Malvin perlahan mengerjapkan mata nya, saat merasakan silau cahaya memasuki sela-sela kamar. Perlahan mata cowok itu terbuka, dan meraih jam beker yang terletak di atas nakas, di samping ranjang nya.
Sudah pukul 8 pagi, pantas saja, sinar matahari sudah menyeruak masuk di fentilasi kamar bernuansa biru laut itu.
Detik berikut nya Malvin mengalihkan pandangan nya pada sosok seseorang yang tengah tertidur dalam dekapan nya. Senyuman nya seketika mengembang, melihat wajah damai istri nya yang terlelap. Ya, Zeta sudah resmi menjadi istri nya sejak enam bulan yang lalu, setelah dia mengumandangkan ijab kabul di depan penghulu, kedua orang tua Zeta, dan di depan semua tamu undangan yang hadir.
Malvin memiringkan tubuh nya, sebelah tangan nya sejak semalam terus menjadi bantalan kepala Zeta, namun dia tidak merasa keberatan sama sekali. Selagi istrinya itu merasa nyaman, maka dia akan melakukan apa pun itu.
Zeta melenguh, saat tangan Malvin mengelus lembut pipi nya. "Eghhh---Malvin jangan ganggu ah." Zeta bersuara serak dengan mata yang masih terpejam.
"Bangun sayang, udah pagi." Malvin mengecup gemas bibir Zeta, membuat istrinya itu semakin merapatkan diri ke dalam d**a bidang nya, yang tidak dilapisi apa pun.
Malvin tersenyum, dan mengecup puncak kepala Zeta. "Sarapan dulu sayang, nanti kalau mau tidur. Tidur lagi, udah jam 8, waktu nya kamu makan pagi." Bisik Malvin, dan mengeratkan pelukan nya di tubuh Zeta. "Atau kamu mau kita malas-alasan di tempat tidur hm?"
Zeta sedikit mengangkat kepala nya, lalu mendongak menatap Malvin. Cowok itu tersenyum, dan mengecup bibir nya lagi. "Morning sayang."
"Morning." Balas Zeta dengan suara serak nya, lalu kembali memejamkan mata dan menarik selimut menutupi tubuh nya.
"Kok tidur lagi sih, bangun dong. Kamu harus sarapan sayang."
"Ngantuk Vin."
"Iya nanti tidur lagi. Aku temenin, sekarang makan dulu ya sayang." Malvin mengurai pelukan nya, membuat Zeta kembali tertidur terlentang, dengan susah payah membuka mata nya kembali. Dia masih begitu mengantuk, karna baru tidur jam 2 pagi. Ya kalian tahu lah, apa yang dia dan Malvin lakukan.
Zeta memperhatikan Malvin yang tengah memasang kaos, "Kenapa kamu liatin aku kayak gitu. Kamh mau kita---ehem lagi." Malvin tersenyum menggoda istri nya tersebut.
Zeta menghela nafas nya, lalu melempar Malvin dengan bantal. "Dasar m***m, gak ada puas nya."
"Ya mana bisa puas sayang. Kamu---"
"Udah ah kamu mah ngomong nya makin ngelantur." Zeta sekuat tenaga menyembunyikan senyuman geli nya, namun semburat merah di pipi nya tidak bisa memmbohongi bahwa dia tengah menahan malu.
Malvin terlekeh, lalu menunduk dan mengecup setiap inci wajah Zeta, di tatap nya mata itu lekat. Sorot mata yang memancarkan cinta yang begitu besar, kepada seseorang yang sudah resmi menjadi miliknya seutuh nya. "Terima kasih ya sayang, kamu adalah kebahagian tanpa batas untuk aku." Ujar Malvin begitu dalam, sedalam tatapan nya pada Zeta.
Zeta tersenyum, "Kamu ngomong nya itu terus tiap pagi, gak bosen apa."
"Gimana aku mau bosan, kalau kamu adalah takdir yang paling aku syukuri. Setiap pagi, siang dan malam aku gak pernah berhenti bersyukur Tuhan memberikan kamu dalam hidup aku."
Mata Zeta benar-benar di kunci oleh tatapan Malvin. Setiap pagi, cowok yang sudah berstatus sebagai suami nya itu, selalu mengatakan hal yang sama tanpa bosan.
"udah ah, ntar gak bangun-bangun lagi." Zeta memecah keheningan kamar tersebut.
"Gak papa dong, biar kita di sini aja seharian." Malvin mengedipkan sebelah mata nya kepada Zeta, lalu kembali mengurung tubuh mungil gadis itu dalam dekapan nya. Memeluk Zeta layak nya guling.
"Ihh Malvin!!! Sesek ah, kamu mah meluk nya gak ngira." Zeta berusaha keras melepas pelukan Malvin. "Bukan nya hari ini kamu ada meeting, ya udah sana mandi, ntar telat lagi."
"Aku belum bisa pergi, kalau belum mastiin kamu bangun, trus sarapan."
"Gimana mau bangun, kalau kamu meluk terus." Zeta memutar bola mata nya jengah.
Malvin tersenyum, dan mendaratkan kecupan di kening Zeta. Lalu melepaskan istri nya itu, membiarkan Zeta merubah posisi menjadi duduk. Tidak lupa menarik selimut untuk menutupi tubuh polos nya.
"Kamu ngapain masih di sini? Sana mandi Malvin!!" Zeta berteriak kesal saat Malvin terus saja menatap nya, bukan tidak suka. Dia hanya malu jika Malvin terus menatap nya dengan lekat. Entah lah, semenjak menikah, Zeta selalu grogi jika Malvin menatap nya seperti itu.
"Ciee malu. Padahal udah lihat semua tau," Malvin lagi-lagi menggoda Zeta, hobi baru nya setelah menikah.
"Malvin!! Sana ah,"
Malvin tertawa pelan, saat Zeta merengek menyuruh nya pergi. "Iya iya sayang. Gemesin banget sih istri aku." Malvin berlalu ke kamar mandi, setelah mengacak pelan rambut Zeta.
Zeta menghela nafas nya, menetralkan detak jantung nya yang selalu berlebihan setiap dekat Malvin, padahal status mereka sudah suami istri. Tapi, jantung nya masih tidak bisa di kondisikan. Dengan perlahan Zeta turun dari ranjang, dan meraih piyama nya yang tergeletak di atas sofa.
"Malvin aku tunggu di bawah ya!!"
"Iya sayang, sarapan ya jangan tungguin aku. Suruh Mbak Lilis buatin kamu s**u! Makan nya harus pakai aturan aku ya!"
Zeta menghela nafas nya malas, setiap pagi selalu itu yang dia dengar. Pesan dan kesan Malvin.
"Dasar suami bawel." Gerutu Zeta pelan, namun sial nya di dengar Malvin.
"Aku dengar Sayang!!"
Mendengar teriakan Malvin langsung saja membuat Zeta melesat keluar kamar.
"Pagi Non Zeta."
Zeta mengangguk. "Pagi mbak."
"Sarapan nya sudah siap non, s**u nya juga sudah saya buatkan." Ujar wanita berusia 40 tahun yang tak lain adalah Mbak Lilis---salah satu pelayan keluarga Rezaldi.
Zeta mengangguk, lalu berjalan menuju ke arah kulkas, bukan nya ke arah meja makan. Mbak Lilis yang melihat itu saling melempar pandang dengan Bi Ira, "Non sarapan sama s**u nya ada di meja makan." Bi Ira bersuara.
"Iya tau." balas Zeta santai, lalu membuka pintu kulkas. Meraih sebuah botol yang berisi air putih di sana.
Zeta baru saja akan membuka tutup botol itu, saat botol tersebut melayang dan berpindah tangan dengan cepat.
"eits---kamu mau ngapain?"
Zeta menoleh, dan mendapati Malvin berdiri di belakang nya, dengan sebelah alis terangkat. Cowok itu sudah rapi dengan setelan kemeja kantor nya. "Minum lah." balas nya polos.
"Kan udah di siapin di meja makan."
"Ck, gak enak Vin. Gak dingin."
"Gak ada cerita minum air dingin pagi-pagi gini." Suara Malvin berubah serius, dan tajam. Setajam tatapan nya pada Zeta.
"Kan gak ada di peraturan kamu. Jadi gak papa dong." Zeta berusaha merebut botol tersebut dari Malvin, "Malvin balikin dong."
Malvin menjauhakan botol itu dari jangkauan Zeta, memberikan nya kepada Bi Ira. "Bawa Bi! Jangan biarkan istri nakal saya ini menyentuh botol itu." ujar nya dengan pandangan terus pada Zeta, menahan pinggang gadis itu.
"Baik den." Bi Ira langsung saja beranjak ke dapur, di susul oleh Mbak Lilis.
"Malvin nyebelin banget sih? Apa salah nya coba kalau cuman mau minum air dingin, perasaan waktu itu masih boleh-boleh aja." Zeta memberengut.
Malvin memeluk pinggang Zeta, saat istri nya itu menjatuhkan kepala di d**a bidang nya, memberengut di sana. "Aku baru sadar, kalau minum air dingin pagi-pagi itu gak baik. Jadi gak boleh. Lagian aku udah tuliskan peraturan di rumah ini, yang boleh sama enggak boleh kamu lakuin."
Zeta mengangkat kepala nya menatap Malvin, "Apaan? Gak ada tuh peraturan kayak gitu. Kamu---"
"Lihat itu sayang." Malvin merangkul pundak Zeta, lalu membalikkan tubuh istri nya itu, menatap kepada sebuah dinding menyerupai mading, dimana di sana terdapat sebuah papan dengan banyak tempelan sticky note warna warni.
Zeta spontan membulatkan mata nya saat melihat salah satu sticky note itu yang di tulisi tulisan kapital.
TIDAK BOLEH MINUM AIR DINGIN, SETIAP PAGI.
"Loh kapan kamu buat itu? Kok aku gak tau sih?!" Zeta langsung saja berjalan ke arah mading tersebut, menatap beberapa sticky note yang baru di lihat nya.
"Ini apaan lagi? Gak boleh keluar rumah kalau udah jam 5 sore! Malvinnn!!" Zeta menoleh dan menatap Malvin dengan kesal. "Kemarin ini kan janji nya aku boleh keluar rumah tapi gak lewat dari jam 7!" pekik nya.
"Iya, itu waktu kita masih pacaran. Sekarang kan beda." Balas Malvin kelewat santai, seraya melipat kedua tangan nya di d**a, bersandar di kulkas.
"Ya gak bisa gitu dong! Itu nama nya kamu gak komit, masak main ganti-ganti aja!!" Ujar Zeta tidak terima.
"Kunci nya aku yang pegang Zi."
"Ya---ihh kamu ya. Ini lagi, harus tidur siang! Kamu pikir aku anak kecill!!" Zeta semakin menjerit melihat deretan peraturan baru yang di buat Malvin.
"Kamu emang bukan anak kecil sayang." Malvin berjalan ke arah Zeta, lalu memeluk nya dari belakang. "Tapi kamu istri kecil aku." Bisik Malvin, tepat di telinga kanan Zeta.
Hembusan nafas cowok itu membuat Zeta meremang, terlebih saat Malvin mulai mengecupi sekitaran leher nya. Bahkan tangan cowok itu meraih dagu nya, dan mengecup bibir nya lama seiring dengan mengetat nya pelukan itu di pinggang nya.
"Jadi kamu harus mengikuti semua aturan main nya. Gak ada bantahan! Gak ada penolakan! Gak ada cerita ngelawan perintah suami!" Tekan Malvin, dan mendaratkan kecupan terakhir di tengkuk Zeta.
"Aku bukan anak kecil yang harus tidur siang. Bukan remaja labil yang jam 5 harus di rumah, aku kuliah Malvin. Gimana kalau---jadwal kuliah aku ada yang jam 5, atau siang. Masak iya aku bolos." Zeta menatap Malvin, tanpa melepaskan pelukan cowok itu. "Ganti ya, di hapus aja yang itu. Ya udah gak boleh minum air dingin, gak boleh makan ini, sama yang lain nya aku turuin. Tapi yang dua itu ganti ya." Dia menatap Malvin dengan memohon.
Malvin menatap mata Zeta, lalu tersenyum membuat Zeta juga ikut tersenyum. Berharap Malvin mengabulkan permintaan nya. "Enggak dong sayang. Kalalu aku ubah, berarti aku labil dong."
Zeta merengek dan menjatuhkan kepala nya di d**a bidang Malvin. "Ya tuhan kenapa punya suami posessive nya minta ampun sih. Dosa apa coba hamba ya Tuhan!!"
Malvin terkekeh mendengar ratapan Zeta, bukan nya kasihan. Dia justru gemas dengan tingkah istri nya itu. "Dosa kamu, karna udah bikin aku jatuh cinta yang begitu dalam sayang." Dia masih saja menggoda Zeta.
"cinta apaan kalau kayak gini?! Gak sekalian aja kamu iket aku di kamar, gak usah di bolehin keluar!!" Zeta menjerit kesal.
"Wah ide bagus sayang. Ya udah kalau gitu mulai sekarang---"
"Aaa---gak aku bercanda!! Enggak!! Jangan!!" Zeta spontan membekap mulut Malvin, mencegah kata-kata itu akan keluar. "Enggak! Jangan ya!" Dia menatap mata cowok itu dengan panik, apa jadinya hidup nya kalau hanya berada di dalam kamar.
Malvin tersenyum dan meraih tangan Zeta yang membekap nya, di kecup nya tangan itu lembut. "Sayang, aku netapin aturan ini buat kamu juga. Aku gak mau hal buruk terjadi ke kamu." Dia menatap lekat mata Zeta, menuntun istri nya itu untuk mengikuti nya ke ruang tengah.
"Contoh nya?" Tanya Zeta, dan duduk di atas pangkuan Malvin sesuai perintah cowok itu.
"Zi, aku gak mau sesuatu yang buruk terjadi sama kamu lagi. Apa yang terjadi delapan bulan yang lalu, itu cukup membuat aku ngerasain rasa takut yang begitu luar biasa. Cukup Zi, cukup sekali itu aja Tuhan nyaris mengambil kamu dari aku. Aku gak mau kehilangan kamu. Itu kenapa kamu harus dengerin terus kata-kata aku. Mungkin kamu merasa kamu tertekan, terkekang. Tapi apa pernah kamu ngerasain ada di posisi aku, setiap malam gak bisa tidur, hanya memikirkan apakah besok aku masih bisa melihat kamu atau tidak."
Zeta tertegun menatap mata sendu milik Malvin. Suami nya kemabli mengingatkan nya akam kejadian kecelakaan naas itu, yang nyaris merenggut nyawa nya dan Sabrina. Selama ini dia memang merasa terkekang dengan sikap Malvin, tapi jika sudah seperti ini alasan nya. Dia juga tidak bisa membantah lagi.
Zeta menunduk, dengan tangan yang memainkan kancing kemeja Malvin. "Maaf." Gumam nya nyaris tak terdengar.
Malvin meraih dagu Zeta dengan lembut, "Its okay. Jangan sedih dong, aku gak mau loh ninggalin kamu dalam keadaan sedih kayak gini. Lebih baik aku gak masuk kerja."
"Eh jangan dong, kata nya ada meeting penting."
"Lebih penting kamu buat aku. Meeting bisa kapan aja." Malvin meraih tubuh Zeta dan memeluk nya dengan erat.
"Ck, mentang-mentang bos. Masak seenak nya sih. Gak boleh gitu."
Malvin terkekeh, "Iya sayang."
"Lagian kamu nya, kenapa gak milih jurusan bisnis aja waktu itu. Kenapa harus kedokteran, jadi sekarang keteteran kan. Ini di urus, itu di urus, ntar sakit lagi."
Malvin tersenyum mendengar omelan Zeta, di usap nya kepala istrinya itu dengan lembut. "Gak papa sayang, kan sekarang udah semester akhir juga."
"Kamu tau gak. Sabrina aja yang punya rumah sakit gak mau jurusan kedokteran, malah ambil bisnis. Nah kamu, punya perusahaan malah ambil kedokteran. Ck, gak ngerti aku."
Sejak menikah, perusahaan Rahardian yang berada di Jakarta memang di pegang oleh Malvin kini. Tidak butuh waktu lama untuk Malvin mengerti akan dunia bisnis, jangan lupakan bahwa suami Zeta ini sangat pintar dan mempunyai otak google.
Selain itu, Malvin juga masih menyelesaikan study S1 nya di jurusan kedokteran. Dimana, kini dia sedang menempuh semester akhir, penyusunan skripsi. Itu lah kenapa, cowok itu bisa fokus mengurus perusahaan di selingi dengan penyusunan skripsi nya. Jika semua di lancarkan, maka 6 bulan lagi atau kurang, kemungkinan Malvin akan wisuda. Jujur, Zeta bangga karna Malvin berhasil menyudahi semua mata kuliah nya dalam 6 semester, dan itu berakhir saat tiga bulan mereka setelah menikah kemarin. Karna, cowok itu memang mengejar segala ketertinggalan nya, karna musibah yang menimpa Zeta.
"Gak papa dong sayang, kan buat investasi juga. Biar nanti kalau kita udah punya anak, gak pusing lagi mikirin biaya."
Zeta sontak menegakkan kepala nya, menatap Malvin yang tersenyum menggoda ke arah nya. "Maka nya kamu aku suruh tidur siang, biar malam nya bisa---"
"Malvinnn!!" Zeta berteriak menahan malu, dan menyembunyikan wajah nya di d**a bidang cowok itu. Membuat tawa Malvin seketika pecah. Dia tau, istrinya itu tengah menahan malu.
Dengan gemas di peluk nya Zeta semakin erat, mengecupi pipi istrinya dengan gemas. Dia benar-benar tidak bisa membohongi perasaan nya, bagaimana bahagianya dia bisa memiliki Zeta seutuh nya.
Malvin berjanji akan terus membahagiakan Zeta, teman hidup dan mati nya nanti.