My Cold Husband 18

1011 Words
Jeni menatap sekeliling restoran yang sangat ramai. Dia dan Reza berada pada meja tengah-tengah restoran dengan kondisi yang sangat ramai karena sekarang merupakan jam makan siang dan sedang weekend Makanya Jeni merasa dirinya seperti sedang diperhatikan oleh banyak pasang mata. Reza yang menyadari kegelisahan Jeni menatap wanita itu bertanya "kenapa?" "Gapapa," Jawab Jeni menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya. Reza melirik segerombolan lelaki yang berjarak satu meja dari meja nya dan juga Jeni. Lelaki itu menatap Jeni yang ternyata menjadi objek pembicaraan segerombolan lelaki biadab yang terang-terangan menatap istri nya. Reza mencoba melemaskan rahangnya yang mengeras saat melihat rok ketat yang dikenakan Jeni sangat pendek memperlihatkan setengah paha wanita itu. Reza membongkar satu per satu tas belanja Jeni mencari sesuatu. Jeni yang melihat Reza mengacak belanjaannya memandang lelaki itu dengan dahi berkerut. Jeni semakin bingung saat Reza berjalan mendekatinya dan berjongkok di samping kakinya membawa sebuah kemeja putih lalu menaruhnya di paha Jeni yang terekspos. Jeni tertegun melihat nya. Ia menatap Reza yang mendekatkan wajahnya ke telinga nya lalu membisikan sesuatu. "Simpan baik-baik rok itu sebelum menjadi abu." Jeni mendorong wajah Reza pelan sambil mendengus tidak percaya. Apaan coba maksud lelaki itu mau melenyapkan rok miliknya. Sebelum duduk kembali ke kursinya Reza mengelus pelan pahanya yang ditutupi kemeja. Setelah pesanan mereka datang, keduanya tampak sibuk dengan makanan masing-masing tanpa ada pembicaraan. Jeni meletakkan sendok nya saat mendengar pekikan seorang wanita. Matanya menatap tajam Reza yang sedang memakan makanan nya dengan santai. "Sengaja buka kancing baju mau pamer," sindir Jeni. Reza menatap istrinya itu bingung. Melihat Reza yang tidak paham membuat Jeni kesal sendiri. Mana wanita yang memekik tadi semakin menjadi-jadi melihat dua kancing kemeja Reza yang terbuka semakin terbuka memperlihatkan d**a bidang lelaki itu. Dengan wajah yang ia lemparkan kemana-mana Jeni membuka kancing kerah kemejanya dengan tangan mengipas-ngipasi wajahnya berlagak kepanasan. Hal itu membuat Reza langsung menatapnya garang. "Kancing kembali bajunya," suara lelaki itu terdengar dingin. "Panas ga mau," Jeni semakin menjadi-jadi dengan menarik narik kerahnya membuat kemeja bagian atasnya semakin terbuka menampilkan tulang selangkanya. "Jeni," kali ini Reza berucap tegas. Jeni memandang Reza sebal "kamu juga buka kancing baju aku biasa aja. Aku buka kancing baju kenapa kamu marah?" "Kamu jadi pusat perhatian lelaki hidung belang," Reza menatap Jeni dengan wajah datar. "Kamu pikir kamu ga jadi pusat perhatian wanita?" Tanya Jeni marah karena Reza tidak sadar diri. "Jeni," bentak Reza tidak terlalu keras. Jeni menatap Reza dengan wajah yang ketara sekali marah karena merasa malu di bentak di depan umum walaupun hanya sebagian orang yang duduk dekat mereka yang mendengarnya. Bukannya takut Jeni malah membuka satu lagi kancing kemeja atasnya lalu berdiri keluar dari restoran dengan berjalan angkuh meninggalkan Reza yang mengusap wajahnya kasar melihat Jeni yang sangat keras kepala. Jeni yang sedang berada di dalam lift bersedekap dengan mulut yang komat-kamit. "Dia kira dia siapa bentak gua kaya tadi," Jeni berbicara sendiri di dalam lift dan untungnya hanya dirinya yang ada di sana. "Dipikir gua ga bisa kaya dia," Jeni berdecih sambil menaikkan lengan kemejanya. Jeni memandang pantulan dirinya di lift. Memakai kemeja putih polos dengan rok ketat sepaha menurutnya tidak kalah seksi dengan Reza yang memakai kemeja hitam dibuka kancing bagian atasnya. Jeni berjalan tanpa mengancingkan kembali kancing bajunya ke luar dari lift. Beberapa orang menatap Jeni yang tidak peduli dengan banyaknya mata yang menatap diri nya. Dengan cepat Jeni berjalan menuju jalan mencari sebuah taksi. Sebuah mobil yang diketahui pemiliknya oleh Jeni berhenti tepat di depannya. Wanita itu membuang muka malas melihat Reza yang turun dari mobil menghampirinya. "kepala batu," Reza berdiri di depan Jeni dengan jarak yang sangat minim. Lelaki itu mengancingkan kembali kemeja Jeni. Jeni diam saja karena malas berdebat. Tangannya ditarik dan Jeni menurut saja saat Reza menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Mereka sedang perjalanan menuju pulang ke rumah dengan Jeni yang seperti nya masih marah terlihat dari wajah wanita itu yang ditekuk. Sesampainya di rumah Jeni langsung masuk ke dalam kamar mereka meninggalkan Reza yang kewalahan membawa tas belanjaannya yang sangat banyak. Reza meletakkan belanjaan Jeni di sofa yang ada di kamar mereka. Lelaki itu mendekati Jeni yang duduk di kursi meja rias. Reza menghela napasnya saat melihat wajah Jeni yang masih cemberut. Ia mengalungkan tangannya pada leher Jeni membuat pergerakan wanita itu terhenti. "Marah?" Jeni memutar matanya kesal mendengar pertanyaan Reza. "Pikir aja sendiri," ucap nya ketus. "Kamu tau serakah?" Jeni menatap Reza melalui cermin dengan bingung. Kenapa lelaki di belakangnya malah membahas tentang serakah. "Aku serakah," beritahu Reza sambil memainkan rambut hitam Jeni. "Maksudnya?" Tanya Jeni tidak mengerti. "Boleh aku serakah?" Jeni dibuat bingung dengan pertanyaan Reza yang melantur. Wanita itu membalikkan badannya langsung berhadapan dengan Reza. "Maksudnya kamu apaansih?" Tanya Jeni kesal karena menurutnya lelaki di depannya itu bertele-tele. "Sekarang kamu istri siapa?" "Kamu," jawab Jeni cepat membuat Reza tersenyum kecil. "Berarti kamu punya siapa?" "Kamu." "Kamu punya aku. Jadi, tubuh kamu dari ujung rambut sampai ujung kaki milik aku. Dan aku ga mau berbagi dengan siapapun itu," jelas Reza lebar. Jeni menatap suaminya sedikit tidak mengerti "kamu posesif?" "Hm." "Aku ga mau tubuh indah kamu jadi santapan mata lelaki di luar sana," Reza menangkup wajah Jeni. "Kenapa?" "Karena kamu punya aku," ucap Reza tegas. "Berarti kamu punya aku?" Tanya Jeni dengan senyum tertahan. Reza terdiam memandang wajah cantik Jeni dari atas. Bibirnya terasa berat ingin menjawab pertanyaan Jeni. Dirinya juga bingung dengan perasaannya sekarang. Entah cinta itu sudah tumbuh atau belum yang pasti Reza merasa damai saat bersama Jeni. Ia memaksakan tersenyum lalu mengecup kening Jeni setelahnya lelaki itu berlalu ke kamar mandi. Perlahan senyum di wajah Jeni luntur karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Wanita itu menatap lantai dengan kosong. Tidak lama ia tertawa hambar mengejek dirinya yang terlalu berharap Reza menjawab pertanyaannya seperti ia menjawab pertanyaan lelaki itu. "Cih. Gua kaya kemakan omongan sendiri," Jeni menggigit pipi bagian dalam nya. Wanita itu menoleh pada ponsel nya yang berbunyi. Nomor tidak dikenal. Rasanya sangat malas mengangkatnya tetapi rasa penasarannya yang sangat tinggi membuat Jeni langsung menempelkan ponsel nya ke telinga. "Hallo?" "Benar," Jeni mengangguk saat seseorang di seberang sana menanyakan namanya. "Besok?" Tanya Jeni pelan. "Sharelock."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD