My Cold Husband 9

1080 Words
Jeni memegang perutnya yang keram karena terus terusan tertawa mendengar lelucon Ranu. Setelah dengan seenak jidat duduk di meja mereka, ketiga lelaki itu ternyata orangnya sangat asik membuat Jeni dan para sahabatnya cepat akrab dengan mereka. Tampang mereka sangat beda jauh dengan sikapnya. "Neng Ajeng kalo diliat liat manis juga ya?" Si Lufi mengedipkan mata sipitnya menggoda ke arah Ajeng. Jeni dan Wina tertawa melihat sahabatnya bergidik dengan mata melotot ke arah Lufi. Ajeng mendelik mendengar perkataan lelaki dengan kulit seputih kapas itu. "Lo aja baru sadar," Ajeng mengibaskan rambutnya. "Jawa atau Sunda nih?" Tanya Lufi. "Ngapain nanya kalo udah tau jawabannya?" Ketus Ajeng. "Hmm," Lufi mengetukkan jari telunjuknya di dagu. "Jawa deh kayanya, keliatan dari kulitnya yang hitam," Lufi berucap sambil melirik tangan dan kaki Ajeng yang terekpos dengan wajah menyebalkan. Bola mata Ajeng seperti ingin keluar mendengarnya "lo hina gua?" Tanya gadis itu berdiri dengan berkacak pinggang. "Eh," Lufi terkejut melihat wajah Ajeng yang memerah. Wina tertawa sambil menepuk pundak Jeni keras mendengar perkataan Lufi yang sangat jujur. Memang si Ajeng keturunan Jawa dengan warna kulit sawo matang tapi, karena warna kulitnya cewek itu terlihat sangat manis ditambah gingsulnya membuat sebutan hitam manis sangat pas untuknya. "Kalau gua sih udah benjol to kepala gua tonjok," Ranu memanas-manasi Ajeng. Audi yang sedari tadi diam menyimak teman-temannya tertawa melihat wajah ketakutan Lufi yang sangat ketara. Fokusnya beralih pada gadis yang memakai baju hitam. Gadis itu terlihat sangat cantik apalagi pipi bulatnya yang memerah ketika tertawa membuatnya terlihat menggemaskan. "Ekh. Kayanya sebentar lagi ada yang status duda nya hilang nih," Ranu menatap Audi yang ketangkap basah memandang Jeni lama. "Hah, siapa duda?" Tanya Wina kebingungan. "Noh," Ranu menunjuk Audi dengan dagunya. "Lo duda?" Tanya wina terkejut sambil menunjuk Audi. "Dih tampan tampan duda?" Tanya Ajeng meledek. "Dia itu cerai sama istrinya setengah tahun lalu," beritahu Ranu. "Kenapa cerai?" Tanya Jeni tertarik membahas duda yang duduk di depannya. "Mereka nikah gara-gara dijodohin." Jeni terdiam mendengar cerita Ranu. "Terus nikah nya lama?" "Audi cerai setelah dua bulan nikah." Wina dan Ajeng tertawa mendengar cerita menyedihkan tentang pernikahan Audi. Jeni bengong tak menghiraukan gelak tawa sahabatnya yang meledek si Audi. Getar ponsel di atas meja membuat keadaan yang semula ricuh hening. Jeni meraih ponselnya dan mendapati pesan dari suaminya yang menyuruhnya bersiap-siap sebelum lelaki itu pulang kerja. Matanya menangkap jam yang menunjukan pukul empat lewat. Ternyata waktu berlalu begitu cepat tak terasa hari sudah mulai sore. "Mami lo nyuruh pulang?" Tanya Wina. "Iya. Gua balik duluan," gadis itu memakai slinbag nya lalu berdiri hendak pergi. "Kita sekalian pulang aja udah sore juga," ucap Ajeng membereskan tasnya. "Eh lo kesini naik taksi kan. Gua anter aja." Ucap Wina. "Ga usah. Gua ga balik ke rumah. Abis ini gua langsung ke rumah keluarga gua," tolak Jeni halus. "Ke rumah siapa?" Tanya Wina mengernyitkan kening nya. "Ke rumah baru Naswa sepupu gua yang baru balik." "Oh. Gapapa lah sekalian juga ketemu Naswa udah lama ga ketemu sepupu lemot lo itu," kekeh Wina. Jeni menggaruk kepalanya gatal bingung bagaimana caranya menolak tawaran Wina "jaraknya jauh juga berlawanan arah jalan lo pulang. " "Caelah kaya sama siapa aja lo," Wina mendengus. "Emang alamatnya di mana?" Tanya Ranu. "Jalan Bata Merah." "Kebetulan searah sama Audi," ucap Ranu dengan senyum aneh. "Nebeng Audi aja biar hemat ongkos." "Boleh deh," Jeni langsung mengiyakan. Daripada diantar Wina bisa bisa cewek itu tau alamat rumahnya dan Reza bisa gawat nanti. Setelah Jeni dan Audi pergi lebih dahulu kini tertinggal empat orang. "Lo ga bawa mobil juga Jeng?" Tanya Wina kepada Ajeng yang diam. "Gampang lah gua naik taksi aja." "Mau gua anter?" Tawar Lufi pada Ajeng. "Hati-hati lo ntar di tonjok gebetannya," ucap Wina membuat Ajeng mendelik pada sahabatnya itu. ●●●●● "Kenapa ga izin pergi?" Jeni menatap Reza yang sedang menyetir membuka percakapan di antara mereka. "Perlu banget?" Tanya Jeni acuh tanpa menoleh ke arah suaminya. Reza menghela nafasnya kasar "masih nanya?" Tanya Reza tak percaya. Jeni tak membalas perkataan Reza hingga sampai di rumah orang tua mereka tidak ada satupun yang membuka suara. Rina menyambut mereka dengan gembira. Ketidak beradaan kedua anaknya itu membuat suasana rumah sedikit ubah menurut wanita paruh baya itu. Jadi malam ini ia mengundang anak-anaknya untuk makan malam bersama. Padahal baru dua hari tidak bertemu Rina sudah merindukan rengekan anak gadisnya yang sudah menjadi seorang istri itu. "Mami banyak loh masak makanan kesukaan kamu sama abang," ucap Rina sambil menyiapkan makanan bersama Jeni. Reza dan Liam masih berada di ruang tamu. Kedua lelaki beda usia itu sedang asik mengobrol tentang perusahaan yang sama sekali tidak dimengerti mereka para wanita. "Wah ada lobster juga," Jeni bertepuk tangan antusias. "Kata mami itu spesial buat Jeni," Liam mengatakan sambil berjalan bersama Reza menghampiri istri dan anaknya si meja makan. "Makasih ya mih," Jeni memeluk Rina dari belakang terharu. "Lanjut nanti kangenan nya sekarang kita makan dulu," ucapan Liam membuat Jeni melepaskan pelukannya pada sang mami. Mereka menikmati makanan sangat hikmat diselingkupi pembicaraan ringan. "Udah ada rencana punya anak?" Tanya Rina membuat Jeni menghentikan kunyahannya. "Maksud mami?" Baru nikah dua hari sudah ditanya tentang anak. "Mami mu udah ga tahan pengen gendong cucu," Liam tertawa kecil. "Kita baru nikah dua hari loh ga ada pikiran kesana," ucap Jeni pelan. "Iya gapapa. Mungkin kalian mau nikmati moment-moment berdua di tahun pertama kalian nikah," kata Rina dengan lembut. "Kalau kamu Za pengennya gimana?" Reza menghentikan acara makannya sebentar. Lelaki itu mendongak menatap Jeni "menurut aku perkataan mami betul. Kita belum ada pikiran buat punya anak. Mungkin di tahun pertama ini kita nikmati waktu berdua dulu. Lagian Jeni masih muda, biarin dia nikmatin masa mudanya dulu sampai puas baru kita bakal mikirin tentang anak," ucap Reza tegas. Liam menganggukan kepalanya "tapi papi kasih saran buat Jeni. Mungkin Reza ga ngelarang kamu buat jalan jalan sama temen kamu atau yang kamu lakuin sama temen-temen kamu tapi ingat batasan. Sekarang kamu punya setatus istri orang. Kamu bukan tanggung jawab papi sama mami lagi. Sekarang ada suamimu yang bertanggung jawab atas kamu," Liam menarik nafasnya. "Jadi apapun yang pengen kamu lakuin kamu harus tetap ingat Reza itu suami kamu. Dia mesti tau kamu kemana, sama siapa. Juga kewajiban kamu sebagai seorang istri jangan lupakan itu. Jadi jangan mentang-mentang kamu nikmati masa muda kamu, kamu lupa sama kewajiban kamu sebagai seorang istri," Sambung Liam. Jeni menunduk merasa tertampar dengan perkataan Liam. Kenapa topik nya sangat pas dengan keadaan nya sekarang. Gadis itu seketika merasa bersalah pada Reza karena sikapnya yang seperti tidak menganggap lelaki itu ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD