Tubuh itu tidur dengan nyaman dalam dekapan erat sang suami dan semakin mendekatkan tubuhnya tatkala hawa dingin mulai merayap di punggungnya. Seulas senyum tanpa sadar terbit di bibir Kania begitu tangan besar itu memeluknya semakin erat hingga membuat hidung kecilnya menghindu aroma sang suami dalam sebelum akhirnya hidung kecilnya itu mengerut, mencium aroma asing yang membuat perutnya bergejolak.
Kania lantas melepaskan dekapan tangan Bagus dan berlari kearah kamar mandi, memuntahkan seluruh isi dalam perutnya.
"Huek!"
"Huek!"
"Huek!"
Dengan tangan mencengkram erat pinggiran toilet, sosok cantik itu terus mengeluarkan seluruh isi dalam perut ratanya sebelum akhirnya lirih karena lemas.
Bagus yang merasa ranjang disebelahnya dingin langsung membuka mata perlahan sebelum akhirnya sadar saat mendengar suara ribut-ribut dari arah kamar mandi yang terbuka.
"Ya Tuhan, Kania!" dengan segera Bagus melompat dari ranjang menuju sang istri berada, memijat tengkuk wanita itu dengan lembut. Kania berhenti muntah setelah seluruh isi perutnya terkuras habis. Tubuh Kania hampir luruh ke lantai namun Bagus dengan sigap menompang tubuh lemas sang istri,
membantu wanita itu untuk membersihkan mulutnya kemudian menggendong tubuh lemas Kania dan meletakkannya diatas ranjang.
"Kita ke dokter ya."
"Tidak, aku tidak apa-apa." geleng Kania keras sembari menyandarkan tubuh lemasnya pada sang suami.
"Tapi badanmu panas sekali." Bagus menyentuh dahi sang istri dengan telapak tangan, "Yakin tidak mau periksa ke dokter?"
"Tidak." geleng Kania lemah, " Mungkin aku hanya masuk angin saja. Aku akan merasa lebih baik setelah istirahat dan dipijat oleh Mbok Sumi."
"Bagaimana kalau bukan cuma masuk angin saja, Kania?" Bagus menggenggam jemari Kania dengan tatapan penuh harap, "Hamil misalnya?"
"Bagaimana bisa hamil sedangkan dua minggu lalu aku baru selesai haid."
"Benar juga." Bagus menarik nafas kecewa.
"Jangan kecewa begitu." Kania mengulurkan tangannya, mengelus wajah sang suami, "Kalau sudah rejeki pasti dia akan tiba-tiba berada disini." senyum Kania sayu sembari mengelus perutnya.
"Semoga kita segera diberi kepercayaan oleh Tuhan, ya."
"Iya." angguk Kania pelan yang dibalas Bagus dengan senyum tipisnya.
"Sebentar Aa' ambil kompres dulu." pria itu berlari kecil ke kamar mandi, mengambil air dingin dan handuk kecil untuk Kompress.
"Ah." desah Kania lega saat kain dingin itu mampir di keningnya yang mendidih.
"Lebih baik?"
"Iya." angguk Kania pelan dan saat pagi datang, Bagus langsung berlalu menuju dapur meminta dibuatkan bubur oleh Mbok Sumi.
"Non Kania kalau sakit biasanya suka makan bubur jagung." Mbok Sumi menyiapkan bubur buatannya kedalam mangkuk kemudian menyerahkannya pada Bagus yang kemudian langsung pria itu bawa ke kamarnya.
"Kita makan dulu, ya." Bagus membantu Kania bangun, buat tubuh sang istri bersandar di headboard ranjang.
"Huft." Bagus meniup pelan sendok ditangannya kemudian menyodorkannya pada sang istri, menyuapinya perlahan meskipun sang istri terus menolak karena tenggorokannya sakit, setelah selesai makan, Bagus buru-buru ke kamar mandi untuk mengambil air dan lap bersih untuk membasuh tubuh sang istri kemudian mengambilkan baju ganti yang nyaman untuk wanita itu.
"Kania rasa Kania akan cepat sembuh kalau Aa' yang merawat." senyum Kania lemah.
Namun nyatanya Kania tidak kunjung sembuh dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit dan diagnosa yang didapat adalah Typus.
Dan kini tubuh itu terbaring dengan lemah diatas brankar dengan infus di tangan.
"Sudah Aa' bilang untuk langsung ke dokter saja tapi kamu tidak mau. Lihat kondisimu semakin buruk, kan?" Omelan Bagus tidak berhenti sejak tadi hingga membuat kepala Kania pusing terasa ingin meledak sekarang.
"Kan sudah Aa' bilang kalau kerja jangan terlalu diforsir lihat sekarang kondisimu."
Memang benar istilah kerja, kerja, typus dan Kania mengalami itu sekarang.
"A Jangan ngomel lagi! Stop!"
"Aa' cerewet untuk kebaikanmu, Kania." desah Bagus pelan sebelum akhirnya menundukkan kepalanya dengan lemas, "Aa' khawatir padamu, Kania. Aa' takut kamu kenapa-kenapa."
"Iya. Iya." Kania tersenyum kecil sembari mengelus surai halus sang suami, "Sekarang waktunya Aa' untuk pergi. Ingat Aa' harus kerja."
"Kamu tidak apa-apa berdua saja dengan Mbok Sumi?"
"Tidak apa-apa." geleng Kania pelan, "Dari dulupun yang selalu menemani Kania saat sakit ya cuma mbok Sumi."
"Baiklah kalau begitu." Bagus tersenyum lembut dan mengecup puncak kepala Kania, "Aa' berangkat sekarang. Kalau ada apa-apa cepat hubungi Aa', Ok?"
"Iya. Iya." angguk Kania mantab kemudian buru-buru mengusir Bagus dari ruang rawatnya.
"Mbok saya titip Kania, ya." Pria itu menitipkan Kania pada mbok Sumi yang sedari tadi hadir diantara mereka berdua.
"Tenang saja Den Bagus. Non Kania aman sama Mbok." senyum wanita paruh baya itu lembut. Bagus tersenyum lega dan langsung pergi setelah tahu betul Kania bersama orang yang tepat.
Namun belum sampai satu jam Bagus pergi pintu ruang rawat itu kembali terbuka dan kali ini salah satu dari orang itu membuat Kania langsung memalingkan wajahnya dengan malas.
"Kenapa tidak memberitahunya Ayah kalau sedang sakit, Kania." Suseno buru-buru menggenggam tangan sang putri yang tidak kena infus kemudian menyentuh dahi sang putri dengan telapak tangannya.
"Kania hanya kena Typus. Bukan penyakit yang berat."
"Tapi tetap saja kamu membuat ayahmu Khawatir, Kania." sahut Seruni, "Kamu sudah besar tapi terkesan tidak bisa jaga diri." sinisnya.
"Kania bukan sakit karena disengaja, Runi. Bisa jadi dia divorsir kerja." Bela Suseno pelan.
"Itu berarti kalau tidak mampu ikut kerja tidak usah kerja. Kalau sakit begini siapa yang susah."
"Seruni!" peringat Suseno dengan menekankan nama wanita itu.
"Maaf Mas. Seruni hanya khawatir saja pada Kania." liriknya tajam pada sang anak tiri.
'Cih. Khawatir apa. Dia khawatir kenapa aku tidak kena penyakit yang lebih parah atau Mati?!'
"Iya, Mas paham apa maksudmu, Runi."
Tak lama kemudian suara nyaring mengalun dan Suseno langsung mengambil ponsel dari sakunya, "Ya Hallo?" Pria itu mengangkat ponselnya dan keluar dari ruang rawat sang putri.
"Jika anda tidak betah di ruangan ini, anda bisa langsung pulang." usir Kania begitu dia berhadapan dengan sang ibu tiri tanpa penghalang.
"Dan membuat Ayahmu marah karena aku pergi begitu saja." decih Seruni dengan tangan bersendekap, "Melihat kondisimu seperti ini harusnya kamu sadar diri kalau fisikmu tidak kuat untuk diajak kerja, Kania. Harusnya kamu itu di rumah, menjadi ibu rumah tangga saja daripada membuat semua orang repot."
"Dan membiarkan Catherine ikut mengurusi perusahaan milik ayahku?" sudut bibir Kania naik, "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, MAMA."
Ceklek.
Pintu kembali dibuka dari luar dan sosok Suseno masuk kedalam hingga membuat kedua orang itu menghentikan pertengkaran sengit mereka, "Ayah harus kembali ke kantor sekarang. Ayah ada janji temu dengan investor." Suseno lantas mengecup dahi sang putri, "Kamu tidak apa-apa ayah tinggal sendiri atau mungkin Mama disini saja untuk menemanimu?
'Tidak. Yang ada kepalaku semakin pusing karena kami akan terus bertengkar.'
"Tidak perlu." geleng Kania pelan, "Mama bilang ada acara setelah ini dan Kania tidak mau membuat acara Mama kacau." karang Kania dan beruntung Seruni tidak membantah karena sepertinya wanita itu juga enggan menemani sang putri sambung.
"Kamu yakin Mama tinggal?" Seruni juga ikut mendekati brankar Kania, "Mama akan telepon teman Mama untuk membatalkan acara kami."
"Tidak. Tidak perlu. Ada mbok Sumi di sini. Hanya Mbok Sumi yang Kania butuhkan."
"Baiklah kalau begitu. Kabari Mama kalau ada apa-apa" Senyum Seruni lembut, "Mas ayo kita pergi Sekarang."
"Ayah pergi, Kania." Suseno mengecup dahi Kania lembut dan diikuti oleh Seruni setelahnya.
Kecupan yang ingin Kania tolak mati-matian namun tidak bisa karena ada sang ayah disana.
"Mbok tolong ambilkan tissue basah" Kania langsung minta tissue begitu pintu tertutup dan langsung mengelap dahinya dengan kesal.
"Jangan keras-keras nanti dahi Non lecet." mbok Sumi berkata sembari menahan tawa.
"Jijik aku." pekik Kania kesal, "Ada bekas lipstiknya juga. Iyuh!" pekik Kania semakin kesal saat tissue basahnya menampilkan noda merah yang pekat.
Kania dirawat selama 3 hari di rumah sakit dan selama 3 hari itu pula, Bagus dan Mbok Sumi saling bergantian menjaga Kania. Mbok Sumi di siang hari dan Bagus di Malam hari.
Bagus yang tubuhnya letih terus menolak jika disuruh pulang dan beristirahat di rumah, "Untuk apa Aa' pulang kalau di rumah tidak ada kamu, Kania."
"Kan Aa' lelah setelah seharian bekerja. Kalau Aa' ikut tumbang bagaimana?"
"Tidak. Pekerjaan Aa'tidak seberat itu." Bagus tersenyum dan mengecup dahi sang istri, "Lagipula Aa' kuat." Pria itu lantas mendekatkan bibirnya ke telinga Kania, "Saking kuatnya bisa membuatmu menjerit semalaman."
"Ih!" Kania langsung melayangkan cubitan mautnya di perut pria itu, mengabaikan suara kesakitan yang keluar dari bibir sang suami, "Kalau bicara tahu tempat, Aa'!"
Itulah pekikan kesal Kania sebelum akhirnya dia diijinkan untuk pulang ke rumah.
Dengan menggunakan mobil sedan milik Kania, mereka bertiga memboyong seluruh barang bawaan di rumah sakit yang banyaknya seperti orang pindahan rumah.
Begitu mobil masuk ke pekarangan rumah dan mendapati sebuah mobil yang asing.
"Tadi ada arisan dan mungkin itu adalah mobil milik teman Mama Non Kania yang belum pulang." kata si Mbok yang duduk di kursi belakang.
"Ayo sini, mbok papah." wanita itu lantas keluar dari mobil dan membantu Kania berjalan sedangkan Bagus, pria itu mulai mengeluarkan barang-barang dari bagasi untuk dibawa masuk.
"Kania." suara itu mengalun nyaring menyambut Kania yang baru memasuki rumah.
'Oh Bu Joko. Wanita yang sama ularnya seperti Mama. Cocok sekali mereka bisa berteman.' pikir Kania.
"Katanya kamu sakit." Bu Joko memegang lengan Kania lembut namun Kania tidak suka hal itu.
"Sekarang sudah sembuh. Maaf Kania ingin masuk ke kamar dulu. Kania sedikit pusing sekarang. Permisi." ringis sungkan kemudian meminta si Mbok untuk kembali berjalan.
"Nah kalau ini pasti suaminya Kania." Bu Joko menghadang Bagus yang sibuk dengan barang bawaannya, "Tante datang ke acara nikahanmu dengan Kania. Ah mungkin kamu lupa." wanita itu menatap Bagus dengan sinar mata kagum.
"Aa'!" Suara Kania terdengar keras dari arah pintu kamar yang terbuka seolah meminta Bagus itu segera masuk ke kamar mereka.
"Maaf saya permisi." pria itu buru-buru melangkah menuju kamar kemudian menutup pintunya pelan.
"Jadi dia mau kamu singkirkan? Apa tidak sayang, ganteng begitu."
"Dia membawa pengaruh untuk Kania dan aku tidak suka melihat Kania punya tempat bersandar, Bu Joko!"
"Jadi kamu mau bunuh." kata bunuh terdengar enteng sekali keluar dari mulut Bu Joko hingga membuat Seruni langsung menolehkan kepalanya pada temannya itu.
"Aku tidak mau jadi penjahat dengan membunuh orang. Ada banyak cara untuk menyingkirkan seseorang tanpa membuat mereka mati, kan?!"
"Benar juga." Bu Joko lantas berpikir sejenak, "Ah, bagaimana kalau begini."