My Cold Husband 14

1090 Words
"Awas ya kalo lo nanti bilang sama Jeni kalau gua hari ini bolos," Naswa tidak henti-hentinya mewanti-wanti lelaki yang berjalan di sebelahnya. "Ih denger ga sih?" Gadis itu mencubit kesal pinggang Adit karena cowok itu tidak mendengarkan perkataannya. "Sakit yang," Adit meringis memegang pinggang nya yang terasa panas habis terkena cubitan maut ayang beb nya itu. Gadis yang memakai kaos putih dengan celana jeans itu melotot mendengar akhir kata Adit "lo mau gua tampol Dit?" "Iya maaf ga lagi manggil sayang," ujar Adit memilih mengalah daripada ditampol tangan lemes pacarnya itu. "Awas aja yah kalau ada yang tau kita pacaran gua langsung minta putus sama lo," ancam Naswa. Adit yang mendengar perkataan Naswa menghentikan langkahnya menatap gadis itu datar "panas telinga gua dengernya." Naswa berjalan lebih dulu meninggalkan Adit yang memandang punggung pacarnya itu dengan kesal. Lelaki itu langsung berjalan cepat menyamakan langkah nya dengan Naswa. "Yang itu bukannya abang sepupu lo ya?" Adit menunjuk seorang lelaki yang memakai kemeja navy sedang berjalan cepat bersama seorang lelaki yang memakai jas hitam di sebelahnya. Naswa mengikuti arah jari telunjuk Adit lalu mengerutkan dahinya bingung ketika melihat Reza berjalan dengan Dimas membuka pintu coklat itu lalu masuk diikuti asistennya. Dengan cepat Naswa ikut masuk ke dalam ruang pentas Tari yang akan dilangsungkan bersama Adit. Tidak lama setelah pintu tertutup Jeni dan sahabtnya masuk ke dalam ruang pentas bersama tiga orang lelaki lalu memilih kursi duduk pada bagian baris ke lima. Baris pertama sampai empat ternyata sudah penuh. Alhasil mereka duduk pada kursi hampir paling ujung. "Ini semua gara gara si Ranu jadinya dapat bangku paling ujung kan," Wina tidak henti-hentinya mengomel sejak masuk ke dalam area pentas membuat kelima orang yang duduk di sebelah dan belakangnya menutup telinga mendengar omelan Wina. "Kenapa nyalahin gua coba?" Balas Ranu tak terima mendengar namanya terus terusan disebut oleh gadis pirang di depannya. "Udah kali. Berisik banget dari tadi," lerai Jeni yang merasa malu mendengar teman-temannya yang sedari tadi tidak berhenti berbicara membuat ornag yang duduk di sekitar mereka memperhatikan keenam orang itu. "Gua ga sabar deh pingin liat Gaby nari," ujar Wina antusias melupakan kemarahannya. "Biasa aja kali," Ajeng memutar bola matanya malas mendengar ucapan Wina. "Kalau ga suka kenapa malah ngajak nonton?" Tanya Jeni jengah. "Ya kan gua cuman mau liat sebagus apasih body nya sampai-sampai si Raffi suka banget ngoleksi foto tuh j****y," Ajeng memelankan suaranya saat mengucapkan kata terakhir. "Aduh," Ajeng meringis saat Wina menampar bibirnya pelan. "Bilang aja iri ya ga Jen?" Tanya Wina yang diangguki Jeni. "Ngapain iri. Gua gini aja Raffi suka apalagi kalau body gua aduhai," Ajeng mengibaskan rambutnya bangga ke belakang. "Gua setuju. Neng Ajeng tuh emang cantik lebih cantik daripada si Gaby itu," Lufi membela Ajeng yang langsung mendapatkan pelototan dari gadis itu. Acara dimulai dibuka oleh seorang MC. Setelah mengucapkan beberapa patah kata pementasan tari tradisional pun segera dimulai. Setelah MC turun dari panggung pentas terdengar sebuah alunan musik yang berasal dari salah satu alat musik tradisional. Tiba-tiba lampu ruangan dimatikan selama satu menit. Membuat para penonton gelisah di tempat duduk mereka masing-masing tak terkecuali Jeni dan teman-temannya. "Kenapa lama banget?" Tanya Jeni bingung. "Gua doain acaranya hancur," Ajeng menengadahkan tangannya lalu mengusapkan nya ke wajah. "Sirik bilang aja Jeng," Wina kesal karena dari tadi Ajeng tidak henti-hentinya mengutuk acara ini. Lampu kembali dihidupkan yang langsung mengarah ke tengah-tengah panggung. Di atas sana berdiri lima orang wanita dengan pakaian khas tarian sedang berbaris berbanjar. Ketika musik dinyalakan dengan gerakan pelan penari dua baris depan dan dua baris belakang bergerak ke samping meninggalkan satu orang penari yang memakai kostum sedikit berbeda dari penari yang lain. Mata Jeni hanya fokus ke penari yang ada di tengah-tengah panggung dengan dikelilingi empat penari lainnya. Penari yang bernama Gaby tersebut dengan lincah menggerakkan kakinya sehingga menimbulkan guncangan pada tubuh indah miliknya. Mata Jeni tidak berkedip melihat bentuk tubuh Gaby yang dilenggak-lenggokkan. Ajeng saja tidak sadar bahwa sedari tadi mulutnya menganga melihat penampilan wanita di atas panggung yang sempat ia katai j****y tadi. Lufi berkali kali memotret Ajeng dari samping dengan kondisi mulutnya yang terbuka lebar. "Sempurna banget," gumam Jeni pelan saat acara sudah selesai. "Gua yang cewek aja terpesona apalagi cowok," Heboh Wina. Ajeng yang mendengar pujian-pujian dari kedua sahabatnya itu terdiam membenarkan perkataan Jeni dan Wina dalam hati. Tiba-tiba ia merasa insecure melihatnya. Jeni menoleh saat melihat Ajeng berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar. Ia dan Wina yang melihatnya langsung mengikuti sahabatnya itu yang memasang muka masam. Tidak mau ketinggalan Ranu, Audi, dan Lufi juga mengikuti ketiga cewek itu keluar. Reza menatap pintu keluar dengan alis bertaut. Ia merasa tadi melihat seorang wanita yang keluar sangat mirip dengan Jeni. Lelaki itu berdiri mengikuti Dimas dengan malas berjalan ke sebuah ruangan khusus. "Gua tunggu di sini," Dimas berhenti di depan tirai putih. Reza menyingkap tirai dan masuk ke dalam sebuah ruang yang tidak terlalu besar. Tiba-tiba tubuhnya sudah didekap dari belakang oleh seseorang yang sudah Reza ketahui. Lelaki itu hanya diam menunggu wanita di belakangnya berbicara. "Long time no see," Wanita itu berucap sambil mengelus d**a bidang lelaki yang ada di depannya. "I miss you." Reza sedikit risih saat tubuh di belakangnya semakin menempel pada tubuhnya. Dengan pelan lelaki itu melepaskan tangan yang melilit perutnya. Sebelum berbalik ia memejamkan matanya untuk menyiapkan hatinya. Cup "Cukup Rella," Reza mundur saat Rella kembali hendak memeluknya . "Why?" Tanyanya bingung. "Apa maksud kamu kirim surat ke rumah aku?" Tanya Reza berusaha setenang mungkin walaupun hatinya sedikit goyah saat melihat wanita cantik di depannya itu. "Kamu takut?" Tanya Rella dengan senyum nya. "Ga." Reza tidak bisa menghindar kali ini saat tubuhnya kembali di dekap oleh wanita yang sudah membuat nya hancur. Tubuhnya seakan menolak untuk mundur. "Kamu ga kangen aku honey?" Tanya gadis itu dengan tangan yang ia kalungkan di leher Reza. Jakun Reza bergerak naik turun saat tubuhnya mulai merespon godaan yang di berikan wanita bertangtop hitam dengan rok mini di atas paha. Rella semakin genjar menyentuh tubuh di depannya saat melihat mata itu kian tajam tanda ia sudah terpancing. Reza mendongakkan kepalanya saat wanita di depannya menberikan kecupan-kecupan basah di lehernya yang sudah memerah menahan sesuatu. Merasakan pingganya di remas Rella tersenyum dengan bibir yang sudah naik menuju bibir tipis berwarna pink yang dulunya miliknya dan sekarang pun masih miliknya. Dengan cepat Rella melumat bibir Reza dengan kaki yang sudah ia kaitkan pada pinggang kokoh Reza. Reza membalas ciuman itu dengan ganas meluapkan segalanya. Keduanya berciuman dengan hebat hingga tidak sadar keduanya sudah berada di sebuah sofa dengan posisi Reza menindih tubuh seksi Rella dengan mulut yang masih menyatu. "REZA."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD