Keputusanku menerima perjodohan dengan seorang hafidz menjadi awal semua bencana. Awalnya aku berkeyakinan akan memiliki kehidupan pernikahan yang harmonis dengan landasan agama namun semua itu terpatahkan setiap kali aku melihat wajah suamiku. Dia yang tak pernah mementingkan aku dan ke tiga anakku membuatku muak dan mual ketika melihat wajahnya. Lelaki yang acap kali menasehati ku agar menjadi wanita yang penurut dan harus selalu berhemat justru melimpah kan sebagian banyak uang nya untuk ibu nya dan bersedekah. Sedangkan aku dan anak-anak ku hidup serba kekurangan, bahkan anak-anak kembarku hanya kuberi air gula dan terkadang air putih disaat air susuku tak mau keluar.