chapter 3

2238 Words
Sore itu aku di rumah, sedang mendengarkaan lagu linger dari cranberries dan mengerjakan tugas tugas akhir. Adam sempat mengirimkan pesan kepadaku bahwa dia mau menjemput temannya untuk belajar kelompok. Terus aku bilang "kenapa temenmu gak bawa motor sendiri sih, kok kamu yang jemput?" dia bialng "ia dia cewe gak bisa naek motor yank..,mamanya tadi telpon ke aku soalnya". "oke deh hati hati di jalan, kabari kalo uda sampe ya yank" balasku. Namun setelah jm 17.45 ada telpon masuk dari mamanya adam. Aku pikir ada apa mamanya telpon sore sore gini. Aku angkatlah telponku lalu.. "dea..dea..Adam di rumah sakit dea" kata mamanya "loo... bukannya lagi kerja kelompok tante... tadi dia bilangnya" "ia.. dalam perjalanan mau jemput temennya adam kecelakaan sama bis, kritis di rumah sakit" sahut mamanya.   Sontak aku langsung loncat dari kasur dan pamit ke mamaku. Ma Adam kecelakaan aku mau ke rumah sakit. Mamaku pun kaget dan hanya berpesan hati hati. Sesampainya di rumah sakit aku melihat dia sudah terbaring di kasuh bersimbah darah, Dari kepalanya banyak darah namun dia masih membuka mata. Dia mencoba mengingat semua teman teman kelasnya. Seperti sedang mengabsen semua teman di kelasnya. Aku hanya melihatnya dari luar pintu sambil mengis. Aku tak tega melihatnya seperti itu. namun di saat terakhir dia menyebutkan namaku berulang ulang "dea..dea..dea". Tak kuasa menahan air mata mamanya Adam memelukku dengan erat. Sambil kami menunggu dokter dan perawat melakukan tindkan. Semua satu persatu keluarga Adam pun datang ke rumah sakit. Aku menangis dan terduduk di ruang tunggu, sambil membaca doa semoga dia selamat dan sehat. NAmun hal yang ku takutkan terjadi. Dokter keluar dari ruangan dan mengatakan bahwa Adam telah tiada. Aku pun menangis sejadi jadinya. Kenapa semua begitu membingungkan aku masih tidak percaya karena 2 jam sebelum kecelakaan dia sempat mengirimiku pesan. Aku merasa Adam masih ada. Dia hanya tidur. Tidak hanya aku yang tidak percaya, semua keluarganya pun tidak percaya bahwa adam telah tiada.  Hari itu aku pulang di antarkan kakak sepupu adam. Rencana pemakamannya pun akan di lakukan besok pagi. Sesampainya di rumah aku pun sudah tidak nafsu makan. Aku terus melihat handphoneku dan melihat foto foto kami. melihat pesan terakhir kami. Aku hanya berharap ini semua mimpi. Aku tidak tai kenapa aku benar benar terpuruk hingga mamaku menemaniku tidur malam itu. Keesokan harinya aku dan mamaku datang ke rumah adam. Air mata semalam tidak bisa terhenti. Kembali aku melihat dia yang sudah terbujur kaku dengan kain kafan putih. Aku mengantarkan kepergiannya ke pemakaman. Sambil aku terduduk di atas batu nisan adam hanya menagis dan mengelus batu nisannya.  Sesampainya di rumah aku tetap menagis kenapa secepat ini kamu pergi meninggalkan aku adam, bukannya kamu janji akan masuk di universitas yang sama denganku. Menjemput dan mengantarku pulang sekolah. Karena kurang 4 bulan lagi aku lulus. Kamu janji mau jalan jalan beli es krim minggu depan. Mengingat ingat hal itu hatiku sakit. Aku tidak mau sekolah, Aku ijin selama 5 hari karena aku juga sakit. Lalu aku menulis surat di halam sss mu : Dear Adam sayangku cintaku.. Kamu kemana? kenapa kamu gak kerumahku lagi mamaku mencarimu. Aku mau curhat masalahku. Kamu kalau kerumah bawa es krim ya.. yang vanila seperti biasanya. Adam sayang kamu sudah makan kah?  mamaku bikin cumi saos hitam kesukaanmu. Sayang kamu kok gak telpon sama sms aku lagi.? Aku kangen kamu.. aku kagen pengen cubit pipimu. Sayang kamu loo janji mau masuk kampus yang sama sama aku. Kamu janji nanati mau dateng kalo upacara kelulusanku. Kamu kok gak jadi dateng terus aku giamana donk?, Mau ada acara band lagi loo sayang aku gak mau nyanyi lagi. Aku gak suka nyanyi kalo kamu gak ada. Sayang aku kangen kamu mampir gih di mimpiku aku pgn ketemu kamu pengen banget... Aku tidak mengikhlaskan Adam pergi namun aku juga tidak bisa hanya diam terpaku karena jalanku masih panjang. Sudah 5 tahun kepergian Adam semua masih terasa dekat. Namun aku masih menutup hatiku dengan orang lain. aku belum siap untuk bersama yang lain. Aku menguatkan imanku dan terus berusaha kuat menghadapi kenyataan. Aku dan mamanya adam juga masih sering bertukar pesan. Aku akhirnya berani menyanyi kembali. dan lagu Linger dari Cranberries aku persembahkan untuk Adam. Semoga kamu tenang di sana dam.. Kami semua mencintaimu terutama Aku... (nama tokoh di samarkan) bantu doa untuk semua teman, keluarga yang kita cintai yang telah pergi meninggalkan kita terlebih dulu. Al Fatihah... Cincin Pertunangan Karya  : Tati Kartini Sayup terdengar suara nenek, membangunkan.  "Santi, bangun sayang… kita berangkat pagi ya, jadi ikut nenek ke hutan?" Aku tertidur lelap sesampai di rumah nenekku untuk berlibur, malam tadi.  "Iya nek jadi donk kangen pengen liat pemandangan alam." Jawabku sambil melempar selimut dan tergesa melangkah ke kamar mandi.  Sudah lama aku tidak pulang ke kampungku di Sumatera barat, kampungku yang indah dengan pemandangan alamnya.  Kesempatan liburan inilah aku pergunakan untuk pulang kampung sekalian menjenguk nenekku. "Kita bawa bekal untuk makan siang ya, supaya tak lapar nanti di hutan." Ucap nenek sambil terus memasukan bekal siang ke dalam rantang.  "ya nek makan di hutan pasti nikmat, ada saung nya ya nek?." Jawabku. "Ada yang dulu dibuat oleh kakek, nenek merawatnya dengan baik agar nyaman untuk beristirahat, kamu bisa duduk menikmati pemandangan dari saung. Tak sabar aku ingin segera sampai di hutan, terbayang keindahan pemandangan alam di tepi hutan perbukitan.  "yuk, nek aku sudah siap kita berangkat." Pintaku pada nenek  "Iya selagi masih pagi udara masih sejuk." Nenek pun menimpal.  Tidak sampai satu jam berjalan sudah berada di tepi hutan. Aku tertegun menatap indahnya pemandangan. "Jangan berhenti dulu, kita naik ke atas  sedikit lagi, diatas pemandangannya lebih indah." "Oke, hayu nek aku sudah tak sabar lagi." ***** Tak lama berjalan sampailah di ladang nenek, di pinggir perbukitan  banyak tumbuh2an tanaman nenek, nenek berkeliling untuk memeriksanya, sementara aku asyik dengan ponsel mengabadikan pemandangan nya. Setelah puas memotret, aku bersandar menikmati sepoi sejuk angin perbukitan, memandangi daun daun yang bergoyang. Sayup aku bernyanyi, kupandangi daun waru yang melambai tertiup angin, melayang jatuh tepat di sisiku.  "hei ...jangan melamun." tiba-tiba seorang pemuda tampan menyapaku. "kau, kau ...siapa? Aku menjawab dengan terkejut.  'Aneh, kenapa tiba tiba ada dia disini?' hatiku berkata.  "siapa kamu." tanyaku berusaha biasa, tak ingin terlihat gugup.  "kamu lama pergi,lupa padaku? Aku kekasihmu Riyan, lihat! Ini cincin pertunangan kita,ada namamu disini."  Dia menaruh cincin di telapak tanganku dan menggenggam utk beberapa saat dengan sorot mata yang tajam penuh kerinduan.  Kuperhatikan cincin polos indah itu, tertulis nama Ratih.  Kepala seakan berdenyut, semakin bingung.  Ratih teman sekolahku, kenapa namanya ada pada cincin ini?  "Riyan, aku bukan Ratih dia …" Kata-kata ku tersekat, tak lanjut bicara. Aku melihat sekitar… kemana dia? Mengapa tiba-tiba menghilang?  "Riyaaannn!" Setengah berteriak aku memanggil,panik. Sebuah elusan dingin pada tengkuk menambah rasa panik aku. "Duh, nenek bikin aku kaget." Aku terdiam sejenak masih mengingat kejadian tadi,begitu nyata 'tak mungkin itu mimpi' kata hatiku.  "Nek lihat pemuda berkemeja putih?Tampan wajahnya." Aku bertanya pada nenek dengan penasaran. "Dari pagi kita cuma berdua, tak ada orang datang kesini.  Mungkin kamu mimpi San, kamu tertidur nyenyak nenek tak tega membangunkan, Yuuukkk ...pulang hari mulai petang.  Aneh cincin ini ada di genggaman, aku tak berani bilang pada nenek, nanti saja di rumah akan ku ceritakan. ***** Berjalan berdua tanpa ber kata-kata, di keheningan senja tibalah kembali di rumah nenek. "cantik, mandi sayang biar segar nenek lihat dari tadi kamu murung, kapok ya main ke hutan." "Gak nek, santi seneng di hutan indah pemandangannya."  Aku menjawab sekenanya sambil melangkah ke kamar mandi.  Air mengguyur tubuhku terasa menyegarkan. Perasaan masih kalut penuh tanda tanya. 'bagaimana bisa cincin ini nyata, bukan sebuah mimpi,aku harus bagaimana?' Tiba-tiba terfikir untuk menghubungi Ratih by phone,bergegas aku keluar kamar mandi menuju ke kamar tidur untuk berganti pakaian,hari hampir malam. Kunyalakan lampu kamar terlihat jelas cincin yang tadi kusimpan diatas meja rias, tergeletak jelas.  Kembali cincin ku genggam, sambil kuraih ponselku yang kutaruh di dekatnya. Aku mulai mencari nama temanku Ratih, pada ponselku.  Agak lama mencarinya, sudah lama tak saling berkabar sehubungan kesibukan masing masing.  "Halo… " kusapa Ratih setelah nomor tersambung.  " ini aku Santi, apa kabarmu Ratih? sudah lama kita tak jumpa, aku baru kemarin tiba di rumah nenek, untuk berlibur disini dan menjenguk nenek. "Santi kebetulan kamu datang, aku kangen kamu San, besok pagi aku ke rumah nenek kamu ya." Suara Ratih terdengar parau.  "Oke datanglah besok pagi aku tunggu ya." Aku menyetujui bertemu Ratih besok pagi.  ***** Keesokan hari tanpa menunggu terlalu lama Ratih muncul dengan wajah yang kusut, terlihat kurus dan sayu, aku betul-betul pangling.  "Ratih kamu kenapa kelihatan pucat, sakit ya?" Aku tak sabar menunggu jawaban Ratih.  Alih-alih bicara Ratih malah menghambur ke pelukan ku, menangis tersedu.  "Ratih tolong di jawab, kamu kenapa? apa yang terjadi pada mu?" Perlahan Ratih mulai bicara tanpa melepaskan pelukannya dariku. "Aku lagi berkabung, Riyan calon suamiku meninggal dunia, ini adalah hari ketujuh wafatnya." Seperti disambar petir aku terkejut bukan kepalang.  Kupeluk Ratih lebih erat lagi.  "Tenangkan dirimu, ceritakan padaku bagaimana semua ini bisa terjadi, untuk mengurangi beban perasaanmu." Perlahan Ratih mulai bisa menguasai perasaannya dan mulailah dengan ceritanya.  "Setahun lalu aku mengenal Riyan pria tampan dan baik hati, kami berkenalan di medsos, intens berhubungan melalui medsos, ber telpon dan video call. Lebih kurang setahun berjalan mulus,menyenangkan. Kami berjanji untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Hingga datanglah Riyan seminggu yang lalu menjumpaiku, bermaksud melamarku. Rian pun mengutarakan maksudnya pada ayahku, tanpa diduga-duga ternyata ayahku menolak dan sangat marah mendengar permohonan lamaran dari Riyan,ayah tidak yakin hubungan yang berawal dari medsos bisa menjadi pasangan hidup yang baik. Dengan hati hancur Riyan pulang ke kotanya, tak kalah hancurnya hatiku mendengar berita pesawat yang ditumpanginya jatuh di tebing perbukitan hutan itu, semua korban tidak ada yang selamat." Bak disambar petir mendengar penuturan Ratih, walaupun begitu aku berusaha untuk tetap tenang.  Aku bicara perlahan, tersendat.  "Innalillahi wainnailaihi rojiun, sabar ya Ratih ikhlaskan, banyak-banyaklah kirim doa untuknya. Aku turut berduka cita." Ratih mengangguk perlahan, terlihat mulai tenang. "lihatlah Riyan titip cincin ini untukmu, dia sangat mencintaimu Ratih." Aku serahkan cincin yang sedari tadi sudah kusiapkan. Dengan terheran-heran Ratih menerima cincin yang bertuliskan namanya.  "Apa kalian saling mengenal?" Ratih bertanya seakan tak sabar menunggu jawaban. Aku hanya mengangguk perlahan.  Tidak mungkin aku harus menceritakan bahwa cincin itu di beri Riyan di tepi hutan dekat tebing perbukitan.  Malam sudah cukup larut, sepulang nya Ratih, dipembaringan aku tercenung, memikirkan seluruh kejadian hari ini.  Hari semakin malam, mataku mulai berat menahan kantuk. Antara sadar dan tidak kulihat di depan pintu bayangan Riyan tersenyum bahagia.  "Selamat jalan Riyan,tenanglah kau di alam sana." Jakarta,   Seorang pria muda berperawakan tinggi besar memakai rompi berbordir lambang suatu majelis dakwah terlihat duduk untuk minum air mineral dari botol kemasan. Melepas penat setelah mengantar dengan selamat seorang Habib yang tadi pagi mengisi kajian di masjid, menuju ke mobilnya. Mobil itu akan membawa Habib beserta keluarganya dan beberapa panitia ke hotel untuk istirahat. Nanti sore setelah shalat Ashar, Habib harus mengisi kajian kembali di masjid yang berbeda, namun masih satu kota. Saat ia menandaskan setengah isi botol untuk membasahi kerongkongannya, perhatiannya tiba-tiba tertuju kepada seorang kakek yang tergugu di atas becak. Pria yang bernama Harits itu mendekati si kakek. Bahu bapak tua itu terlihat berguncang, air mata meleleh membasahi kulitnya yang coklat dan keriput. Dengan hati-hati Harits menyapanya, “Assalamu’alaikum, Kek.” Kakek itu mengangkat wajahnya yang sembab, lalu menyeka lelehan air mata dengan punggung telapak tangan. “Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawabnya sambil mencoba menyunggingkan senyum. “Maaf, Kek. Apa yang bisa saya bantu? Saya panitia masjid ini,” ujar Harits. Kakek terlihat semringah, “Benarkah?” Harits mengangguk, kakek itu melanjutkan kalimatnya, “kalau begitu kamu bisa bantu saya. Kasih tahu saya, mobil Habib tadi membawanya ke mana?” Harits tampak mengerutkan dahi, “Ke hotel,” jawabnya singkat. “Hotel apa? Saya mau ke sana sekarang,” tanya kakek itu lagi. “Maaf, Kek, saya tidak bisa memberi tahukan informasinya. Karena demi keamanan Habib dan keluarganya. Kakek tahu sendiri, kalau ada sekelompok orang yang tidak suka dengan Habib dan membuat huru-hara untuk membubarkan pengajian. Alhamdulillah tadi ada bantuan dari aparat yang ikut mengawal, jadi pengajian tetap bisa digelar.” “Jangan kuatir, Nak. Saya tidak akan mencelakakan Habib. Saya cuma ingin mencium tangannya saja. Tadi saya tidak sempat bersalaman dengan Habib. Kalah sama dengan anak-anak muda yang mengerumuni Habib. Apa daya, kakek ini badannya sudah ringkih.” Harits terlihat mengulas senyum, “Nanti sore lepas Ashar, Habib mau mengisi kajian lagi di Masjid Al Huda. Bapak bisa bertemu lagi dengan Habib di sana.” “Masjid Al Huda itu di mana?” tanya si kakek, Harits kemudian memberitahukan alamatnya. “Terima kasih, Nak. Kakek harus segera berangkat ke Masjid Al Huda, supaya dapat shaf yang paling depan, biar bisa ketemu Habib. Tadi pagi tidak bisa dapat shaf depan, karena kesiangan sampainya ke sini. Padahal Kakek sudah berangkat dari jam dua. Besok-besok berangkat Isya saja, supaya bisa bermalam di masjid, dan tidak ketinggalan pengajian,” ujarnya. Harits terperenyak, “Kakek berangkat dari mana?” Si kakek menjelaskan kalau ia berangkat dari sebuah desa, masuk wilayah kabupaten di luar kota yang Harits tempati. Kakek berangkat mengayuh becak tuanya dari rumah sampai ke masjid tempat kajian Habib yang ingin ditemuinya digelar. “Masyaa Allah, Kek, jauh sekali,” ucap Harits sambil menatap haru si kakek. “Tidak mengapa, Kakek sudah biasa. Kakek sehari-hari kerjanya narik becak. Kakek juga tidak punya kendaraan lain, jadi ya ke sini pakai becak saja,” ujar kakek itu sambil tersenyum, membuat guratan halus di sekitar sudut netranya semakin dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD