My Cold Husband 8

1237 Words
"Jen. Kenapa lo ga mau kuliah aja biar bareng gua?" Tanya Naswa membuka percakapan. Sekarang Jeni, Reza dan Naswa sedang dalam perjalanan menuju rumah baru mereka, hadiah Liam untuk pernikahan kedua anaknya. Untuk sementara waktu keponakan Liam itu akan tinggal di rumah Jeni dan Reza. Naswa baru saja kembali dari London karena ia akan melanjutkan pendidikannya di jakarta. Sedangkan kedua orang tua gadis itu masih berada di London karena masih ada urusan jadi selama kedua orang tuanya belum kembali Naswa akan tinggal di rumah Jeni dan Reza. Kenapa Naswa tidak tinggal di rumah Rina dan Liam saja? Karena jarak kampus tempat Naswa jauh dari rumah om dan tantenya itu. Kebetulan rumah Reza dan Jeni jaraknya cukup dekat dengan kampusnya jadi gadis itu milih ikut tinggal di tempat sepupunya. "Males gua kuliah," jawab Jeni cuek. "Btw lo ambil jurusan apa?" "Bisnis," jawab Naswa sambil tersenyum sumrih. "Misal, kalo lo kuliah lo mau ambil jurusan apa?" "Emm, kayanya desainer." "Wih bagus tuh, kenapa ga lanjutin aja?" "Orang gua males," jawab Jeni jengah. Reza hanya tersenyum geli mendengar percakapan dua sepupu yang hanya berputar-putar di situ-situ saja. Lagian sudah tahu Naswa itu orangnya kepoan dan agak sedikit tidak nyambung diajak bicara tetap saja Jeni membalas ucapan sepupunya itu. "Kalo abang dulu kuliah ambil jurusan apa?" Tanya Naswa beralih pada Reza yang fokus menyetir. "Manbis," singkat, padat, jelas. "Nanti kalo Naswa kurang paham tentang bisnis bisa dong nanya ke abang," ucap gadis itu dengan antusias. "Hm, boleh." "Oh iya, kita ga mampir dulu buat makan?" Tanya Naswa polos. "Lo laper?" Tanya Jeni geli. "Yaiyalah." Reza menghentikan mobilnya di depan restoran. Mereka turun bersamaan masuk ke dalam. Saat sudah duduk dengan nyaman Naswa memanggil pelayan untuk meminta buku menu. "Saya pesan yang ini mbak. Lo sama abang pesan apa?" Tanya Naswa. "Samain aja," jawab Jeni yang diangguki Reza. Setelah pelayan itu pergi Naswa izin pergi ke toilet meninggalkan dua pasutri itu dengan suasana canggung. Ternyata adanya keberadaan sepupunya di antara dia dan Jeni sedikit membantu mencairkan suasana. "Jen?" Jeni menoleh ketika seseorang memanggil namanya. Di belakangnya berdiri seorang lelaki tinggi dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Jeni mengernyit mencoba mengingat siapa gerangan lelaki itu karena wajahnya terasa familiar. "Adit?" Tanya Jeni kaget. "Gua kira lo ga inget sama gua," Adit terkekeh sambil menerima pelukan Jeni. Reza menatap lelaki yang sedang berbicara dengan Jeni tak suka. Lancang sekali lelaki itu memeluk Jeni. Karena merasa terabaikan oleh Jeni yang sibuk dengan Si Adit itu Reza memilih memakan makanan yang sudah datang. "Siapa nih?" Tanya Naswa saat kembali dari toilet. "Adit, Teman gua." "Gua Naswa. Sepupunya Jeni," Naswa berjabat tangan dengan Adit. "Wa, kampus tempat lo kuliah juga kampus Adit loh," beritahu Jeni. "Bener?" Tanya Naswa girang. "Wah, belum masuk kampus aja gua udah dapat teman baru di sana," sorak Naswa bahagia. "Lo ambil jurusan apa Nas?" "Bisnis ka," balas Naswa sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Adit memiliki wajah yang manis. Ditambah suara lelaki itu yang terdengar sangat dewasa membuat Naswa meleleh sendiri saat nama nya di sebutkan Adit. Reza menatap Jeni dan Naswa datar. Kedua gadis itu sangat antusias mengobrol bersama lelaki yang bernama Adit itu. "Lo ga ada niatan kuliah Jen?" Tanya Adit "Ga." "Kenapa?" "Orang dia males," bukan Jeni yang menjawab tapi Naswa. Adit yang mendengar perkataan Naswa tertawa kecil "lo itu sebenarnya pinter. Cuman malas aja." "Ga berubah dari dulu." Ucapan terakhir Adit membuat Reza menatap lelaki itu lekat. Apa maksud perkataan nya itu. Reza merasa lelaki bernama Adit itu sudah lama mengenal Jeni. ●●●●● Pagi ini Jeni terbangun pukul setengah enam. Ia keluar dari kamar langsung menuju dapur setelah mencuci muka dan menggosok gigi. Gadis itu duduk di meja pantry dengan tangan sibuk mengotak atik ponsel. "Pagi Jen," sapa Naswa. "Ya." "Abang belum bangun?" "Belum masih tidur," balas Jeni cuek. "Caelah. Orang pengantin baru pantes bangun nya lama," Naswa mengedipkan matanya menggoda Jeni. "Apaan. Ga usah mikir macem-macem deh lo," ketus Jeni. Jeni berjalan masuk ke kamar. Di depan cermin Reza berdiri sudah rapi mengenakan kemeja. Lelaki itu sedang sibuk menyisir rambutnya. Jeni duduk di pinggir ranjang memperhatikan suaminya. Mereka memang tidur seranjang tetapi, tidak melakukan hal selayaknya suami istri pada umumnya. Jeni berjalan mendekat ketika melihat Reza yang agak kesusahan memasang dasinya. Dengan taletan gadis itu memasangkan dasi suaminya hingga rapi. "Besok-besok kalau susah pasang sendiri minta gua aja. Biar gua berguna dikit jadi istri," Jeni menatap Reza yang juga menatapnya. "Hm. Saya berangkat dulu," Reza mengambil tas kerjanya di atas meja. Jeni menatap mobil yang dinaiki Reza perlahan menjauh hingga keluar dari pintu gerbang. Ia masuk ke dalam rumah. Sepi, hanya ada pembantu yang sedang membersihkan rumah. Ia naik ke lantai dua dimana kamarnya dan kamar Reza berada. Rumah hadiah dari Liam memilik dua lantai. Dengan ukuran rumah yang terbilang cukup besar. Di rumah ini semuanya terbilang lengkap. Terdapat empat kamar. Dua kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Naswa memilih menggunakan kamar di lantai bawah. Di rumah ini juga terdapat sebuah ruang gym untuk berolahraga. Di belakang rumah terdapat kolam renang. Lalu di sebelah kanan kolam renang terdapat sebuah taman kecil lengkap dengan gazebo untuk tempat bersantai. Ruang kerja Reza berada di sebelah kamar mereka. Tidak terlalu besar jika dilihat dari luar. Tapi entahlah jika dilihat dari dalam karena Jeni tidak pernah masuk ke sana. Saat ini ia memilih bersantai di kursi tepi kolam ditemani segelas jus alpukat. Gadis itu sibuk berbalas pesan dengan sahabatnya. Rencananya nanti siang ia akan pergi untuk jalan-jalan bersama para sahabatnya itu. Sekarang ia merasa lebih leluasa untuk pergi bersama para sahabatnya. Tidak seperti dulu harus meminta izin dengan Liam. Sangat jarang papinya itu mau mengizinkannya untuk pergi. Tapi sekarang ia hanya perlu meminta izin Reza itu pun kalau perlu. Setelah selesai mandi dan merias wajahnya seperti biasa Jeni pergi ke depan gerbang menyetop taksi. Padahal di garasi terdapat dua mobil. Satu mobil milik Reza dan satunya mobil hadiah dari Rina. Jeni sekarang sangat malas untuk menyetir sendiri jadilah gadis itu memilih naik taksi. Setelah tiba di mall gadis itu langsung turun setelah membayar taksi. Ia menaiki eskalator menuju cafe biasa ia dan para sahabatnya kunjungi. Hari ini mereka hanya ingin me time sesama cewek jadi Raffi dan Rey tidak diajak. "Woy," Jeni menghampiri Ajeng dan Wina yang sedang cekikikan tertawa entah apa yang kedua orang itu bicarakan. "Jen sini deh," Wina menepuk kursi di sampingnya. "Liat tuh," Ajeng menunjuk meja yang berjarak satu buah meja dari meja mereka. "Kenapa?" Jeni mengerutkan kening bingung melihat tiga orang lelaki yang duduk di kursi yang ditunjuk oleh Ajeng tadi. "Lo perhatiin cowo yang pakai baju hitam." "Dia itu tadi datang sini masang wajah songong langsung mau minta nomor Wina," beritahu Ajeng dengan antusias. "Terus?" "Yah dikasih dong sama Wina." "Tumben lo kasih nomor sama orang ga dikenal?" "Nah itu dia Jen. Lo tau anak tukang kebun di rumah Wina?" "Si Nabil?" Tanya Jeni memastikan. "Wina kasih nomor tuh bencong ke cowo tadi." Jeni langsung terbahak mendengar cerita Ajeng. Ketiga cewe itu tertawa cekikikan. Masalahnya si Nabil itu cewe jadi jadian alias bencong anak tukang kebun di rumah Wina yang selalu merengek ingin ikut mereka bertiga ketika tahu mereka ingin hang out. Katanya biar ketularan cantiknya kalau mereka bertiga bergaul sama dia. Ternyata tawa mereka bertiga menarik perhatian tiga lelaki yang menghampiri Wina dan Ajeng tadi. Ketiga cewe itu saling pandang ketika melihat tiga kursi di depan mereka sudah diduduki oleh para lelaki dengan tampang narsis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD