My Cold Husband 6

1046 Words
Jeni menatap takut wajah Reza yang terlihat sangat menakutkan sekarang. Gadis itu semakin mengeratkan pegangannya pada leher Reza ketika lelaki itu melangkah memasuki rumah dengan langkah lebar. Matanya membulat saat Reza ternyata membawa dirinya ke kamar lelaki itu. Reza melempar tubuh Jeni yang terbungkus selimut ke atas ranjang. Lelaki itu melepas dasi yang terasa mencekik lehernya. Bibir Jeni bergetar saat Reza mendekat dengan tangan yang tidak berhenti melepas kancing kemeja yang lelaki itu pakai. Dengan asal Reza melempar kemeja hitam yang ia pakai. Lelaki itu merangkak naik ke atas ranjang mendekati Jeni. Jeni memekik keras saat Reza menindih tubuhnya. Tubuh gadis itu semakin gemeteran. Dengan paksa lelaki di atasnya mencium bibirnya. Reza menggigit bibir Jeni sehingga gadis itu mau membuka bibirnya. Tidak menyianyiakan kesempatan, Reza langsung memasukkan lidahnya kedalam mulut Jeni. Gadis di bawahnya hanya pasrah membuat Reza kalap. Tangan lelaki itu menyentuh d**a Jeni dengan lembut. Di sela-sela ciuman mereka Jeni merintih saat merasakan area dadanya disentuh dengan gerakan sensual. Brakkk Pintu kamar dibuka paksa dari luar. Reza dan Jeni langsung memisahkan diri. Di ambang pintu Liam dan Rina berdiri menatap mereka dengan pandangan syok. Rina menutup mulutnya melihat pemandangan yang tak pernah ia duga ada di depan matanya. "Keluar kalian," Liam berkata dengan datar. Kedua paruh baya itu keluar setelah menutup pintu. Reza meraup kasar wajahnya. Ia menatap Jeni yang kondisinya sangat mengenaskan. Lelaki itu meraih asal kemeja dari dalam lemari. Kemeja hitam itu ia lempar ke atas ranjang lalu keluar dari kamar setelah memakai kaos. Jeni yang masih berada di atas ranjang meraih kemeja milik Reza dan memakainya. Gadis itu turun dari ranjang dan memyempatkan diri untuk ke kamar mandi mencuci wajahnya. Langkah kakinya terasa sangat berat. Dengan susah payah gadis itu menyeret kakinya untuk melangkah mendekati tiga orang yang sedang duduk dengan diam. Rasanya jika bisa Jeni ingin lari saja. Melihat bagaimana wajah papinya tadi membuat Jeni sangat takut akan amukan yang akan ia terima nanti. "Duduk kamu!" Jeni duduk di sofa bersebelahan dengaan Reza. Kepalanya tertunduk tidak berani menatap wajah kedua orangtuanya yang pasti sangat kecewa dan marah atas perilaku anaknya. "Sejak kapan kalian begitu?" Tanya Liam pelan. "JAWAB," bentak lelaki paruh baya itu ketika tidak mendapat jawaban dari kedua anaknya itu. "Pih," Rina mengelus pelan lengan suaminya menenangkan. Wanita itu terisak melihat keadaan putrinya yang sangat mengenaskan. "Kalian harus mempertanggung jawakan kesalahan kalian." Liam berdiri diikuti Rina. Suami istri itu keluar tanpa mengucapkan sepatah kata. Jeni yang sedari tadi sudah menahan tangisnya tertunduk dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi. Reza di sampingnya hanya menatap gadis di sebelahnya datar lalu bangkit pergi meninggalkan Jeni sendirian menangis di ruang tamu. "Maafin Jeni mih," Jeni menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Wajah kecewa Rina saat menatap nya terlintas di pikirannya membuat tangis gadis itu semakin keras. Apalagi yang ingin ia sesali sekarang. Semuanya sudah terjadi. Menangis pun rasanya tidak berguna sama sekali. Setelah puas menumpahkan air matanya Jeni berjalan ke kamarnya masih dalam keadaan sesegukan. Di kamar, Jeni kembali menangis dengan wajah yang ia benamkan di bantal. Berkali-kali ia menjambak rambutnya sendiri merasa bodoh sekali. Di antara celah pintu kamar yang tidak tertutup rapat Reza berdiri memandang Jeni yang beberapa menit lalu tertidur dengan posisi telentang. Wajah gadis itu sembab. Bahkan di sudut matanya masih ada sisa air mata. Lelaki itu menghela napasnya dan berlalu pergi ke kamarnya. ●●●●● Pagi ini Reza dan Jeni memutuskan pulang ke jakarta untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah mereka buat. Reza merasa hal ini harus segera diselesaikan. Lelaki itu terpaksa meninggalkan pekerjaannya di bogor. Saat memasuki rumah langkah Jeni melambat ketika menemukan Liam dan Rina yang sedang duduk di sofa. Rina tersenyum tipis kepada putrinya membuat jeni berkaca-kaca. Gadis itu berlari memeluk Rina sambil beberapa kali menggumamkan kata maaf. Rina juga ikut menangis sambil mengelus punggung dan rambut Jeni lembut menenangkan. "Seminggu dari sekarang kalian akan melangsungkan pernikahan," ucap liam tegas. Tubuh Jeni mendadak kaku di pelukan Rina saat mendengar perkataan Liam. Gadis itu melepaskan pelukannya lalu mendongak menatap papinya dengan wajah tak setuju "aku ga setuju." "Pilih antara menikah atau kuliah di luar negeri." "Saat kamu melanjutkan pendidikan mu di sana salah satu dari kami tidak akan mengunjungi mu sampai pendidikan yang kamu tempuh selesai," sambung Liam. Jeni menahan napasnya saat mendengar perkataan papinya. Kedua pilihan itu sama-sama berat. Ia tidak bisa memilih antara dua pilihan tadi. "Pih, ga ada pilihan lain?" Air mata kembali membasahi pipi gadis itu. "Pikirkan baik-baik." "Pih, papi tau kan aku ga mau kuliah," Jeni mencoba membujuk Liam. "Dan juga aku ga mungkin nikah sama Abang aku sendiri." "Ga ada yang ga mungkin." "Saya anggap kalian memilih opsi pertama," Ucap Liam mutlak. Lelaki paruh baya itu berjalan mendekati Reza lalu memberikan bogeman pada rahang lelaki itu. Bukan hanya rahang, hidung juga perut lelaki itu juga menjadi korban kemarahan Liam. Yang Reza rasakan darah segar memberembes keluar dari hidung mancungnya yang mungkin saja patah. Rina berteriak saat melihat bagaimana Liam menghajar anak laki-lakinya tanpa ampun. Wanita itu memeluk putrinya menenangkan. "Itu semua tidak sepadan dengan kesalahan yang kalian lakukan." Liam berjalan meninggalkan Jeni dan Reza diikuti Rina yang menyusul suaminya pergi. Jeni terduduk lemas. Apa yang terjadi sekarang diluar akalnya. Gadis itu menangis lagi meratapi nasib nya yang tidak baik. Ia berdiri hendak pergi ke kamarnya tetapi sebuah tangan menarik pinggangnya dan meraih tubuhnya ke dalam pelukan hangat lelaki itu. Jeni sesegukan di dalam pelukan Reza. Tangannya meremas baju yang dikenakan Reza. Entah ini salah siapa. Jeni memukul-mukul d**a Reza melampiaskan emosinya. Reza yang dadanya jadi samsak amukan Jeni hanya diam. Ia tahu mungkin Jeni butuh pelampiasan atas semua yang terjadi pada dirinya. "Gua ga mau nikah," Jeni meraung di dalam pelukan Reza, membuat lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh ringkih gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. "Lo harus bujuk papi. Kenapa tadi lo diam? Kenapa lo ga ada buat perlawanan sedikitpun?" Jeni mencoba melepaskan tangan Reza pada pinggang nya. "Kenapa lo diam?" Tubuh Jeni bergetar masih dalam pelukan Reza. "Semua akan baik-baik saja," Reza mengelus punggung Jeni menenangkan gadis itu. Reza juga tidak mengerti dengan keadaan yang sedang ia jalani sekarang. Menikah? Lelaki itu terkekeh dalam hati mendengar kata menikah. Rasanya jangankan untuk menikah, menjalin hubungan saja ia tidak siap apalagi menikah. Tetapi jika menikah dengan gadis di pelukannya sekarang, Reza akan mencobanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD