Memutuskan Untuk Serius

1033 Words
Ahana sedari tadi hanya duduk diam tak merespon apa pun karena yang ada di dalam benaknya saat ini bayangan wajah Elang saja. Elang yang setiap hari mengunjungi toko kuenya untuk membeli kue, ia sangka untuk bertemu dengan dirinya. Namun, kenyataannya hanya untuk membeli kue kesukaan Rania dan Ahana baru menyadari itu semua. "Ternyata selama ini, semuanya hanya aku yang berpikir terlalu jauh? Aku yang hanya mencintai dia seorang diri? Hanya aku yang merasakan perasaan berdebar ini sendirian?" tanya Ahana dalam hatinya. Betapa bodohnya dirinya sampai mengira, jika seorang Elang akan tertarik pada gadis sepertinya. "Seharusnya aku sudah sadar diri dari awal, sebuah bintang yang tinggi tak akan mungkin aku gapai dengan begitu mudahnya, hanya bulan yang akan bisa lebih dekat dan dapat menggapainya," pikir Ahana masih dalam diamnya. Karena sangat fokus dengan pikirannya sendiri, Ahana sampai tak sadar, jika acara wisuda Rania sudah selesai dan kini waktunya sesi berfoto bersama. Ahana begitu jelas melihat raut para keluarga begitu bahagia menyambut kelulusan Rania, berbeda dengan dirinya dulu yang bahkan tak dihadiri oleh sang Ayah karena bertepatan dengan dinas keluar kota, hanya Indah yang hadir, sementara Rania tak enak badan kala itu. "Sepertinya hidup Rania begitu sempurna," gumam Ahana tanpa sadar. "Kak! ayo kita foto bersama!" teriak Rania melambaikan tangannya pada Ahana yang melamun. Hubungan Ahana dan sang adik semakin membaik kala Rania terus beranjak dewasa karena ia sudah mengerti dan paham arti keluarga, tak seperti dulu saat ia masih kecil dan labil. Ahana menganggukkan kepalanya dan berjalan cukup cepat ke arah yang lain. Ahana bingung harus berdiri di mana dan akhirnya, Indah menarik tangan Ahana, agar berada di samping Elang. "Ma!" panggil Ahana dengan wajah tak enak hati pada Rania. "Sudah di situ saja," jelas Indah langsung menatap ke arah kamera. Semua orang yang berada di sana tak tahu kondisi jantung Ahana sudah berdebar tak karuan ritmenya, ditambah lagi, tangan Elang berada di punggungnya dan hal itu membuat Ahana semakin salah tingkah. "Tuhan, tolong bantu aku menormalkan kembali debaran jantung ini karena aku tak ingin pingsan di saat seperti ini," harap Ahana dalam hatinya. Setelah acara foto bersama selesai, semuanya sudah berada di sebuah restoran dan menikmati makan siang mereka. "Nak Elang!" panggil Edi. "Ya, Om Edi!" sahut Elang dengan nada sopan. "Apa benar kalian berdua sudah menjalin hubungan?" tanya Edi untuk memastikan. Rania dan Elang saling bertukar pandangan dan mereka berdua sama-sama tersenyum. "Benar, Om!" Denyut nyeri di d**a Ahana begitu terasa nyata karena ia sudah bisa mendengar sendiri pengakuan dari mulut pria yang ia sukai. Sejak kapan Ahana memiliki perasaan itu? Sejak saat Elang sering berkunjung ke rumah keluarga Sucipto hanya sekedar membicarakan perihal urusan perusahaan dengan sang Ayah dan rasa itu semakin dalam saat Elang datang setiap hari ke toko kuenya dan perasaan sepihak itu semakin dalam lagi sampai ia rasanya tak sanggup menerima kenyataan. "Kapan kalian akan meresmikannya?" tanya Edi langsung ke intinya. "Ayah!" ujar Rania tersenyum malu-malu. "Ayah hanya butuh kepastian dari Elang," pangkas Edi secara tak langsung menodong Elang untuk menjawab pertanyaan darinya. Jantung Ahana semakin cepat berpacu kala ia mendengar jawaban apa yang akan Elang lontarkan. "Besok, Om!" sahut Elang dengan suara mantap tanpa keraguan sedikit pun. Sirna sudah harapan yang selama ini ia impikan. "Semuanya sudah benar-benar selesai," ujar Ahana dalam hati sembari mengumbar senyum kamuflasenya. "Benar, sayang?" tanya Rania pada Elang. "Iya, sayang!" sahut Elang balas tersenyum manis pada Rania. Anak kedua dari keluarga Sucipto itu memeluk Elang tanpa ragu di hadapan semua keluarganya. "Aku ke kamar mandi sebentar," pamit Ahana yang langsung bergegas ke arah toilet resto tersebut. Indah melihat kepergian putri sulungnya. "Kenapa perasaanku merasa tak enak seperti ini?" tanya Indah dalam diamnya. Ahana menutup mulutnya rapat-rapat di dalam toilet tersebut dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi karena hatinya hancur kali ini. "Aku tak boleh seperti ini? Aku harus bahagia untuk adikku, mereka saling mencintai dan aku sebagai seorang kakak yang baik, harus ... merestui hubungan baik itu." Ahana berujar dengan isak tangis yang begitu memilukan hati. "Kuatkan aku, Ma!" gumam Ahana yang mengingat mendiang ibunya. Setelah cukup tenang, akhirnya Ahana memutuskan untuk kembali. Ahana sudah duduk di kursinya semula. "Kenapa matamu bengkak, Nak?" tanya Indah cukup cemas. Semua tatapan mata tertuju pada Ahana dan gadis itu tersenyum kikuk. "Tadi aku lupa memakai maskara dan mengucek mata terlalu keras, akhirnya mataku terasa perih," bohong Ahana, agar yang lain tak tahu kondisi hatinya. Elang tiba-tiba menyodorkan selembar tisu pada Ahana. "Ada bekas maskara yang masih belepotan di dekat matamu," jelas Elang. Ahana yang terkejut langsung mengusapnya dengan telapak tangannya sendiri dan alhasil membuat maskara itu semakin melebar ke mana-mana. Elang tersenyum dan langsung turun tangan sendiri. Pria tampan nan gagah tersebut mengusap lembut coretan bekas maskara yang masih tersisa. "Lain kali pastikan lebih dulu, jika tak ada noda apa pun di wajahmu, Kakak Ipar!" goda Elang membuat semua tertawa kecil melihat lelucon yang dibuat oleh calon anggota keluarga baru itu. Elang melakukan hal itu untuk mengakrabkan diri dengan Ahana karena ia tahu, jika calon kakak iparnya ini pendiam tak terlalu banyak tingkah seperti Rania. Mungkin semua lawakan Elang seperti lelucon. Namun, perhatian yang diberikan oleh elang membuat jantung Ahana dalam kondisi tak baik-baik saja. Jika hal tersebut diumpamakan wahana permainan, sudah pasti roller coaster yang membuat jantung orang yang menaikinya berpacu dengan begitu cepat. "Jangan buat aku semakin dalam mengagumimu," rapal Ahana yang tak mau lagi terjebak dalam perasaan sepihak itu. Saat acara makan telah usai, Elang dan Rania pulang berdua, sementara Ahana ikut dengan kedua orangtuanya. "Ayah dan Mama bisa pulang lebih dulu karena aku ingin ke suatu tempat dulu sebelum pulang," jelas Ahana tersenyum manis. "Ini sudah hampir sore, Nak! Apa kau tak ingin kami antar saja?" tanya Indah cukup cemas. Tak perlu, Ma! Aku akan pergi sendiri saja," tolak Ahana langsung pergi mencari taksi. Taksi yang dinaiki Ahana berhenti di sebuah jembatan yang sangat tinggi menjulang di atas permukaan air sungai. Gadis itu mendekat ke arah jembatan, jemari tangan yang begitu lentik terlihat menggenggam erat pagar pembatas jembatan dengan arah tatapan melihat setiap sudut sungai di hadapannya. Kedua manik mata Ahana terpejam sembari helaan napas halus terdengar dari indera pernapasannya. "Mama." Kata itu yang terdengar sebelum genggaman tangan Ahana terlepas dari pagar jembatan begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD