Aku terdiam di tempatku. Sepertinya aku harus mengingat perkataan Gabe untuk diam saja. Tetapi entah mengapa sedikit hatiku tergerak untuk merasa terluka. Kami memang tidak menikah karena cinta. Aku pun yakin jika yang ada di dalam pikiran Gabe saat ia melamarku adalah aku hanya seorang perempuan yang bisa di beli dengan uang. Namun aku adalah istrinya sekarang. Bukankah seharusnya Gabe juga menjaga perasaanku?
“Sayang, tamu masih banyak.” Seorang pria tiba-tiba saja datang menghampiri wanita yang tengah memeluk suamiku. Apa dia suami dari wanita itu? Kenapa ia tak terlihat kesal? Apa kehidupan pernikahan orang dari kalangan atas memang segila ini?
Wanita yang dipanggil sayang oleh pria itu melepas pelukannya. Air matanya masih tersisa di pelupuk matanya. Aku melihat sendiri, tangan Gabe bergerak untuk menghapus air mata wanita itu. Namun akhirnya tangan Gabe terhenti dan menggantung di udara saat pria yang menghampiri wanita itu menggerakan tangannya lebih cepat dari pada Gabe.
“Bisa-bisanya lo bikin adek lo nangis di hari pernikahannya.” Pria itu berujar ketus dan sedikit menatap sinis ke arah Gabe.
Apa dia bilang tadi? Adik? Apa wanita itu adik dari Gabe?
Aku melihat tubuh Gabe yang seolah menegang sebelum ia membalikan tubuhnya itu dan kembali melingkarkan tangannya dipinggangku. Gabe membawa tubuhku mendekat ke pasangan pengantin itu.
“Kenalin. Ini … istri Abang,” ujar Gabe. Aku menangkap jelas jeda di dalam kalimatnya.
Jadi … wanita tadi benar-benar adiknya? Sebenarnya, apa yang sedang terjadi sekarang?
“Abang nikah sama dia?” Wanita itu tampak terkejut. “Kapan? Dimana? Kok aku enggak tau? Bukan! Kok kami semua enggak tau? Ada apa, Bang?”
Aku mendengar Gabe menarik napasnya dalam dan menghembuskannya kasar sebelum menjawab pertanyaan adiknya itu. “Kita juga baru nikah. Tadi pagi. Iya kan, sayang?”
Aku yang terkejut hanya bisa menganggukan kepalaku kaku.
“Abang nikah di hari yang sama dengan aku tanpa bilang sama keluarga yang lain?!” Wanita itu menaikkan nada bicaranya hingga pria yang aku yakini sebagai suaminya itu berusaha untuk menenangkannya. “Kenapa? Ada apa sebenernya, Bang?”
Gabe melepas kembali tangannya dariku dan menarik adiknya. Ia membisikan sesuatu pada adiknya itu. Jelas aku tidak bisa mendengarnya karena bisik-bisik tamu undangan yang lain memekakan telingaku.
Wanita itu menutup mulutnya dan tatapannya melembut ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum canggung dan sedikit menundukan kepala.
“Ayo, ayo, semuanya. Silahkan nikmati lagi pestanya. Maaf ada sedikit drama.” Wanita itu berujar setelah selesai berbicara dengan Gabe dan tertawa tidak enak kepada tamu undangannya.
“Aku Skylar.” Wanita itu menghampiriku dan menyodorkan tangannya untuk aku jabat. Aku pun menjabatnya. “Ini suami aku, namanya Claude.”
“Kamu sapa kakak ipar dong, sayang!” Wanita itu menegur suaminya sebelum akhirnya suaminya menyalamiku dan mengenalkan dirinya.
“Kakak harus jaga kandungan Kakak baik-baik, oke?” Wanita bernama Skylar itu tersenyum lembut ke arahku. “Aku mau sapa tamu yang lainnya. Silahkan nikmatin acaranya, ya.”
“Kamu ngomong apa sama adik kamu tentang saya?!” Selepas kepergian Skylar dan suaminya. Aku menarik Gabe ke luar, ke tempat yang lebih sepi dan bertanya padanya.
“Saya enggak tau harus bilang apa.” Gabe mengusap wajahnya kasar.
“Kalo orang tua kamu nganggap itu serius gimana?! Kamu emang enggak mikir sampe sana?!” Aku bersedekap. Bisa-bisanya Gabe berbicara tanpa berpikir seperti itu.
“Kita tinggal buat aja, kan?” tanyanya enteng.
Aku yakin Gabe melihat pupilku yang bergetar saat mendengarnya berbicara tidak masuk akal seperti itu.
“Kamu mau mengeksploitasi saya?!” Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. “Kamu nikahin saya mendadak dan sekarang kamu bilang mau buat anak sama saya? Gila!”
“Apa yang salah? Kita suami istri, kan?” Otakku semakin membeku mendengar Gabe berujar seperti itu.
“Tapi kita enggak saling cinta! Saya ngelakuin itu ka—”
“Anggap aja kita friends with benefit. Kamu dapet uang saya. Say—”
“Saya dapet uang kamu dan kamu dapet semuanya dari saya, gitu? Kamu pikir itu adil?!” Aku benar-benar marah. Bukan tentang uang yang aku bicarakan. Tapi bagaimana bisa seseorang berpikir seperti itu? Bagaimana bisa ia seolah membayarku untuk melakukan semuanya?! “Saya enggak mau!”
Aku memutuskan untuk meninggalkan Gabe yang terdengar sangat kacau. Tetapi, apa yang sebenarnya membuat suamiku itu kacau? Kenapa ia bertindak segila itu?
“Saya mau bicara sama kamu. Ikut saya.” Wanita tua yang tadi hendak membawa Gabe tiba-tiba muncul dan memintaku untuk mengikutinya. Aku pun menurut sejak aku tak punya tujuan untuk kembali ke dalam.
“Ada hubungan apa kamu sama cucu saya?” Wanita tua itu berhenti melangkah. Membalikan tubuhnya dan menatapku dengan sinis.
Bagaimana sekarang? Aku harus jawab apa?
“Kenapa kamu diam?” Wanita tua itu kembali berbicara. “Kamu enggak tau siapa saya? Beraninya kamu diam waktu saya tanya!”
Aku menundukan kepalaku. Apa seharusnya aku tak mengikuti wanita tua itu?
“Liat saya kalo saya lagi bicara!” Wanita tua itu memegang bahuku dan sedikit meremasnya. Aku merasakan perih yang mulai menjalar di bahuku namun aku menahannya.
“Saya Bulan. Saya is—”
“Oma ngapain sama istri aku?” Gabe tiba-tiba saja datang dan melepas pegangan tangan neneknya itu dari bahuku.
“Oma enggak ngapa-ngapain, sayang. Cuma mau kenalan aja.” Wanita tua itu tersenyum ke arah Gabe. “Tadi Oma enggak sengaja denger waktu kamu lagi bicara sama Sky. Apa Mami dan Papi kamu udah tau soal ini?”
“Mami sama Papi belum tau. Aku belum ketemu mereka.” Gabe berdiri tepat disampingku. “Sekarang, aku dan Bulan mau cari Mami Papi.”
“Kamu belum kenalin dia sama Oma.” Ucapan wanita tua itu menghentikan langkah kaki kami yang hendak meninggalkannya. “Dia dari keluarga mana? Apa nama perusahaan orang tuanya?”
Nyaliku benar-benar ciut saat wanita tua itu menanyakan statusku. Bagaimana jika ia tahu kalau aku ini adalah seorang penari striptis? Aku harus benar-benar menjaga identitas asliku.
“Namanya Bulan,” jawab Gabe. “Ayahnya pengusaha tambang di Kalimantan.”
Apa yang Gabe katakan?! Dasar pria gila!
“Siapa nama keluarganya?” tanya wanita tua itu lagi.
“Oma enggak perlu tau.” Selesai berbicara, Gabe menggiringku menjauh dari neneknya itu dan tak berniat untuk menghentikan langkah kakinya sama sekali.
Sepertinya malam ini kami benar-benar mendapatkan masalah.
*****
Bugh.
Sebuah bogem mentah melayang di dekat sudut bibir suamiku. Seorang pria paruh baya yang ku ketahui sebagai ayah dari Gabe, melayangkan tinjunya. Aku dan keluarga Gabe tengah berada di sebuah kamar hotel yang disewa untuk beristirahat.
“Kenapa kamu lakuin kesalahan yang sama?!” Suaranya terdengar benar-benar murka saat ia berbicara pada Gabe.
“Maaf, Pi. Aku tau aku salah.” Gabe menundukan kepalanya.
Ku rasa suamiku sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. Untuk apa ia minta maaf dan mengakui kesalahan yang bahkan tidak terjadi?
“Apa Papi pernah didik kamu untuk berbuat seperti itu?! Papi kecewa sama kamu.” Ayah Gabe yang ku ketahui dipanggil dengan sebutan Papi Sean itu menyugar kasar rambutnya sementara Mami Lea, ibu dari Gabe, kini tengah menangis dan berusaha untuk ditenangkan oleh Skylar.
Papi Sean hendak meninju Gabe lagi namun aku cepat-cepat bersujud di kakinya. Hati nuraniku masih tergerak untuk membantu Gabe. Aku sempat melihat tatapan Gabe yang seolah melarangku untuk berbuat sesuatu. Namun aku mengabaikannya.
“Saya mohon. Tolong jangan pukul dia lagi. Itu salah kami berdua.” Aku bersujud di bawah kaki Papi Sean. Gabe harus membayarku karena telah melakukan ini untuknya.
“Bangun, sayang.” Suara Mami Lea terdengar tepat di sebelahku. Ia hendak membantuku untuk berdiri namun aku menolaknya.
“Saya tidak akan bangun sebelum Bapak berjanji untuk tidak memukul suami saya lagi.” Aku berujar dengan lantang.
“Pi … jangan. Udah cukup.” Suara Mami Lea terdengar berusaha membujuk suaminya.
Tiba-tiba saja aku merasakan kehangatan yang menjalar saat dua buah tangan memegang bahuku. Papi Sean ternyata berjongkok di depanku.
“Maafkan kami dan putra kami, Nak,” ujarnya saat aku menatap tepat ke manik matanya.
“Tolong maafkan kami karena tidak bisa mendidik putra kami.” Kini Mami Lea yang berujar.
Gabe benar-benar kelewatan! Ia membuat kedua orang tuanya menjadi seperti ini.
Aku akhirnya menganggukan kepalaku sebagai jawaban. Papi Sean melepaskan kedua tangannya dari bahuku saat Mami Lea membawaku masuk ke dalam pelukannya.
Jadi, ini rasanya dipeluk oleh seorang ibu?
*****