang tidak akan menghamburkan banyak uang hanya untuk sesuatu yang cocok untuk dirinya." Kania terang-terangan menyinggung Seruni dan sang ibu tiri menatap wajah Kania dengan wajah memerah marah dan tangan terkepal erat.
***
Seruni menghias diri secantik mungkin didepan cermin, memoles wajahnya dengan berbagai make up mahal yang dia miliki namun sekejap pergerakan tangan wanita itu terhenti.
'Kalau memang dasarnya baik dan cantik, seseorang tidak akan menghamburkan banyak uang hanya untuk sesuatu yang cocok untuk dirinya.'
"Sialan!" Seruni kembali menggertakkan gigi tatkala suara Kania yang mengejeknya kembali terngiang di telinga.
"Awas saja kau. Kau tidak akan berkutik dengan apa yang kulakukan, Kania!" wanita itu lantas mengangkat kepalanya, menatap jam dinding yang kini telah menunjukkan bahwasanya sang suami telah berada di rumah.
Seruni lantas keluar dari kamar dan menuju dapur, mempersiapkan teh serta camilan karena si jam ini sang suami biasanya akan berada di ruang kerjanya.
Seruni mengetuk pintu kerja sang suami dan masuk setelah dipersilahkan dan seperti biasa Seruni memberikan teh buatannya untuk diminum.
Mas."
"Hm?"
Besok kita temui Kustanto, ya."
"Untuk apa?" Suseno langsung mengalihkan pandangannya pada sang istri bingung namun pandangan pria itu langsung teralihkan saat telapak tangannya digenggam lembut oleh sang istri kemudian, jemarinya yang lentik terulur meminta sang suami untuk fokus ke manicnya, "Kita perbaiki surat wasiat yang telah Mas Suseno buat. Kita perbaiki semua supaya semua adil untukku maupun anak-anak kita, Mas." ucapan Seruni mendayu lembut dan Suseno yang tersihir oleh sang istri hanya menganggukkan kepalanya, menyetujui.
Pagi-pagi sekali, pasangan itu sudah sangat rapi dengan setelan mereka, keluar dari balik pintu rumah sebelum satu satu orangpun dari keluarga mereka keluar dari kamar. Setelah menempuh perjalanan yang untungnya cukup lenggang, sedan yang dikemudikan oleh Suseno sendiri akhirnya berhenti di halaman rumah Kustanto sang pengacara.
Pintu rumah diketuk dan suara langkah kaki tergopoh-gopoh terdengarlah dari dalam rumah, pintu terbuka dan menampilkan assisten rumah tangga sang pengacara.
"Kustanto ada?"
"Beliau ada. Silahkan masuk." kedua tamunya dipersilakan masuk dengan sopan, "Saya akan panggilkan Tuan sebentar."
Tak lama setelah assisten pergi, sang pemilik rumah datang. Pria paruh baya itu menatap pasangan kliennya dengan heran karena mereka berdua terlalu pagi untuk datang bertamu.
"Ada perlu apa? Kenapa pagi sekali? Ada urusan mendesak?"
"Iya." jawab Seruni cepat, "Maaf kami berkunjung terlalu pagi tapi Mas Suseno yang meminta untuk kesini secepatnya jadi aku hanya ikut apa maunya Mas Suseno saja." Seruni lantas menggenggam telapak tangan sang suami dan secara halus meminta Suseno untuk menatap manic matanya.
"Mas mau melakukan apa yang mas ceritakan kemarin, kan?"
"Iya." Suseno menganggukkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya pada Kustanto.
"Jadi?" Alis Kustanto naik, menunggu maksud kedatangan pria itu dan istrinya.
"Saya mau mengubah surat wasiat saya. Saya tahu Surat Wasiat yang tempo hari belum kamu bawa ke kantor Notaris, kan."
"Belum. Sebentar saya ambilkan berkas surat wasiatnya."
"Tunggu!"
Kustanto menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya pada Suseno.
"Beri Saya kertas yang baru karena saya ingin mengubah semuanya."
Kustanto tidak banyak bertanya, pria itu pergi kemudian datang dengan membawa berkas lama milik Suseno serta kertas baru yang pria itu pinta.
Setelah menerima kertas yang diberikan oleh Kustanto, Suseno langsung menuliskan sesuatu disana setelah usai, pria itu langsung memberikan tanda tangan beserta materai kemudian menyerahkannya pada Kustanto.
"Seluruh harta maupun hutang dari Suseno Djuaji yang meliputi aset tanah serta rumah yang ada di Bogor, Jakarta serta perkebunan teh yang ada di Bandung akan menjadi milik sah Catherine Amertha Djuaji atas pengawasan Seruni Wijayanti. Kustanto yang membaca kertas tulisan tangan Suseno langsung menyerngitkan alisnya bingung.
"Mas, Bagaimana mungkin Mas memberikan semuanya pada kami? Kania bagaimana?"
"Kania sudah menikah. Dia sudah menjadi tanggung jawab suaminya." Jawab Suseno seolah tak ada beban bahwa Kania adalah putri kandungnya yang berhak mendapatkan sebagian besar harta miliknya.
"Kamu yakin?" Kustanto menatap Suseno tajam, "Kalau saya bilang ini sangat tidak adil bagi Kania, apa kamu tidak berpikir begitu juga?"
"Tidak. Kania sudah mendapatkan yang terbaik, Kustanto."
"Tapi tetap saja, Mas. Kania juga berhak atas harta milik ayahnya." Seruni sedikit protes namun Suseno mengalihkan pandangannya pada sang istri, "Saya melakukan yang terbaik untuk Semuanya, Seruni. Percaya sama Mas."