14. Mulai Kerja

1505 Words
"Mau kemana, kok rapi sekali?" Kania yang baru keluar dari kamar langsung mendapatkan pertanyaan dari sang ayah yang duduk di meja makan bersama sang ibu dan Catherine. "Kania memutuskan untuk menerima tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaan." jawab Kania sembari melirik ekspresi yang ditampilkan sang ibu tiri dan saudara tirinya yang lebih suka diam sembari meliriknya sinis. "Memangnya suami mengijinkanmu bekerja?" Seruni ambil suara dengan lirikan ketusnya, "Ingat posisimu sekarang adalah seorang istri, kamu harus ikuti apa kata suamimu." "Jangan sampai kamu mengambil keputusan sendiri dan membuat Aa' Bagus jadi kecewa." imbuh Catherine pada ucapan sang ibu. "Kania tahu posisi Kania sebagai seorang istri jadi jangan khawatir. Kania dan Aa' sudah diskusi semalam dan Aa' mengijinkan Kania bekerja." balas Kania dengan senyum, "Iya kan A?" Kania yang melihat Bagus Baru keluar dari kamar mereka langsung meminta validasi pria itu. "Saya tidak mau mengekang Kania. Lagipula Ayah menawarkan pekerjaan pada Kania sebelum kami menikah. Jadi menurut Bagus, selama Kania mau dan sanggup, Bagus tidak masalah." Bagus menatap istrinya dengan seulas senyum penuh cinta, ekspresi yang membuat Catherine langsung mengepalkan tangan erat karena kesal. "Saya tidak mau menghalangi Kania untuk berkembang lagipula perusahaan nantinya akan jadi milik Kania, kan?" "Yah, kamu benar Bagus." sahut Suseno setuju atas ucapan sang menantu, "Lebih cepat lebih baik." "Terima kasih, A." Kania menatap sang suami dengan senyum lebarnya sedangkan Seruni yang mendengar apa yang diucapkan oleh Bagus hanya menipiskan bibirnya, 'Enteng sekali bilang seperti itu?! Dasar lintah.' "Mama dengar sendiri kan apa kata Aa'." sudut bibir Kania naik, "Kania ingin belajar di perusahaan secepat mungkin kemudian mengambil alih kepemimpinan perusahaan agar beban ayah sedikit berkurang. Jadi ayah bisa tinggal di rumah menikmati masa tua dengan tenang." "Baguslah kalau tujuanmu baik seperti itu. Sekarang kita mulai sarapan sebelum kalian semua telat." Seruni memutus percakapan di meja makan, dia tidak mau mendengar pembicaraan apapun yang akan membuatnya semakin kesal hingga akhirnya satu persatu pamit meninggalkan meja makan untuk pergi ke aktivitas masing-masing dan menyisakan Suseno bersama sang istri. "Mas." Tangan wanita itu menggenggam telapak tangan sang suami dan meminta pria itu menatap manicnya, "Mas apa tidak khawatir Kania mengambil tawaran mas terlalu cepat?" "Maksudnya?" "Begini loh mas, Kani mengambil tawaran dari mas setelah dia menikah dengan Bagus padahal sebelumnya dia enggan. Apa mas tidak takut kalau Kania hanya dikendalikan oleh Bagus saja?" wajah Seruni tampak Khawatir. "Bagus bukan orang seperti itu, Seruni." "Tetap saja Seruni khawatir, Mas. Orang akan berubah jika menyangkut masalah uang dan kekuasaan." Seruni mengulurkan tangannya, mengelus pipi sang suami, "Mas sebaiknya mas awasi Bagus dan laporkan apapun yang anak itu lakukan pada Runi. Runi tidak mau kita kecolongan dan berakibat fatal nanti. Mas setuju dengan Runi!" "Ya, mas setuju." Suseno menganggukkan kepalanya seperti robot, "Mas akan meminta orang mas untuk mengawasi Bagus melaporkannya padamu, Runi." "Terima kasih ya, Mas." Seruni tersenyum lebar, membawa wajah sang suami mendekat untuk dikecup, "Terima kasih karena Mas sudah memahami kekawatiran Seruni." Setelah itu Seruni melepas kepergian suami dengan mobil sedannya, melambaikan tangan dengan senyum lebar sembari menunggu laporan apa yang nanti akan dia dapatkan. Sementara itu, Kania yang telah diperkenalkan sebagai calon penerus perusahaan kini memasuki ruangan yang telah disiapkan untuknya. "Ada beberapa berkas yang harus anda pelajari Bu Kania. Semua berkasnya sudah saya siapkan di meja kerja anda. Anda bisa menghubungi saya jika anda memerlukan bantuan." "Tentu." Kania yang semula mengamati seluruh ruang kerjanya langsung membalikkan tubuhnya, menatap sosok wanita yang lebih tua beberapa tahun yang kini bertugas sebagai assistennya, "Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu." "Ya?" "Mengenai Bagus. Apakah dia bisa beradaptasi dengan baik dengan para karyawan?" Kania memang beberapa kali mengunjungi Bagus sebelumnya dan semuanya terlihat baik-baik saja tapi itukan saat ada Kania dan pastinya mereka akan bersikap baik pada Bagus jika ada dia, kan? "Anda tidak perlu khawatir. Tuan Bagus bekerja sangat baik bahkan beliau memberikan beberapa saran kepada team untuk membuat produk lain dari olahan teh kita. Melakukan beberapa riset beberapa jenis teh serta membatu team untuk negosiasi dengan beberapa pabrikan penghasilan minuman. Bahkan jika kamu tidak tahu siapa Tuan Bagus sebenarnya kita bisa beranggapan bahwa beliaulah yang sebenarnya yang menjadi penerus perusahaan." senyum wanita itu cerah, "Intinya anda tidak perlu khawatir tentang Tuan Bagus." "Sebenarnya aku juga tidak masalah kalau dia yang meneruskan perusahaan." bisik Kania pelan, "Baiklah kalau begitu, kamu bisa keluar, jika butuh sesuatu aku akan memanggilmu." "Baik Bu Kania. Saya permisi." Wanita itu undur diri, meninggalkan Kania di ruang kerjanya. Kania yang ditinggal sendiri langsung melangkah menuju mejanya, membuka beberapa berkas yang perlu dia pelajari. "Sepertinya anak ayah sedang sibuk sampai tidak menyadari bahwa pintu ruang kerjanya dibentuk dari luar." Kania yang sedari tadi menundukkan kepala itu langsung mengangkat kepalanya, "Kania sedang sibuk dan fokus, Ayah." bangkit dari meja kerjanya, berjalan menuju arah sofa di mana ayahnya telah duduk. "Bagaimana rasanya mempelajari berkas-berkas perusahaan?" "Pusing." bibir kecil itu cemberut, "Kalau begini ceritanya mending Aa' Bagus saja yang meneruskan perusahaan Ayah." "Bagaimana bisa begitu, ini kan milik keluarga kita sedangkan kehadiran Bagus hanya untuk membantu saja, Kania." "Tapi kinerja Aa' jauh lebih bagus daripada anak ayah ini. Kalau tidak percaya tanya saja pada team dimana Aa' Bagus berada. Semua orang memujinya." "Sebagus itukah kinerja suamimu?" "Kalau kinerja Aa' tidak baik kenapa mereka memuji Aa' segitunya." "Itu berarti kamu harus sama baiknya dengan Bagus. Jangan mau kalah dengan suamimu itu." Kania yang mendengar itu kembali mencebikkan bibir, "Bagaimana Kania bisa mengimbangi orang yang terjun dilapangan selama bertahun-tahun sedangkan Kania sendiri baru terjun ke dunia seperti ini hari ini. Pastinya butuh waktu yang panjang." "Makanya itu, belajar. Ada semua orang yang kamu butuhkan untuk menunjangmu dalam memimpin perusahaan nantinya." "Iya. Iya." angguk Kania namun beberapa jam kemudian otak Kania langsung memanas, dengan sisa kewarasannya dia mulai menutup berkas yang ada didepannya. "Aku ingin menghirup udara segar, sebentar saja." ucap Kania pada sang assisten yang sedari tadi membantunya mempelajari berkas. Kania lantas keluar ruangan, berjalan menuju pantry yang ada di lantai itu namun langkah kakinya langsung terhenti saat seseorang menyebutkan nama Bagus. "Aku mendapatkan foto candid Aa' Bagus." wanita itu mengeluarkan ponselnya dengan cengiran lebar di bibir. "Hah mana? Minta!" wanita yang lain berusaha merebut ponsel ditangan temannya namun gagal karena si pemilik ponsel lebih gesit. "Kukirim saja. Jangan brutal nanti kalau ponselku jatuh dan retak kamu mau ganti?" "Maaf." cengirnya malu. Ting. Sebuah notifikasi ponsel masuk, "Tuh sudah kukirim fotonya." "Terima kasih ya." wanita itu tersenyum lebar, membuka ponselnya sendiri kemudian tersenyum dengan wajah bersemu, "Aa' Bagus ganteng banget ya. Andai dia masih single." "Memangnya kenapa kalau dia beristri atau single, dia belum tentu melirikmu." ejekan keluar dari bibir temannya itu. "Apa salahnya sih kalau menghayal. Lagipula siapa yang tidak terpesona pada Aa' Bagus. Sudah ganteng banget, sopan, pintar lagi." "Kamu harus sekelas sama Mbak Kania supaya Aa' Bagus mau melirikmu." "CK!" decakan itu keluar dengan lantang, "Kurasa yang dilirik Aa' Bagus itu cuma Mbak Kania. Kamu ingat tidak si anak Akuntan yang cantik serta anaknya manager itu. Aa' Bagus langsung memundurkan langkahnya saat dia akting jatuh didepan Aa' Bagus. Kalau aku jadi dia, sumpah tidak terbayang bagaimana malunya." "Dari kejadian itu kita sadarkan bahwa jadi penggemar saja sudah cukup." "Iya." desah suara itu berat, "Tidak apalah yang penting dapat foto-foto ganteng sebagai penyegar mata kalau sedang stress." "Kalian tidak berminat membagi foto Bagus padaku?" Kania yang sedari tadi sembunyi akhirnya keluar dan bersandar di depan pintu pantry. "Eh Bu Kania." Keduanya langsung menundukkan kepala, malu dan takut kalau misalnya wanita itu karena telah mengambil foto suaminya tanpa izin. "Maaf Bu, kami tidak bermaksud lancang..." "Kan aku bilang bagi fotonya." yang lantas mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan benda pipi itu pada mereka berdua. "Baik, Bu." tidak lama kemudian foto yang dimaksud mereka sudah berada di dalam galeri ponsel Kania. "cukup bagus juga." yang mengamati foto dalam ponselnya, "kalau kalian ada foto yang lain lagi, tolong bagi denganku, ya." kalian tersenyum lebar sebelum meninggalkan pantry. "Sepertinya Aa cukup populer di kantor." "Maksudnya?"Bagus yang mengemudikan mobil menatap ke arah sang istri dengan alis bertaut bingung. "Ini." Kania menunjukkan ponselnya, "Aku mendapatkannya dari seorang karyawati. Mereka bilang Aa ganteng sekali, sopan dan pintar." senyum Kania mengembang seolah mengejek sang suami, "Bahkan ada yang terang-terangan menggoda Aa'. Kata mereka sih orang itu cantik. Bahkan bisa dibilang lebih cantik dari Kania." "Tapi kan Aa tidak menanggapi anak itu. Aa' sudah menikah dan Aa'bukan orang yang mau main-main setelah terikat." "Iya iya Kania percaya kok." Kania tersenyum lebar meraih tangan bagus dan menggenggamnya erat, "Kita akan terus saling percaya sampai kita tua, kan?" "Tentu saja. Bahkan sampai maut memisahkan kita." Bagus tersenyum, mengangkat tautan jemari mereka dan mengecup buku-buku jari Kania dalam. sementara itu Suseno yang baru keluar dari mobil langsung ditarik oleh sang istri untuk masuk ke dalam kamar mereka, mendudukkan pria itu di atas ranjang dan langsung mengintrogasinya. "Jadi apa yang Mas Suseno dapatkan? apakah bagus melakukan sesuatu yang jahat tanpa kita ketahui?" "Kamu tidak usah khawatir, Seruni. semuanya baik-baik saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan." "Tapi mas, Bagus itu..." "Seruni, sudah ya semuanya aman terkendali. Percaya pada Mas." 'b******k. bukan ini maksudku. harus melakukan sesuatu untuk menyingkirkan anak itu.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD