Zeta menjatuhkan diri nya di atas sofa empuk ruangan tengah itu, seraya menghidupkan tv. Hari ini, dia memang tidak ada kuliah, karna sudah semester 7, mata kuliah nya sudah tidak sebanyak semester 1,2 dan seterus nya. Dia hanya mengulang beberapa mata kuliah yang belum lulus, akibat jarang masuk saat dia harus di rawat di rumah sakit waktu itu.
Rumah sebesar ini terasa sepi jika Zeta sudah sendirian, ketika Malvin harus ke kantor, tidak ada lagi yang harus di ajak nya berdebat. Apalagi jika teman-teman nya tidak ada yang bisa main ke sini, lengkap sudah kebosanan Zeta.
Rumah ni memang tidak seramai rumah keluarga nya, yang di penuhi dengan begitu banyak pelayan. Di sini hanya ada Mbak Lilis dan Bi Ira, yang mengurus segala keperluan rumah. Jangan di tanya, Malvin tidak mengizinkan Zeta untuk melakukan pekerjaan rumah, apa pun itu. Bahkan hanya sekedar menyapu rumah. Sifat posessive Malvin semakin menjadi-jadi sejak mereka menikah, lebih parah dari masa pacaran dulu.
Ya, Zeta dan Malvin memang kini tinggal di rumah mereka sendiri, tidak ingin lagi jika bersama orang tua. Lebih tepat nya keputusan Malvin, sementara Zeta hanya menurut. Rumah ini merupakan kejutan juga bagi Zeta, karna pasal nya dia tidak tau kapan suami nya itu membeli rumah mewah ini. Tepat satu minggu mereka menikah, Malvin membawa Zeta ke sini dan mengatakan bahwa ini adalah rumah yang sudah lama dia beli, tepat nya saat anniversary 1 tahun pacaran kedua nya.
Jangan di tanya darimana Malvin mendapatkan uang. Malvin itu adalah tipe cowok yang hemat dan jarang sekali mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak penting. Hampir semua uang saku nya dari Rahardian, dia simpan entah untuk keperluan mendesak nanti nya. Dan terbukti, uang yang dia simpan sejak lama membuahkan hasil sebuah rumah yang begitu bagus dan jangan lupakan dekorasi rumah ini sesuai dengan yang Zeta inginkan. Terutama warna kamar mereka, biru laut warna kesukaan Zeta.
Zeta tersentak saat pundak nya tiba-tiba saja di tepuk oleh seseorang. Dia spontan menoleh ke si pelaku. "Ck, ngagetin aja sih lo!!"
"Kenapa lo? Kaget? Mata lo ke tv, pikiran lo entah kemana." ujar orang di samping Zeta dnegan santai.
"Ck, lo yang masuk rumah orang nyelonong aja!! Gak pake salam gak pake ketok pintu!!" Ketus Zeta.
"Nah kan! Gue udah ngetok pintu Zi!! Udah di suruh masuk sama Mbak Lilis, emang dasar lo nya aja yang ngelamun. Kenapa sih? Lo gak di belai sama Malvin semalam?!!"
BUGH...
Zoya meringis saat mendapatkan pukulan tiba-tiba di lengan nya dari Zeta. Bogeman cewek itu masih terasa begitu kuat oleh nya. "Sakit Zi! Ngira-ngira dong! Udah jadi istri orang juga, yang ada suami lo di ambil orang kalau lo kdrt kayak gini."
"Alah lebay!!" Balas Zeta santai dan mengibaskan tangan nya di depan Zoya. "Lo ngapain sih di sini? Gak kuliah?"
Zoya bangkit berdiri dan meraih toples berisi cemilan kue kering di sana. "kuliah." balas nya sembari mengunyah.
"Trus ngapain lo di sini? Kampus lo pindah ke sini."
"Ck, males gue Zi. Gak kelar-kelar kuliah gue." Ujar Zoya, menatap Zeta yang duduk di sofa. Mulut nya terus mengunyah.
"Ya iyalah gak kelar, kalau lo bolos terus. Gak di Amerika gak di sini, buang-buang duit doang lo." Semprot Zeta.
Zoya memang pindah kuliah ke Indonesia, tepat nya ke Santa University, dimana Zeta dan PopGirl kuliah. Bukan tanpa alasan dia pindah kuliah ke sini, gadis itu di DeO di Amerika Universiy, akibat jarang masuk, dan sekali nya masuk malah nyari ribut.
"Ck, gimana ya Zi. Lo kan tau, gue gak sepinter elo, Sabrina, Vinny, Alya atau Lisa. Niat belajar gue juga minus." Zoya menghela nafas nya, dan ikut duduk di samping Zeta.
"Gak usah kuliah kalau gitu."
"Ya gue mau nya juga gitu. Tapi tuh mantan guru lo, nyuruh gue kuliah. Kata nya, mau jadi apa gue nanti kalau gak kuliah. Padahal gue udah punya masa depan kan, karir balapan gue lancar." Balas Zoya kelewat santai.
Zeta langsung saja menjitak kening gadis itu. "b**o! Yang di bilang tante lo bener. Emang lo jamin bakal jadi pembalap sampai tua. Enggak kan!"
Zoya menoleh pada Zeta, "Ah entar deh, gue pikirin. Lo sendiri gak kuliah?"
"Menurut lo? Malvin yang ngatur KRS gue, mata kuliah gue cuman tinggal 4."
Zoya mengangguk. "Kalau gitu kita keluar yuk! Gak bosen di rumah terus, tiga bulan libur kuliah kemarin lo gak ada waktu sama kita." dia melirik Zeta.
Zoya benar, tiga bulan kemarin dia tidak menghabiskan liburan dengan teman-teman nya. Melainkan liburan bersama Malvin, kata suami nya itu sih sekalian honeymoon. Ck, honeymoon, dia baru 21 tahun. Terlalu dini untuk mengenal honeymoon menurut nya.
"Ya udah deh. Gue ganti baju dulu."
Zoya mengangguk. Tidak butuh waktu lama Zeta sudah kembali turun dengan setelan dress di atas lutut dengan bandana bermotif polkadot di kepala nya. Terlihat simpel, namun elegan.
Zoya dan Zeta baru daja akan melangkah keluar rumah saat dua orang pria berbadan besar, bersetelan kemeja hitam menghampiri mereka. Zoya langsung saja pasang badan dan berdiri di depan Zeta.
"Siapa kalian?" Tanya Zoya datar sedatar tatapan nya.
Zeta yang berdiri di belakang Zoya hanya diam memperhatikan dua orang tersebut.
"Eh---gue nanya! Lo berdua bisu!!" Hardik Zoya dengan suara yang mulai meninggi.
"Maaf non, perkenalkan kami dua orang bodyguard yang di pekerjakan den Malvin untuk mengawal non Zeta kemana pun non Zeta pergi."
Zeta spontan membulatkan mata nya mendengar penuturan salah satu bodyguard tersebut.
"Hah?! Bodyguard?!" pekik Zeta, Zoya menoleh ke arah nya.
"Iya non. Jadi sekarang non Zeta mau ke mana?" tanya bodyguard yang satu nya lagi.
Zeta masih dengan wajah tekejut nya, sementara Zoya sudah tertawa pelan, mengingat bagaimana protektif nya Malvim pada sahabat nya ini.
Zeta yang kesal lantas berteriak. "Malvinnnn!!"
Tawa Zoya justru semakin kencang.
Malvin sejak tadi tidak mengalihkan pandangan nya dari layar laptop, yang mana menampilkan laporan hasil meeting nya tadi. Namun percuma, hanya pandangan nya lah yang tertuju pada laptop, tapi pikiran nya melayang entah kemana-mana.
Malvin menghela nafas berat, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri nya. Sudah pukul 12 siang, dimana waktu istirahat telah tiba.
Tok tok..
"Masuk!"
"Permisi pak?"
Malvin mengangguk dan menegapkan tubuh nya. Saat seorang wanita bersetelan pakaian kantor memasuki ruangan nya, dengan sebuah map di tangan wanita itu.
"Ini berkas yang harus bapak tanda tangani."
Malvin meraih map tersebut, membuka setiap lembar kertas yang ada di sana. Lalu membubuhkan sebuah tanda tangan nya di bagian kanan bawah.
"Kapan jadwal meeting kita lagi?" Tanya Malvin dengan suara dignin, tanpa menatap sekretaris kantor nya itu.
"Untuk besok tidak ada pak. Mungkin akan saya info kan lagi nanti."
Malvin mengangguk, dan kembali menyerahkan map tersebut lagi-lagi tanpa menatap wanita yang masih setia berdiri di samping meja kerja nya itu.
"Ngapain kamu masih di sini?" Tanya Malvin dingin, kali ini mengangkat kepala nya menatap wanita dengan name tag Dina itu.
Wanita itu tersenyum, "Bapak gak mau makan siang? Biar saya belikan? Atau kita bisa makan siang---"
"Tidak usah! Kamu boleh keluar sekarang! Satu lagi, coba perhatikan cara kamu berpakaian. Bedakan mana yang di kantor mana yang tidak. Besok saya gak mau lagi, melihat kamu berpakaian seperti ini, kalau kamu gak mau saya pecat!" ujar Malvin menatap dingin pada Dina.
Bagaimana tidak, wanita itu tampak berpakaian begitu minim dan ketat. Bahkan dress itu hanya menutupi setengah bagian paha nya.
Dina memberengut mendengar ucapan atasan nya yang kelewat dingin itu. Dia sendiri sengaja berpakaian seperti ini untuk menggoda atasan muda nya itu, tapi respon yang dia dapat selalu begini.
"Baik pak." Jawab Dina dengan berat hati, sekaligus menahan kekesalan nya.
Ceklek...
Pintu ruangan Malvin tiba-tiba saja terbuka tanpa ada ketukan sama sekali. Pandangan cowok itu langsung saja tertuju pada seseorang yang sejak tadi memenuhi pikiran nya itu, tampak berdiri di ambang pintu.
"Zeta." Malvin bergumam, dan langsung saja menghampiri istrinya itu.
Bukan nya membalas tatapan Malvin, tatapan Zeta justru tertuju pada wanita yang berdiri di samping meja suaminya itu. Wanita berpakaian minim yang selalu membuat mata nya gatal-gatal setiap ke sini. Siapa lagi kalau bukan Dina si sekretaris kecentilan itu.
Malvin yang menyadari tatapan sinis Zeta itu, langsung saja menoleh pada Dina. "Kamu boleh keluar!"
Setelah membungkuk singkat, Dina berlalu keluar ruangan tersebut. Dia sempat berpapasan dengan Zeta.
"Apa lo lihat-lihat!! Mau gue bogem!! Dasar kecentilan!! Sok oke lo!!" ketus Zeta. Mata nya terus menatap tajam pada Dina.
"Zi---jangan marah-marah ah."
"Ngapain lo masih di sini!! Sana keluar!!"
"Zeta." Malvin menahan tangan Zeta yang hendak mendorong Dina, dia lalu mengintruksikan sekretarisnya itu untuk keluar sebelum istri kecil nya mengamuk di sini. "Jangan marah-marah sayang, ini di kantor."
"Bodo!! Suka-suka aku lah!! Ngapain kamu yang ribet!!"
Malvin menghembuskan nafas nya, saat dia ikut kena semprot Zeta. Seperti nya mood istrinya ini sedang tidak bagus.
"Iya-iya suka-suka kamu. Kamu ke sini sama siapa sayang?" Tanya Malvin lembut, membelai pipi Zeta.
Zeta memasang wajah kesal nya, lalu menatap tajam ke arah Malvin. "Kamu ngirimin aku dua bodyguard? Sok-sok gak tau lagi."
Oke, sekarang Malvin mengerti apa yang membuat Zeta seperti ini.
"Oh itu. Iya, mereka melakukan tugas dengan baik kan?" Respon Malvin santai, berjalan ke arah sofa sembari melepaskan jas kantor nya.
"Malvinnn! Aku gak suka!! Apaan sih kok pakai di kawal-kawal segala!!" Zeta langsung saja mengeluarkan rengekan nya, dia menghentakkan kaki nya menyusul Malvin ke sofa.
"Itu emang tugas mereka Zi."
"Ya tapi aku gak suka Malvin!! Aku bisa jaga diri sendiri, gak perlu pakai bodyguard-bodyguard segala!!"
Malvin menatap Zeta yang kini duduk di atas pangkuan nya, memasang wajah cemberut andalan istrinya itu jika apa yang dia lakukan tidak sesuai dengan kemauan Zeta.
"Kamu udah makan?"
Zeta berdecak, "Kamu mah kebiasaan mengalihkan pembicaraan!"
Malvin menghela nafas nya, lalu menarik pinggang Zeta agar lebih dekat pada nya. "Sayang, kita kan udah bicarain ini tadi pagi. Tugas kamu itu cuman nurut, gak boleh ngebantah." Ujar nya, sembari mendaratkan kecupan singkat di bibir Zeta.
"Tapi---"
Cup
Di kecup nya bibir Zeta, memotong istrinya itu untuk bersuara.
"Gak ada tapi-tapian, keputusan aku udah final. Aku gak mau lalai lagi jagain kamu, aku gak mau kejadian waktu itu terulang. Jadi kalau udah pakai bodyguard, aku ngerasa lebih tenang, kalau lagi gak di samping kamu." Di rengkuh nya Zeta agar masuk ke dalam pelukan nya.
Zeta menghela nafas pasrah di dalam d**a bidang Malvin. Percuma dia mau merengek seperti apa juga, kalau keputusan Malvin tidak bisa lagi di bantah.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku loh. Kamu udah makan?" Tanya Malvin seraya mengelus kepala Zeta yang menempel di d**a bidang nya.
Zeta menggeleng.
"Ya udah kalau gitu aku suruh Dina beli makanan dulu. Kamu---"
"Gak mau!!" Zeta spontan mengangkat kepala nya mendengar ucapan Malvin.
"Kok gak mau?"
"Ck, Malvin aku gak suka sama sekretaris kamu itu. Apaan baju nya kayak gitu, sekalian aja gak usah pakai baju. Mau ngantor apa mau ngejalang sih. Itu lagi, ngapain dia senyum-senyum ke kamu! Centil banget!!" gerutu Zeta.
Mvin terkekeh melihat wajah kesal istrinya yang terlihat begitu menggemaskan. "Kamu cemburu?" dia menaikkan sebelah alisnya.
"Ih siapa juga yang cemburu. Gak level! Yang kayak gitu banyak di ragunan."
Malvin spontan tertawa mendengar jawaban asal Zeta. Lalu mengacak rambut istrinya itu dengan gemas. "Ya ampun gemesin banget sih kamu. Istri siapa sih?" di kecup nya bibir Zeta dengan gemas, lalu beralih ke ceruk leher Zeta.
Malvin terus saja mengecupi setiap inci wajah Zeta tanpa henti. Hingga tanpa sadar posisi mereka kini telah berubah, menjadi Malvin menindih Zeta yang terbaring di sofa.
"Malvin udah ah. Kamu gak lihat tempat banget sih, ini di kantor kamu tau." Zeta menutup bibir Malvin dengan telapak tangan nya, bukan nya berhenti cowok itu justru mengecupi telapak tangan nya.
"Aku kangen sama kamu sayang."
"Ck, lebay. Baru juga setengah hari gak ketemu."
"Berasa setengah tahun sayang."
Zeta terkekeh, dan menatap Malvin yang berada di atas nya. Mata nya seketika langsung terkunci dengan tatapan lekat dari mata Malvin. Tangan cowok itu juga tidak berhenti membelai wajah nya dengan lembut, membuat Zeta mau tidak mau memejamkan mata nya merasakan elusan Malvin yang begitu terasa lembut dan nyaman.
Detik berikut nya, Zeta merasakan benda kenyal itu mulai bergerak di atas bibir nya, menikmati lumatan bibir Malvin yang terasa begitu lembut untuk nya. Ciuman yang penuh dengan rasa cinta.
"Astaga!!"
Malvin spontan melepaskan ciuman nya pada Zeta, saat mendengar suara pekikan tersebut. Mata nya langsung saja tertuju pada seseorang yang berdiri di ambang pintu.
Shit...
Harusnya tadi dia mengunci pintu tersebut.
"Sumpah gak tau tempat banget." gumam Zoya, Masih memasang wajah kaget nya.
Malvin menggeram, "Lo ngapain sih?" desis nya tajam pada Zoya.
"Ck, santai kek. Gue cuman mau ngambil kunci mobil di tas Zeta." balas Zoya, seraya mengambil kunci mobil nya di tas Zeta. "Udah! Sok lanjutin!" Dia tersenyum menggoda ke arah Malvin, lalu melesat keluar ruangan dengan cepat setelah mendapatkan benda yang dia cari.
Malvin berdecak, lalu kembali memusatkan perhatian nya pada Zeta yang terbaring di atas sofa, dengan wajah yang di tutupi dengan bantal yang ada di sana. Dia terkekeh, pasti Zeta merasa begitu malu.
"Sayang. Kamu kenapa?" bisik Malvin, seraya mengusap pipi Zeta dengan lembut.
Tidak ada pergerakan.
Malvin mengambil alih bantal yang di pegang Zeta untuk menutupi wajah nya. Mata istrinya itu terpejam dan nafas nya tampak beraturan, menandakan bahwa Zeta telah terlelap dalam tidur.
Malvin tersenyum, melihat wajah damai Zeta. Di daratkan nya sebuah kecupan singkat di kening istrinya igu, lalu menggendong Zeta masuk ke dalam kamar pribadi yang ada di dalam ruangan nya. Membaringkan Zeta di sana.
Di tatap nya wajah itu sekali lagi, "Tidur yang nyenyak sayang. Aku sayang kamu." Bisik Malvin, sebelum akhir nya memeluk tubuh ramping Zeta. Dan ikut terlelap bersama.
"Non Sabrina! Ada bapak di bawah."
Sabrina melirik pada Bi Sri----pembantu rumah tangga nya itu, tanpa berniat merubah posisi berbaring nya dengan kaki yang terangkat lurus ke dinding.
"Nanti saya turun." Balas Sabrina dingin.
Bi Sri mengangguk, lalu keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan Sabrina kembali seorang diri.
Tak lama, Sabrina merubah posisi nya menjadi duduk di atas ranjang. Mata elang gadis itu menatap lurus ke depan, dia lalu bangkit dan meraih tas nya, tidak lupa jaket hitam kebanggaan genk nya.
"Mau kemana kamu?"
Langkah Sabrina seketika terhenti saat mendengar suara tersebut, tanpa menoleh pun dia juga tau siapa pemilik suara itu.
"Kamu belum jawab pertanyaan papa Sabrina. Papa baru datang dan kamu malah mau keluar rumah."
Pria dengan setelan kantoran itu kembali bersuara, kali ini mendekat ke arah Sabrina yang sudah berada di ambang pintu. Dengan posisi seperti ini, dia bisa melihat wajah dingin gadis itu.
"Bukan urusan Anda." Sabrina bersuara dingin, tanpa menatap lawan bicara nya.
Tama menarik nafas nya perlahan, "Duduk dulu! Ada yang ingin papa sampaikan ke kamu." dia berusaha keras menahan emosi dalam diri nya, untuk menghadapi sosok seperti Sabrina.
"Saya gak ada waktu." Ujar Sabrina lalu kembali melangkahkan kaki nya, berniat melewati batas pintu tersebut.
"Selangkah lagi kamu maju, papa jamin rumah ini gak akan menerima kamu lagi!" Desis Tama tajam dan berhasil membuat langkah Sabrina terhenti. "Berhenti keras kepala Sabrina! Kamu masih dalam pengawasan papa! Papa bisa saja kapan pun menarik rumah ini, dan mau tidak mau kamu harus ikut tinggal bersama papa!"
Tangan Sabrina terkepal di dalam saku jaket nya, dia lalu membalikkan tubuh nya. Untuk pertama kali, di balasnya tatapan tajam milik pria tersebut.
"Ambil apa pun yang anda mau. Tapi jangan pernah bermimpi saya mau satu atap dengan anda." Ujar Sabrina dingin, sedingin tatapan nya pada Tama. "Sekalipun saya jadi gelandangan di luar sana, itu mungkin akan lebih baik untuk batin saya. Daripada harus satu atap dengan orang yang gak punya hati seperti Anda!" Suara nya berubah menjadi penuh penekanan.
Tama mengusap gusar wajah nya, rahang nya mengeras mendapatkan jawaban yang begitu kurang ajar dari Sabrina. "Papa gak ngerti sama pikiran kamu Sabrina. Papa berusaha berubah, gak pernah main tangan lagi sama kamu, hanya untuk apa? Supaya kamu bisa lebih dekat dengan papa. Tapi---"
"Berubah? Anda gak perlu berubah untuk saya, lakukan apa yang anda mau. Karna saya bukan siapa-siapa anda. Bukan kah begitu? Saya hanya anak haram, yang di pisahkan dari ibu nya. Dan di rawat oleh iblis seperti anda!"
PLAK...
Satu tamparan mendarat di pipi Sabrina cukup kuat, membuat sudut bibir gadis itu sobek dan mengeluarkan darah. Wajah Sabrina terdorong ke kanan, seulas senyum sinis muncul di wajah nya menatap tajam pada Tama. "Ini yang berubah?" Sinis nya.
Tama mematung di tempat nya, tangan nya bergetar setelah melayangkan satu tamparan pada pipi putri semata wayang nya. Mata nya beradu dengan mata Sabrina yang sarat akan kebencian.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Sabrina berlalu keluar rumah tersebut seraya menyeka darah yang mengalir di sudut bibir nya. Lebam ini sudah tidak terasa sakit lagi bagi nya, karna hampir sepanjang hidup nya. Dia menerima perlakuan kasar dari pria itu, tubuh nya sudah kebal akan setiap pukulan.
Sabrina yang tengah berjalan dengan pandangan kosong ke depan, tiba-tiba saja di kagetkan dengan seseorang yang menepuk pundak nya. Membuat dia refleks melayangakn tangan nya, memukul si pelaku tersebut.
"Wuisss santai dong!" tangan Sabrina dengan sigap di tangkap oleh orang tersebut.
Pandangan Sabrina langsung saja bertemu dengan orang tersebut, yang tak lain adalah Gevan. Dengan sekali hentakan dia melepaskan tangan nya dari Gevan. "Ck, ngapain sig lo?! Gak ada kerjaan banget ngagetin gue!!" Semprot Sabrina.
Gevan mendengus, "Siapa yang ngagetin lo! Orang gue nepuk nya pelan. Emang dasar elo aja yang ngelamun." balas nyantak kalah ketus.
Mata Gevan tidak sengaja menatap luka lebam di sudut bibir Sabrina. Entah dorongan darimama tangan nya terangkat dan menyentuh lembut lebam tersebut.
Sabrina spontan meringis dan menahan tangan Gevan. "Ini kenapa? Lo berantem lagi?" Tanya Geban menatap Sabrina.
Sabrina terdiam, terkunci oleh pandangan Gevan yang begitu lembut menatap nya. Hanya selang beberapa detik, sebelum dia menepis tangan cowok itu.
"Ck, bukan urusan lo!" Ketus Sabrina.
Gevan mendesah, "Ya udah, gue cuman nanya. Sebenarnya gue udah gak heran sih sama lebam kayak gitu, lo kan emang urakan kerjaan berantem mulu."
Sabrina tidak menanggapi sindiran Gevan, dia justru kembali melanjutkan langkah nya. Namun, belum sempat dia beranjak Gevan kembali menahan tangan nya.
"Mau kemana lo?" Tanya Gevan.
Sabrina menatap dingin pada Gevan, tidak menjawab pertanyaan tersebut.
"Sa!"
"Apa sih?! Ke bengkel!! Ngambil mobil!!" Suara sabrima meninggi.
"Ya santai dong, ngegas banget jawab nya. Gue ikut ya."
"Ngapain lo ikut? Sana ah kembali ke habitat lo!!"
"Ck, mobil gue mogok Sa, tuh gak jauh dari rumah lo."
Sabrina menatap mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari posisi rumah nya. "Hebat ya mobil lo mogok milih tempat."
"Ya---ya mana gue tau kalau dia mau nya mogok di situ." Balas Gevan, seraya menggaruk kepala belakang nya yang tidak gatal. Merasa terintimidasi dengan tatapam elang mata Sabrina.
"Kata nya tadi mau ke bengkel. Ya udah ayok!" Gevan meraih tangan Sabrina, menarik gadis itu agar beranjak dari tempat nya berdiri.
Gevan melirik Sabrina yang berjalan di samping nya dengan pandangan lurus ke depan. Sebenarnya mobil dia tidak mogok, dia hanya mencari alasan agar bisa ikut dengan gadis ini. Dia juga mendengar pertengkaran Sabrina dengan pria paruh baya yang dia yakini adalah ayah kandung Sabrina. Di juga tau, lebam itu di peroleh Sabrina dari tamparan pria tersebut.
Seberapa keras sih hidup cewek di samping nya ini? Tak jarang, Gevan melihat Sabrina ke kampus dengan wajah babak belur.