Malam itu Sean menemani Shiela di kamarnya. Karena terlalu lelah dia tertidur di sofa dan baru bangun ketika mendengar suara gemericik air. Sean merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku karena tidur di sofa sambil menunggu Shiela keluar dari kamar mandi. Namun setelah menunggu cukup lama, Sean mulai khawatir karena wanita itu tidak keluar.
"Shiel..Shiel..."panggil Sean sambil mengetuk pintu kamar mandi.
"Hikss..hiks.." terdengar suara tangisan dari dalam. Diputar kenop pintu yang ternyata tidak terkunci. Sean menyalakan lampu utama dan terlihat Shiela tengah terduduk di tepi bathup dan menangis.
Sean ikut duduk disampingnya dan memeluk Shiela. Dibiarkan Shiela menangis hingga emosinya cukup stabil. Sean mengambil selembar tissue dan diberikan kepada kekasihnya. "Ada apa Shiel?"
"Hikss...aku..aku...takut Sean."
"Apa yang kamu takutkan?"
"Aku takut tidak dapat sembuh...dan..dan...aku takut.." tak kuasa menahan tangisnya lagi. "Aku barusan bermimpi. Sangat menakutkan. aku melihat diriku sendiri, seakan akan jiwaku keluar dari tubuhku. Dan aku melihat papi, mami menangis disamping tubuhku. aku..." ditariknya napas panjang sebelum menyelesaikan kalimatnya "Aku tidak melihat kamu... "
Sean hanya bisa memeluk Shiela, hanya itu yang bisa dilakukannya sekarang. Hatinya terluka melihat wanita yang dicintainya menangis seperti ini sementara dia tidak bisa berbuat apa apa.
"Shiela....aku mengerti perasaan kamu. Sungguh. Maafkan aku tidak membantu menyembungkan penyakit ini. Aku hanya bisa memberikan pundak ini sebagai tempat kamu menangis, telinga ini untuk mendengar keluh kesah kamu, mata ini untuk dapat memberikan ketenangan dihatimu, tangan ini untuk mengusap air matamu, dan hati ini sepenuhnya untuk kau cintai." ucapnya dengan penuh perasaan dan mengecup kening Shiela.
Shiela menggelengkan kepalanya, "Kamu sudah memberikan lebih dari cukup Sean. Bahkan sepertinya aku tidak pantas untukmu."
Diangkat dagu Shiela dan menatap kedua matanya. Lalu Sean mendekatkan bibirnya, menyentuh bibir Shiela dan mengecupnya. Ciuman penuh cinta yang mereka rasakan saat itu enggan unttuk diakhir. Pangutan demi pangutan kini merasuk segenap jiwa keduanya, bersatu walau hanya melalui sebuah ciuman.
"Shiela..."bisik Sean disela sela ciuman mereka. "Menikahlah denganku"
Shiela terkejut sekaligus bahagia, dia melepas ciuman mereka dan menatap Sean dalam dalam. Tidak percaya dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sean.
Pikirannya melayang jauh, kekhawatiran yang telah mengusik dirinya belakangan ini membuat Shiela ragu untuk menjawab ajakan Sean. "Bagaimana jika aku dipanggil oleh Tuhan? Bagaimana pria ini jika aku sudah tidak bisa menemaninya?" batin Shiela.
"Aku...Sean....maukah kamu menungguku hingga aku dapat melawan penyakitku ini?"
"Aku akan menunggumu Shiela. Tak bosan dan lelah diri ini menunggu karena kamu adalah satu satunya wanita yang memegang kunci hatiku" ucap Sean terdengar indah di telinga Shiela. Dia menggenggam tangan Shiela dan membawanya menyentuh wajahnya. Kembali mereka bertaut dalam ciuman yang memabukkan itu.
Setelah selesai sarapan, Sean sengaja mengajak Shiela berjalan jalan ke taman. Selain mencari udara segar, Shiela juga membutuhkan sinar matahari sesuai anjuran Dokter.
Shiela dipaksa oleh Sean untuk menggunakan kursi roda, dengan muka masam dia duduk sambil didorong oleh Sean. Gimana tidak terpaksa, pilihannya adalah kursi roda atau digendong Sean. Tentu saja dia pilih kursi roda. Terbayang betapa memalukan jika Sean benar benar menggendongnya.
Sean hanya tersenyum melihat muka masam Shiela yang sedang merajuk Sesampainya di taman, mereka duduk di kursi yang disediakan. Ternyata tidak hanya mereka yang sedang disana, ada beberapa anak kecil bermain di area bermain yang tersedia, dan ada sepasang lanjut usia yang sedang duduk santai juga.
Mereka duduk dan tidak banyak bicara, masing masing bermain dengan pikiran mereka sendiri. Shiela kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Sean.
"Terima kasih sudah mau menungguku Sean."
"Apapun kulakukan untuk memilikimu sayang...."sekali lagi diciumnya kepala Shiela dan memeluknya.
Sementara itu, sebelumnya Tina sudah diberitahu oleh Sean kalau nanti akan ada Joni dan Amy yang datang berkunjung. Itulah salah satu alasan Sean mengajak Shiela untuk ke taman, padahal kalau mau berjemur di teras apartmen juga bisa karena apartmen mereka menghadap timur.
Bukan hanya Joni dan Amy yang akan datang, Handoko juga sedang dalam perjalan ke Singapura. "Weekend ini akan ramai serpertinya." batin Tina sambil tersenyum.
Dilihat pesan yang masuk di smart phone Sean. Tante Tina mengirimkan foto Joni dan Amy di dalam apartmen, artinya mereka sudah waktunya Sean mengajak Shiela pulang. "Balik yuk, sudah panas." ajak Sean. kemudian dia memapah Shiela ke kursi roda dan perlahan mendorongnya menuju lift.
Ketika Tina membuka pintu apartmen tetiba terdengar seruan "SURPRISE!!!" Joni dan Amy dengan senyum lebar menyambut mereka. Shiela terkejut dan sangat senang sekali. Tanpa dibantu, ia langsung berdiri dan berjalan cepat kearah mereka berdua. "Amy...Joni.....lo pada disini." ujar Shiela dengan senyum lebar. Sean dan Tina tersenyum melihat kelakuan mereka yang tengah berpelukan seperti anak kecil.
Suasana apartemen yang biasanya hening kini menjadi ramai seketika. Mereka saling berebut bicara. Siapa lagi? Joni dan Amy dari dulu memang heboh. Tapi itulah yang disukai Shiela, terbuka dan blak blakan. Tidak suka dibilang tidak suka, hal ini lah yang membuat persahabatan mereka bertahan sampai sekarang.
Setelah saling bertukar cerita, Tina meminta mereka untuk makan karena dia sudah menyiapkan menu special, Tim akan kerapu, brokoli dengan bawang putih, tak ketinggalan sup jagung. Semua menu sudah disesuaikan dengan kondisi Shiela.
Awalnya Shiela tidak mau disuruh istirahat oleh Tina. Tapi ketika melihat kedua mata Handoko yang menandakan tidak ingin dibantah, terpaksa dia menuruti maminya dan masuk ke kamar. Sean, Amy dan Joni masih ngobrol di ruang tamu, sementara Handoko dan Tina turun ke supermarket membeli persediaan makanan yang sudah mulai menipis.
"Mam..."panggil Handoko sambil mendorong trolly supermarket.
"Yes"
"Mattew menanyakan tentang golongan darah kita yang berbeda dengan Shiela."ujarnya.
Tina menghentikan langkahnya lalu memutar tubuh menghadap suaminya "Lalu?"
"Aku belum jawab. Bingung mau jawab apa. Kalau aku bilang memang golongan darah kita berbeda dengan Shiela, pasti akan ada pertanyaan lanjutan. Kamu tahu kan lanjutannya apa." Handoko menarik napas panjang "Kalau aku bilang salah tulis, nanti jika memang benar benar Shiela membutuhkan donor darah bagiamana?"
"Hm...nanti kita pikirkan jalan keluarnya. Aku tidak mau Shiela tahu hal ini pap. Mengerti?" tegas Tina.
Handoko hanya mendengus kesal dengan jawaban istrinya. Dia butuh jawaban, bukan ancaman. "Aku juga tidak mau Shiela tahu hal ini." ujarnya sambil berjalan menjauhi istrinya.
Sementara itu, di apartemen Joni memberikan informasi yang mengejutkan Sean.
"Jon, lo beneran tadi liat Mila di airport?" tanya Sean sambil mengecilkan volume suaranya khwatir terdengar Shiela.
"Beneran lahhh...tuh ada saksinya." ditunjuknya Amy
"Beneran Sean. gue juga kaget waktu Joni bilang dia lihat Mila. Setelah gue perhatikan memang dia. Gue sama Joni sempat ikutin dia dari belakang buat mastiin. Suer ...kaget gue juga. Memang dia gak tau Shiela dan lo disini?"
Digelengkan kepalanya lalu ditunjukkan pesan Mila terakhir dari smart phonenya. "Ngapain yah dia kesini?"
"Dah...jangan berpikiran yang enggga enggga. Siapa tahu dia memang ada urusan lain ke sini. Kalau gak salah kan ada sepupunya yang tinggal disini." ujar Joni. Dia memang orang yang tidak suka mengurusi urusan orang lain alias KEPO.
"Sean...rencana lo gimana?" tiba tiba suara Amy menjadi serius "Lo serius sama Shiela? Lo sadarkan kondisinya sekarang?"
"Hm...gue sadar sesadarnya Am. Lo masa masih gak percaya sih? Jon, lo percaya gak sama gue?"
"Sean, gue sih percaya sama cinta lo sama Shiela. Sudah teruji selama beberapa tahun ini. Yang gue gak percaya adalah apakah lo siap menghadapi kedua orang tua lo dan Mila."
Disandarkan kepalanya pada sofa, pandangannya menerawang ke arah langit langit apartmen. "Paling diusir dan tidak dianggap anak sama mereka. Dan kalau Mila...itu yang gue khawatirkan. Kalau dia mencoba bunuh diri lagi gimana?"Memangnya pernah Sean?" tanya Amy terkejut.
"Yeah...tahun lalu. Dia bilang ke gue supaya tidak cerita cerita. Tapi sepertinya kali ini lo pada harus tau supaya bisa bantuin gue cari jalan keluarnya. Gue dah buntu nih."
Lantas Joni dan Amy menyandarkan kepala mereka ke sofa juga...seakan akan ada jawaban di langit langit apartemen.....
Memang benar yang diucapkan Joni. Mila memang sedang berkunjung ke Singapura. Tetapi bukan untuk menemui Sean, dia hanya bosan di Jakarta dan mencari suasana berbeda di Singapura bersama dengan sahabatnya.
"Hello Mila..." sambut pria ganteng yang sedang membukakan pintu apartmennya.
"Hai Bas..." sapanya lalu masuk sebelum dipersilahkan sang pemilik. Walalupun Baskoro umurnya lebih tua tiga tahun darinya tidak menghalangi mereka untuk menjadi akrab. Baskoro adalah kakak kelas Mila sewaktu kuliah di singapura.
Mila menghempaskan tubuhnya di sofa, "Imigrasi panjangnya ....kalah ular." keluh Mila.
"Hahahaha...biasa...weekend seperti itu. Banyak turis seperti kamu yang menghabiskan weekendnya di sini. Mila, ini aku berikan kunci apartmenku biar kamu leluasa keluar masuk. Aku harus ke rumah sakit, ada jadwal praktek. Jam 5 nanti kita dinner bareng yahh ditempat kesukaan kamu."
"Ehh..Bas.. kamu belum ada pacar kan?" tanya Mila curiga
"Kenapa? kamu mau jadi pacarku?" jawab Baskoro besar kepala.
"You wish...!" lanjutnya "Ntar dia marah lagi kalau kamu temenin aku dinner."
"Take it easy lah....mana ada waktu aku pacaran. Setiap hari sibuk praktek, memang seperti kamu yang bisa cuti di weekend? Nih telepon 24 jam standby jika ada pasien yang menghubungi." ujarnya sambil menunjukkan smart phonenya. "Aku jalan dulu ya...kamu istirahat saja di kamar tamu. Sudah aku bersihkan kok. Bye...see you." Tanpa menunggu jawaban Mila dia keluar apartmen.
Apartment Baskoro tidak jauh dari rumah sakit, memang sengaja dipilih dekat dengan rumah sakit agar mudah baginya bolak balik, seperti saat ini, dia hanya tinggal jalan kaki kira kira 200 meter jaraknya. Baskoro sangat menyukai profesinya sebagai dokter, dari kecil dia bercita cita menjadi dokter, menurutnya menolong orang itu merupakan kepuasan tersendiri dalam hidupnya. Tapi....yah seperti sekarang ini dia harus rela mengorbankan waktunya demi pasien.