My cold husband 4

1053 Words
"Nanti kita tidur dimana?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di benak nya. "Rumah," jawab Reza seadanya. Bibir Jeni mencebik kesal mendengar jawaban Reza. Memilih diam gadis itu menatap jalanan Bogor yang senggang tidak sepadat di Jakarta. Mereka sudah menempuh perjalanan sekitar satu jam. "Berapa lama baru sampai ke rumah?" Jeni menekankan kata rumah. Jeni menatap sekeliling ketika merasa mobil berhenti. Di sana, terlihat sebuah rumah minimalis dengan pepohonan yang ada di sekitar membuat udaranya terasa dingin dengan angin kecil yang menerpa kulit tangannya yang terekspos ketika turun dari mobil. Jeni berjalan terlebih dahulu menuju rumah ber cat biru langit itu. Rambut panjang nya yang digerai berterbangan ketika terkena angin. Rumah yang akan mereka gunakan ini sedikit jauh dari keramaian dengan di selilingi pepohonan. "Sejuk banget," gadis itu berlari meninggalkan Reza di belakang yang membawa dua koper milik mereka. Telepon di tasnya berdering. Jeni segera mengangkat telepon dari Rey. "Udah sampai?" Jeni pergi menuju gazebo yang ada di depan rumah sembari menunggu Reza masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. "Udah," balas Jeni ceria. "Besok aku jemput ya." "Oke, nanti aku sharlock." "Gimana di sana. Nyaman ga?" Tanya Rey mengubah topik. "Banget. Udaranya di sini seger." Di seberang telepon Rey tertawa mendengar nada suara Jeni yang antusias menceritakan tentang keadaan di sana. Sekali-kali Rey menimpali. "See you cantik," Rey mematikan sambungan telepon. Jeni yang mendengar pujian yang ditujukan untuknya langsung merona. Reza yang sedang berdiri di ambang pintu menatap Jeni yang senyam-senyum sendiri menghampiri gadis itu "kenapa?" Jeni langsung mengubah ekspresi wajahnya seperti semula "kenapa?" "Senyum ga jelas kaya orang gila." Jeni terperangah mendengar perkataan Reza. Baru kali ini ia mendengar lelaki itu berbicara sepanjang ini. Biasanya hanya satu atau dua kata tidak lebih. "Kepo," Jeni langsung pergi meninggalkan Reza yang memasang ekspresi agak kesal. Jeni masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka memperlihatkan koper miliknya yang ada di atas ranjang. Kamar yang ditempati nya sekarang terlihat sangat terawat. Jeni keluar dari kamar dan melihat Reza yang sedang memasak sesuatu di dapur. Gadis itu berjalan menghampirinya "masak apa?" "Ikan." "Dapat dari mana? Perasaan kita baru aja sampai. Ga mungkin kan itu ikan di bawa dari rumah," Jeni menunjuk ikan yang sedang diberi bumbu dapur sebelum di goreng. "Kepo." Jeni menggerakkan giginya kesal mendengar jawaban Reza yang menyebalkan. Dengan cepat ia berbalik ingin pergi. Saat kakinya melangkah ke depan sebuah tangan melingkar di pinggang nya. Mata gadis itu berkedip beberapa kali. Ketika merasakan kakinya sakit Jeni menatap Reza ke belakang. Ternyata ia terpeleset dan hampir saja jatuh ke lantai. "Ehem," jeni berdehem ketika merasakan suasana tiba-tiba canggung. Gadis itu bersandar pada wastafel dengan satu kaki ia angkat karena sakit. Reza melangkah pergi menuju kamarnya dan datang kembali dengan handphone di tangannya. "Duduk," Reza menunjuk kursi meja makan. Jeni yang mendengar perintah Reza merengut. Dengan paksa ia berjalan tertatih menuju kursi yang ditunjuk oleh lelaki yang tidak pekaan itu. Reza hanya menatap Jeni yang berjalan dengan ringisan kecil tanpa ekspresi. Wajah Jeni terlihat kebingungan saat melihat Reza berjongkok di depan nya. Tangan lelaki itu meraih kakinya yang sakit. "Aw sakit," Jeni memukul pundak Reza cukup keras saat lelaki itu menekan bagian kakinya yang sakit. Reza berdiri sambil menatap Jeni "bisa jalan?" "Gimana mau jalan orang kaki aku sakit," Jeni sudah tidak bisa pura-pura kuat. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Sekarang kakinya terasa sangat sakit dari sebelumnya. Reza menggendong Jeni membawanya menuju mobil. Jeni hanya bisa meringis saat merasakan kakinya berdenyut. Di perjalan, Reza berkali-kali menoleh ke samping menatap Jeni yang sibuk menghapus air matanya. 'pasti sakit sekali' pikir lelaki itu. "Sabar," tangan Reza terangkat mengelus kepala Jeni. Tidak mendengarkan perkataan Reza, Jeni tetap menangis. Sebenarnya kakinya tidak terlalu sakit tapi, entah kenapa air mata tidak berhenti mengalir dari mata gadis itu. Reza berhenti di depan rumah kecil. Dengan cepat Reza turun dan menggendong Jeni membawa nya masuk ke dalam rumah dengan pencahayaan minim itu. "Bisa tolong adik saya. Kakinya terkilir," Reza berbicara dengan seorang wanita paruh baya. Tanpa izin Reza merebahkan tubuh Jeni di sebuah kasur tipis yang ada di sana. "Tahan ya?" Wanita itu mengelus lembut kaki Jeni yang terkilir. "Sakit," Jeni meringis dengan air mata yang tidak berhenti keluar. "Tahan ya neng," tukang urut itu menekan kaki Jeni. "Aw, sakit" Jeni refleks memegang tangan Reza. Reza menatap Jeni dengan prihatin. Wajah gadis itu sudah penuh dengan air mata. Dengan pelan lelaki itu mengusap air mata di wajah Jeni dengan ujung kaos yang ia kenakan. "Ga kuat. Sakit," Jeni menutupi wajahnya menggunakan tangan Reza. "Sabar," Reza mengelus tangan Jeni yang memegang tangannya. Terakhir tukang urut itu menarik kaki Jeni membuat gadis itu berteriak kencang. "Sekarang coba gerakan kakinya." Dengan sisa tangis Jeni bangun dan mencoba menggerakkan kakinya. Sebuah keajaiban, kaki gadis itu sudah tidak sakit lagi. Setelah pergi dari tukang urut tadi, Reza membawa Jeni ke sebuah terminal yang penuh dengan pedagang kaki lima. Jeni yang dari tadi bersandar lesu di mobil langsung bangun dengan mata berbinar. Hari mulai gelap dan di sana terlihat indah dengan lampu berwarna-warni yang mengelilingi terminal. "Mau makan apa?" Jeni menoleh mendengar pertanyaan Reza yang terdengar aneh. "Mau liat," Jeni menunjuk ke arah terminal. "Kakinya udah sembuh?" Jeni melongo mendengar pertanyaan yang terdengar lembut di telinganya. "Udah." Reza turun membuka pintu mobil untuk Jeni sekaligus membantu gadis itu turun "pegang tangan saya." Jeni turun dari mobil dengan tangan yang menggenggam tangan Reza. Kedua orang itu berjalan memasuki terminal yang ternyata di sana sudah ramai oleh pengunjung. "Mau empek-empek" Jeni menarik tangan Reza dengan tertatih menuju penjual empek-empek. "Empek-empek nya mang." Reza menggiring Jeni duduk di kursi yang sudah disediakan di sana. Mata lelaki itu melirik tangannya dan tangan Jeni yang saling menggenggam membuat perasaannya menjadi menghangat. Tanpa sadar lelaki itu lebih mengeratkan genggaman tangannya dan itu disadari oleh Jeni. "Selamat menikmati." Jeni melepaskan tangannya dari genggaman Reza dan langsung melahap empek-empek yang ada di hadapannya. Gadis itu mengunyah makanan kenyal itu dengan nikmat. "Mau ga?"Jeni menyodorkan satu sendok empek-empek ke mulut Reza. "Enak?" Tanya Reza dengan wajah tak yakin. "Banget," Jeni langsung menjejalkan empek-empek itu tanpa persetujuan Reza membuat lelaki itu hampir tersedak. "Nakal," Reza mengusap saos empek-empek yang ada di ujung bibirnya. Melihat respon Reza yang terkejut membuat Jeni tertawa lucu. Bukannya marah Reza justru tersenyum melihat wajah sembab Jeni yang sedang tertawa sehingga sampai-sampai pipi gadis itu memerah. Dan itu terlihat menggemaskan di mata lelaki yang ada di hadapannya. "Manis."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD