Candaan Perjodohan

1014 Words
Elang tersenyum diiringi jawaban yang begitu cukup jelas siapa gadis yang akan ia pilih nantinya, jika candaan perjodohan itu akan benar-benar terjadi, "Jika aku merasa nyaman dengan Rania, kenapa tidak." Elang menyahut sekenanya. Ucapan Elang membuat raut wajah Silvia sedikit berubah karena ia lebih tertarik menjadikan Ahana menantu daripada Rania. Tawa Wahyu dan Edi menggelegar karena mereka berdua berpikir itu hanya sebuah gurauan saja, berbeda dengan Silvia yang sangat tahu dengan sifat putranya. "Elang tak suka bercanda, apa mungkin dia tertarik pada Rania?" pikir Silvia dalam hatinya. Sementara tangan kanannya mengangkat sebuah gelas untuk diteguk isinya. "Ayah!" panggil Rania. Gadis cilik itu menghampiri ayahnya di meja keluarga Bimantara. "Ada apa, Nak?" tanya Edi pada putri bungsunya. "Pokoknya semua hadiah ulang tahun malam ini aku tidak mau membagi dua dengan Kakak," rajuk Rania pada sang ayah. Suasana langsung hening karena mereka dari keluarga Bimantara tidak tahu menahu dengan pembahasan yang di bicarakan oleh sepasang ayah dan anak itu. "Iya, Sayang! semua hadiah ini untuk Rania dan jangan sedih lagi, ya?" bujuk Edi. Pria paruh baya itu mengusap sedikit air mata yang merembes pada bagian pelupuk mata Rania. Gadis kecil tersebut memeluk ayahnya dengan bibir yang membentuk bulan sabit, melengkung begitu indahnya. "Terima kasih, Ayah! aku sayang Ayah," ujar Rania bahagia. Selang beberapa detik kemudian, Rania melepaskan pelukan pada sang ayah. Sebelum Rania pergi, gadis itu melihat ke arah Elang. "Terima kasih untuk kadonya ya, Kak! aku sudah menyimpan kado yang Kakak berikan dengan sangat baik," tutur Rania tersenyum malu-malu pada Elang. Pewaris tunggal keluarga Bimantara itu hanya membalasnya dengan senyuman sekilas saja. Namun, tak sedingin pada Ahana tadi. Tanpa di sadari, sepasang mata mungil melihat semua kejadian yang dari tadi terpampang nyata di depan matanya. "Sepertinya Kak Elang cukup nyaman berada dekat dengan Rania," Ahana berpikir dan secara bersamaan menundukkan kepala merasa ada yang tak nyaman dalam diri gadis itu. Setelah Rania pergi dari meja keluarga Bimantara, Silvia yang sudah tak mampu menahan rasa penasarannya langsung bercicit manja. "Apa mereka berdua biasa membagi hadiah, Pak Edi?" tanya Silvia pura-pura penasaran. "Tidak, Bu Silvia! sebenarnya hari ini bukan hanya pesta perayaan Rania saja, melainkan Ahana juga. Namun, anak itu tak mau namanya di tulis dalam surat undangan. Jadi, kami sepakat tak menulisnya karena Ahana tak ingin pengeluaran keluarga kami semakin banyak katanya," jelas Edi mengungkapkan semua kenyataan pada keluarga Bimantara. Arah pandangan Silvia tertuju pada Ahana yang hanya berdiri di salah satu meja utama. "Gadis ini memiliki pemikiran yang tak bisa ditebak, pasti mendiang ibunya sudah memberikan bekal masa depan yang baik sebelum beliau wafat," ujar Silvia dalam hatinya. Setelah Edi pergi menyambut tamu penting lainnya, ide cemerlang terlintas dalam benak nyonya Bimantara. "Elang," panggil sang ibu pada putranya. "Ya, Mom?" sahut Elang menoleh pada Silvia. "Apa kau tak ingin memberikan sesuatu pada Ahana?" tanya Silvia yang ingin melihat respon putranya. "Apa yang harus aku berikan? bukankah kita hanya menyiapkan satu buah kado saja?" tanya balik Elang membuat ibunya memejamkan mata frustrasi. "Kau tak ada benda apa pun yang bisa kau berikan? biasanya kau ada sesuatu atau apakah itu," jelas Silvia menyanggah dagunya menggunakan tangan kanannya. Elang terlihat masih berpikir dan ia teringat sebuah benda yang selalu ia bawa ke mana pun karena ia sudah terbiasa diminta tanda tangan oleh para kaum hawa yang tahu, jika dirinya pewaris tunggal keluarga Bimantara, tak hanya itu, paras tampannya juga sudah mendunia dikalangan keluarga pengusaha kaya. Elang mengeluarkan satu benda miliknya. "Aku hanya membawa ini, Mom!" Elang menunjukkan pulpen miliknya yang berwarna hitam dengan beberapa hiasan garis halus berwarna keemasan namun, bermotif abstrak. Silvia tersenyum sembari berkata, "Anak pintar dan sekarang ... kau harus memberikan hadiah ini pada Ahana," pinta sang ibu tersenyum manis pada Elang. "Jika saja ini bukan pulpen baru, aku tak akan memberikannya, kebetulan tadi sebelum berangkat kemari, aku mengambilnya di dalam laci," jelas Elang sembari berdiri berjalan ke arah Ahana. Ahana yang hanya berdiri tanpa melakukan apa pun terkejut melihat Elang berjalan ke arahnya. "Untuk apa kak Elang berjalan kemari? apa mungkin dia ingin menemui Rania?" tanya Ahana menerka. Namun, Elang justru berhenti tepat di hadapan anak sulung keluarga Sucipto itu. "Kakak mencari Rania?" tanya Ahana dengan wajah kebingungan. "Tidak, aku datang kemari ingin memberikan ini padamu," sahut Elang langsung meraih telapak tangan Ahana dan meletakkan pulpennya di tangan gadis tersebut. "Ini untuk apa, Kak?" tanya Ahana lagi. "Itu untukmu dan maaf ... aku tak tahu, jika kau juga merayakan ulang tahun," jelas Elang langsung pergi meninggalkan Ahana begitu saja. Ahana terdiam sejenak. Namun, sedetik kemudian, senyum manis pada bibir gadis itu terukir indah. "Terima kasih, Kak!" teriak Ahana membuat semua orang yang berada di pesta itu menatap ke arahnya. Mulut Ahana langsung tertutup rapat karena ia sudah ceroboh berteriak di tengah-tengah pesta. Elang sedikit menoleh ke arah Ahana dan tanpa sadar, anak lelaki itu tersenyum melihat tingkah lucu kakak dari Rania tersebut. Rania yang sibuk bercengkrama dengan para anak teman rekan kerja ayahnya hanya acuh melihat kegaduhan yang dibuat sang Kakak. "Kakakmu sepertinya cukup dekat dengan Kak Elang," celetuk anak gadis lainnya yang bersama dengan Rania. "Siapa bilang? Kak Elang hanya dekat denganku saja, buktinya dia menawarkan diri berdansa denganku, bukan?" ujar Rania menjelaskan pada teman-temannya. "Kak Elang pasti akan menjadi milikku," tutur Rania dalam hati. Gadis cilik itu tersenyum simpul sembari mengajak teman-temannya mendekat ke arah Ahana. Entah apa yang akan ia lakukan pada sang kakak. "Aku akan menunjukkan, siapa yang lebih pantas dekat Kak Elang," ujar Rania terus berjalan ke arah Ahana. Anak pertama dari keluarga Sucipto itu masih tak sadar dengan kehadiran adiknya dan ia pula masih belum memikirkan masalah apa yang akan Rania perbuat kali ini karena Ahana tengah asyik dengan pulpen pemberian dari Elang yang menurutnya sangat berharga. "Kita akan ke mana, Rania?" tanya salah satu teman yang berbaju biru. "Kau ikut saja aku akan menunjukkan sesuatu yang memang seharusnya menjadi milik Rania tidak akan aku berikan kepada siapa pun termasuk kakakku sendiri," jelas Rania mengambil sesuatu yang kini sudah berada di tangannya. "Maafkan aku, Kak! Tapi hal ini harus aku lakukan, agar tak ada perselisihan diantara kita, jika kau memang menginginkan hal itu juga," gumam Rania dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD