My Cold Husband 7

1137 Words
Jeni menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu sudah memakai kebaya putih dengan polesan make yang tidak terlalu tebal menghiasi wajah mungilnya. Mendongakkan kepalanya mencoba menghalau air mata yang ingin keluar. Bukan air mata bahagia yang keluar, tapi air mata kesedihan. Ia tidak pernah mengira ia akan menikah di usia delapan belas tahun. Menikah di usia muda seperti dirinya pasti tidak mudah. Pikiran buruk tentang bagaimana pernikahan nya dengan Reza kedepannya membuatnya terdiam. Dulu ia selalu memimpikan menikah dengan seorang lelaki yang ia cintai dan juga mencintainya. Membangun rumah tangga dengan target nikah umur di atas dua puluh lima tahun. Tahu mengapa Jeni menargeti usia untuk menikah? Karena gadis itu ingin menikmati masa mudanya dengan puas. Bahkan sedari dulu ia tidak berminat menjalin hubungan seperti pacaran. Karena menurutnya pasti banyak aturan yang membuatnya tidak leluasa melakukan hal-hal yang ia inginkan. Target nya untuk menikah masih tersisa tujuh tahun. Tujuh tahun itu rasanya Jeni ingin menghabiskan waktunya menikmati masa-masa muda bersama sahabat-sahabat nya. Melakukan hal seperti remaja pada umumnya, meski ia tergolong dalam remaja yang salah pergaulan tetapi Jeni menyukai itu. Pintu terbuka dan munculah Rina dengan wajah bahagia membuat lamunan gadis itu terhenti. Jeni bingung pada sikap mami dan papi nya. Dulu saat inseden yang membuatnya harus menikah di usia muda, kedua orang tuanya sangat marah terutama Liam tetapi sehari setelah kejadian itu Jeni merasa kedua orang tuanya lah yang sangat excited menyiapkan acara untuk pernikahannya dengan Reza. "Sekarang waktunya." Jeni dituntun menuruni tangga menuju hotel tempatnya mengadakan pernikahan. Langkah kakinya gemetar saat mendengar suara penghulu. Ketika mendengar suara Reza yang mengucapkan ijab kabul dengan lantang membuat langkah kaki gadis itu terhenti membuat Rina dan Naswa, sepupunya ikut berhenti. "Mih," Jeni mendongak menatap Rina berkaca-kaca ketika mendengar kata sah. "Jangan nangis. Sekarang kita turun." Rina dan Naswa kembali menuntun Jeni menuruni tangga. Saat di undakan tangga terakhir Rina dan Naswa berjalan menjauh meninggalkan Jeni. Gadis itu berdiri kaku menatap Reza yang juga sedang menatapnya. Dengan senyum paksa ia berjalan dan duduk di samping Reza. Jeni mengigit bibirnya saat benda dingin itu melingkar di jari manisnya. Sekarang gilirannya memasangkan cincin di jari suaminya. Gadis itu mendongak menatap Reza yang berubah status dari kaka menjadi suami. Ia meraih tangan lelaki di depannya yang memakai peci hitam lalu menciumnya. Cup Reza mencium lama kening istrinya dengan kedua tangan menangkup wajah Jeni. Ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang. Ada rasa bahagia dan marah sekaligus bercampur di dalam hatinya. Bahagia karena ia menikah dengan Jeni dan marah karena mereka menikah karena sebab dirinya yang tidak bisa menahan diri. Saat itu, ketika melihat Jeni sedang berciuman dengan seorang lelaki membuat hatinya seperti terbakar. Ditambah posisi Jeni dengan Rey yang sangat intim semakin membuat api di dalam tubuhnya menyala membuat ia kalap hingga lupa akan batasan. Mereka berdiri dengan posisi berdampingan sembari memperlihatkan tangan mereka yang sudah tersemat cincin putih tanda pengikat ke arah kamera. Dengan sangat berat Jeni menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Setelah berpose memperlihatkan cincin, mereka diarahkan photografer untuk berpose kembali dengan tangan memegang buku nikah. Jeni mendengus melihat wajah Reza yang datar. Emang dasar tembok. Gadis itu merasa kesal, ia berusaha tersenyum di depan kamera walaupun itu terpaksa agar tetap ada manis-manis nya walaupun palsu, tetapi lelaki di sampingnya itu jangankan untuk tersenyum, wajah itu tidak berekpresi sama sekali. Membuat Jeni sulit menebak suaminya. Setelah mengganti baju kebaya putih yang ia pakai, Jeni kembali turun ke bawah duduk di pelaminan bersama Reza sambil menyalami tamu yang datang. Kedua mempelai itu sekarang memakai pakaian dengan warna gold. Gaun yang Jeni pakai tidak memiliki lengan dengan belahan yang sedikit lebar pada bagian punggung. Bagian belakangnya menjuntai indah dengan hiasan permata berlawanan dengan bagian depan gaun yang panjangnya hanya di atas mata kaki lalu di tengah-tengahnya terdapat belahan hingga lutut. Tadi, saat melihat Jeni datang dengan gaun seperti itu membuat Reza mengernyit tidak suka. Tetapi itu juga salahnya yang pada waktu fitting baju pengantin ia tidak bisa menemani gadis itu alhasil ia harus menerima hasil akhirnya. Jeni memutar bola matanya malas ketika melihat salah satu karyawan wanita yang bekerja di perusahaan papinya naik ke atas pelaminan dengan langkah yang dianggun-anggunkan. Gadis itu berdecih dalam hati. Ketika sampai di depannya wanita yang Jeni ketahui namanya Rani yang bekerja sebagai manager keuangan memandangnya dengan senyum sinis dan berlalu menyapa Reza membuat Jeni sangat ingin menampol bibir nya yang semerah darah itu. "Selamat pak Reza atas pernikahan nya," Rani berbicara dengan nada lembut sambil menyalami tangan Reza. "Sedikit tidak rela bapak udah nikah. Tapi bapak tenang saja, itu tidak akan mengurangi rasa kagum saya kepada anda." Jeni berlagak ingin muntah mendengar perkataan janda ganjen itu. Iya, dari kabar yang ia dengar Rani si manager keuangan itu berstatus janda tanpa anak. Katanya mereka bercerai karena suaminya yang selingkuh. Reza hanya memandang datar karyawan wanita di depan nya yang nyerocos tidak jelas. Lelaki itu melihat kebelakang di mana terdapat antrian panjang para tamu yang ingin bersalaman dengan nya dan Jeni. "Ekhm. Antrian di belakang panjang," Reza berdehem menghentikan acara bicara tidak jelas Rani di depannya. Wanita itu menoleh ke belakang dan kembali menatap Reza dengan tangan menutup mulutnya terkejut "sory pa Reza. Kalau gitu saya turun bye." "Dasar janda gatel," maki Jeni pelan tapi di dengar oleh Reza. Lelaki itu menatap istrinya sambil terkekeh geli dalam hati. Satu persatu tamu pulang. Acara sudah hampir selesai. Yang tersisa hanya para kerabat mereka. Jam menunjukan pukul setengah tujuh malam. Jeni duduk di pelaminan sambil memijat kakinya yang pegal karena terlalu lama berdiri apalagi ia memakai high heels. Rasanya kakinya seperti melepuh. "Jeni sayang," Rina meghampiri kedua anaknya yang memasang wajah lelah. "Pasti capek ya?" Rina mengelus rambut putrinya. "Kalian boleh pergi ke kamar sekarang. Acaranya sudah selesai." "Yaudah kalau gitu kita ke kemar mih." Selama berjalan menuju kamar hotel. Keduanya tidak membuka bicara. Jeni yang sibuk mengeluh karena kakinya sakit dan Reza yang berjalan tanpa peduli terhadap keadaan istrinya. Jeni berhenti ditengah jalan membuat Reza ikut berhenti. "Gendong gua dong. Kaki gua sakit," pinta Jeni dengan tangan yang ia rentangkan. Reza berjalan mendekati gadis itu lalu menggendong nya ala bridal style menuju kamar hotel. Liam dan Rina yang tidak sengaja melihat pengantin baru itu tersenyum geli. Sesampainya di kamar Reza mendudukkan Jeni di atas ranjang langsung berlalu menuju kamar mandi. Gadis itu tidak terlalu mempermasalahkan sikap Reza yang dingin. Ia mengambil ponselnya yang ia matikan dari pagi. Di sana terdapat banyak panggilan dari sahabatnya yang meminta dirinya untuk ikut nongkrong seperti biasanya. Tidak ada yang tau Jeni menikah dengan Reza kecuali para kerabat nya. Gadis itu tidak berniat memberitahu para sahabatnya tentang statusnya. Ia merasa itu tidak penting untuk diberitahukan. Lagian menurutnya tidak akan ada hal yang berubah walaupun sekarang ia sudah menjadi seorang istri. Jeni menoleh ketika mendengar suara ponsel. Gadis itu mengambil ponsel Reza yang ada di sofa. Di sana terdapat panggilan dari kontak kontak bernama R.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD