My Cold Husband 17

1313 Words
"Lo tunggu di sini," Audi pergi menuju mobilnya. Jeni berdiri dengan tangan bersedekap. Tubuhnya terbalik saat seseorang menarik bahunya dari belakang. Jeni mengangkat sebelah alisnya bingung melihat lelaki yang ada di hadapannya sekarang. "Kita pulang," Reza menarik tangan Jeni tetapi langsung disentak. "Ga. Pulang aja duluan," Jeni melepaskan pergelangan tangannya yang dipegang oleh Reza. "Pulang sama aku," Reza berbicara dengan lembut. "Ga mau," Jeni menghindar ketika Reza kembali ingin menggapai tangannya. "Jen. Kita pulang sekarang," Reza berusaha berbicara selembut mungkin. "Aku minta maaf," ucap Reza sambil mengambil kedua tangan Jeni lalu memeluknya. "Kita pulang sekarang ya," Reza menarik lembut tangan Jeni menuju mobilnya. Audi yang sedari tadi melihat itu hanya diam di dalam mobil. Lelaki itu menatap tas belanjaan mereka lalu menghela nafasnya pelan. Sepertinya ia mengetahui sesuatu. Jeni tidak mau menatap lelaki di sampingnya yang terus-terusan menggenggam tangannya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang. Jeni sangat heran dengan sikap Reza yang berubah-ubah. Kemaren dingin sekarang beda lagi. "Kamu masih marah?" Tanya Reza karena Jeni sama sekali tidak mau menatapnya. "Ngapain marah," Jeni menatap lurus kedepan. "Maaf kalau beberapa hari ini buat kamu ga nyaman," Reza mengecup tangan kanan Jeni yang ada di genggamannya. Jeni hanya diam. Tidak tahu harus merspon bagaimana. "Jeni," Reza memanggil Jeni lembut. Jeni diam tidak mengiraukan lelaki itu. "Jeni," panggil Reza lagi. "Jeniiii." "Apaansih," Jeni menatap Reza heran. "Nah gitu dong. Tatap muka aku," ujar Reza sambil tersenyum senang. Ketika Jeni hendak menolehkan kepalanya Reza menahan dagu wanita itu untuk tetap menatap wajahnya. "Hey. I am sorry," Reza mengelus lembut dagu Jeni. "Kemaren ada masalah yang bikin aku kaya gitu." "Mau maafiin aku?" Tanya Reza. Jeni hanya diam sambil memandang ke bawah. "Maafin dong. Janji ga kaya gitu lagi," Reza memasang muka memelas. Jeni berpikir sejenak. Seperti ada yang kelupaan "belanjaan gua di mobil Audi," Jeni menepuk dahinya lupa. Reza menatap tak suka Jeni saat mendengar wanita itu menyebut nama lelaki lain. "Ntar aku ganti sama yang lebih mahal, lebih banyak, pokonya lebih-lebih deh," bujuk Reza. Jeni memicing menatap Reza dengan pandangan sedikit tak percaya. "Sekalian aku temenin belanja," tambah Reza. "Yaudah aku maafin." Perkataan Jeni membuat Reza tersenyum dan dalam hati bersorak senang. "Awas kalau bohong." "Ga sayang," Reza mengecup kening Jeni lama. Beralih dari kening ke bibir Reza melahap bibir istrinya dengan lembut. Setelah beberapa hari tidak akur membuat Reza merindukan istrinya itu. Lelaki itu turun dari mobil dan membuka pintu mobil untuk Jeni. Jeni turun dari mobil langsung di bopong oleh Reza tanpa menutup pintu mobil. Wanita itu hanya pasrah sambil mengalungkan tangannya ke leher Reza. ●●●●● Naswa yang yang sedang sarapan menatap heran kedua sepupunya itu yang tidak keluar keluar dari kamar. Tumben sekali. Biasanya Jeni sudah bangun di jam seperti ini. Bunyi kaki menuruni tangga membuat Naswa yang tengah asik menikmati roti panggang memfokuskan wajahnya ke arah tangga. Tidak lama Jeni dan Reza muncul menuruni beberapa anak tangga terakhir masih menggunakan baju tidur. Naswa yang melihat itu hanya mesem-mesem sendiri sembari memberi tatapan menggodanya ke arah Jeni. "Lama-lama gua congkel juga mata lo yang itu," ucap Jeni sambil duduk di hadapan Naswa. "Mau makan apa?" Tanya Reza setelah mendudukan Jeni. "Nasi goreng," Ucap Jeni antusias. Reza berlalu menuju dapur membuat Naswa menatap kedua sepupunya itu heran. "Udah akur?" Naswa tersenyum menggoda. "Hah?" "Gua tau kemaren kalian berantem kan." "Tau dari mana lo?" Tanya Jeni. "Ada deh," Naswa tertawa melihat muka kucel Jeni yang sedang penasaran. "Oke. Ntar gua bilang ke mama lo kalau lo kemarin bolos," ancam Jeni. "Jangan dong," Naswa memegang tangan Jeni. "Yaudah kasih tau." "Sebenarnya ga ada yang ngasih tau sih." "Terus," Jeni memandang Naswa. "Tumben tumben aja dua hari kemaren Abang nanyain lo mulu sama gua." "Nanyain kaya gimana?" Tanya Jeni pelan sambil mendekatkan tubuhnya kepada Naswa. Naswa tersenyum menatap wajah Jeni yang sangat penasaran. "Cepet," Jeni menabok bahu Naswa. "Sakit Jen," Naswa memegang bahunya yang nyeri. "Yaudah cepet kasih tau jamal," desak Jeni "Abang nanya lo udah pulang belum, udah tidur belum, udah makan belum, lagi ngapain," Naswa berucap malas. "Jangan bohong." "Yaudah terserah kalau ga percaya," Naswa memalingkan wajahnya kesal. "Jadi beneran?" Tanya Jeni. "Ya iyalah jamal." Jeni menggigit pipinya menahan senyum. Sedikit tidak percaya atas ucapan Naswa tapi hatinya berdebar bahagia ketika tahu Reza tidak benar-benar mengabaikan dirinya. Reza meletakkan sepiring nasi goreng ke hadapan Jeni. "Buat aku mana bang?" Tanya Naswa. "Ambil sendiri," ucap Reza santai lalu duduk di sebelah Jeni. Jeni berusaha menahan tawanya melihat wajah masam Naswa. "Ko cuman sepiring. Kamu ga makan?" Tanya Jeni. "Satu piring berdua," Reza tersenyum manis. Jeni menatap Reza sedikit aneh "Ngeri," wanita itu menampar pelan pipi Reza. Reza tertawa pelan melihat ekspresi Jeni. Naswa duduk di kursi semula dengan membawa sepiring nasi goreng. Gadis itu menatap dua orang di depannya dengan bergidik ngeri. Tumben-tumbenan romantisan. "Hm bau apa ini?" Tanya Naswa sambil menutup hidungnya. "Kenapa?" Tanya Jeni bingung. "Bau-bau orang ga mandi kayanya," Naswa berlagak ingin muntah. "Wah gua usir tau rasa lo," balas Jeni tak terima. Ketiganya menoleh ke arah pintu saat mendengar bunyi bel. Naswa berjalan menuju pintu karena setelah mendengar suara bel dua orang di depannya itu seperti tidak peduli. Jeni menatap Naswa yang berjalan membawa sebuah kotak. "Apaantuh?" "Katanya pesanan Abang," Naswa meletakkannya di atas meja. "Hadiah buat Naswa," ucap Reza lalu kembali menyuapkan sesendok nasi goreng. "Ngapain kamu kasih piranha hadiah?" Tanya Jeni sedikit tak terima. "Enak aja bilang gua piranha." "Lo kan pawangnya piranha," setelah mengatakan itu Jeni tertawa terbahak-bahak. Reza dan Naswa menatap wanita itu bingung. "Gua mau mandi dah piranha," Jeni melambaikan tangannya kepada Naswa lalu tertawa lagi sambil menaiki undakan tangga. Reza yang melihat Jeni pergi, berdiri mengikuti istrinya itu ke kamar. Naswa yang melihatnya hanya mendengus. "Hari ini mau di rumah aja?" Tanya Reza kepada Jenj yang sedang mengeringkan rambutnya. "Emang kemana?" Jeni menatap Reza yang duduk di ranjang melalui cermin. "Mau nepatin janji sama kamu." Jeni membalikkan badannya menatap Reza bingung "janji," beonya. "Janji nemenin belanja." Disinilah mereka berdua. Di sebuah toko pakaian khusus wanita. Reza dengan setia menemani Jeni yang kesana kemari memilih barang-barang yang ia inginkan. "Menurut kamu bagusan yang mana?" Tanya Jeni menunjuk dua buah tas yang berada di dalam kaca. "Yang putih." "Pilihan bapaknya bagus. Ini tas keluaran terbaru yang baru sampai tadi malam. Tas ini termasuk tas limited edition karena hanya diproduksi sebanyak lima tas," jelas seorang karyawan yang ditugaskan untuk menjaga dua tas itu. "Yaudah saya ambil yang itu mbak." Jeni duduk di sebuah sofa yang disediakan sembari mencoba beberapa sepatu dan high heels keluaran terbaru dengan Reza yang hanya duduk menontonnya. Jeni berjalan menuju kaca besar yang disediakan dengan kaki terbalut heels yang tidak terlalu tinggi berwarna kuning keemasan dan memiliki hak berwarna putih pada bagian dalamnya. "Heels dengan warna seperti itu sangat langka bu. Heels ini merupakan edisi terakhir yang ada di toko kami." "Berarti sudah banyak yang memakai sepatu seperti ini?" Tanya Jeni. "Heels ini memang edisi terbatas di toko kami karena memang stock nya ini sangat sedikit. Orang pertama yang membeli nya adalah seorang artis ternama." "Saya ambil yang ini," Jeni melepaskan heels nya lalu memakai kembali sneakrs miliknya. Mereka berjalan berdua menuju kasir dengan dua orang pelayan yang mendorong kan dua troli penuh belanjaan milik Jeni. Jeni melirik wajah Reza yang terlihat santai tanpa beban. Ia sengaja membeli barang-barang yang mahal untuk sedikit mengerjai lelaki di sampingnya itu. Jujur saja Jeni masih kesal dengan Reza karena tidak mau mengatakan alasan lelaki itu bersikap dingin kepadanya kemaren. "Total semuanya tiga ratus empat puluh empat juta." Mata Jeni sedikit melotot mendengarnya. Wanita itu menatap Reza yang mengambil dompet dari saku celananya. Lelaki itu tidak terlihat terkejut sedikitpun mendengar nominal belanjaannya. Dengan santai Reza menyodorkan black card kepada kasir. Beberapa pelayan yang berada dekat dengan mereka berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arah Reza. Jeni yang tidak suka melihatnya langsung menggandeng lengan Reza yang penuh membawa belanjaan miliknya pergi. "Itu dia." Seseorang tersenyum miring dari kejauhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD