CHANGE ME - 10

1336 Words
Seorang wanita seksi dan berparas cantik berjalan memasuki ruangan Raga. Ia bahkan menerobos masuk saat sekertaris Raga melarangnya.   "Ragaaaa" wanita itu merengek dengan manja. Ia bahkan sedikit meliuk liukan tubuhnya yang berbalut pakaian minim itu.   Raga menolehkan kepalanya dan menatap tidak suka.   "Ih kamu kok diem aja sihhh" wanita itu berjalan mendekat lalu mencium bibir Raga di depan Arinda.   Raga mendorong wanita itu dengan kasar, merasa tidak suka karena wanita itu berani menyentuhnya di depan Arinda.   Sementara Arinda juga melemparkan sinyal ketidaksukaannya dengan wanita itu.   "Brenda, apa yang kau lakukan?!" Raga sedikit membentak.   Brenda terlonjak karena Raga belum pernah membentaknya sejak mereka berpacaran empat hari yang lalu. Padahal ia sudah memberikan serangan serangan cintanya dengan gencar kepada Raga. Saat ia sudah mendapatkan Raga, pria itu malah membentaknya.   "Kamu kenapa sih, Sayang?" Brenda tambah berani bahkan wanita itu memeluk tangan Raga.   Arinda yang telah di turunkan dari gendongan Raga sejak wanita itu berjalan masuk pun menatapnya semakin tidak suka.   "Papaaaa" Arinda merengek lalu menarik narik ujung jas yang Raga kenakan.   Sadar dengan panggilan gadis kecilnya, Raga menepis tangan Brenda lalu mengangkat Arinda kembali ke dalam gendongannya.   Arinda lalu mencium Raga sambil menatap Brenda. Mengejek. Itu yang gadis kecil itu lakukan.   Senyum di bibir Raga terukir semakin lebar. Arinda terus mencium Papa nya itu sambil sesekali menatap Brenda.   Brenda yang sadar akan kelakuan Arinda itu pun menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Kilatan amarah terlihat jelas di matanya. "Ragaaa, kita belanja yuk. Aku bosen dehhh" ucap Brenda merengek pada Raga.   Raga hanya diam. Sedang berpikir, apakah sebaiknya ia mengajak Arinda ikut pergi berbelanja. Raga ingin membelikan Arinda beberapa setel pakaian.   "Arin-"   Seakan tau apa yang ada di pikiran Raga, Arinda langsung memotong ucapan Raga.   "Papa, kita pulang sekarang aja yuk. Arin capek" Arinda sedikit merengek lalu memeluk leher Raga.   "Yaudah, kita pulang aja" ucap Raga sambil mengelus pundak Arinda.   Brenda mendelikkan matanya pada Arinda. Namun bukannya takut, gadis kecil itu malah menjulurkan lidahnya pada Brenda.   "Ragaaaa, dia siapa sih?!" Tanya Brenda yang akhirnya penasaran. Kenapa Raga menurut sekali dengan gadis kecil itu. Bahkan gadis kecil itu memanggil Raga dengan sebutan Papa.   Baru Raga ingin menjawab, suara Arinda terdengar lagi.   "Ini Papa Raga. Papa nya Arin. Jadi Arin ini anaknya. Tante gak tau, ya?" Jelas Arinda.   "Raga?! Dia beneran anak kamu?"   "Namanya Arinda dan dia emang anak aku. Jadi berhenti panggil anak aku dengan sebutan dia. Anakku punya nama!" Raga membentak.   "Ya aku kan gak tau, Sayang" ucap Brenda membela dirinya.   "Tante, kita mau pulang nih. Tante juga pulang gih. Kata Mama, kalau bajunya seketek, nanti masuk angin" jelas Arinda.   "Heh, kamu?!" Brenda membentak Arinda tanpa sadar.   Mata Arinda mulai berkaca kaca, sebab sejak ia di lahirkan belum ada yang pernah membentaknya.   Raga yang melihat mata Arinda berkaca kaca seperti itu, amarahnya memuncak seketika.   "Minta maaf!!!" Raga membentak Brenda.   "Aku gak mau!"   "Minta maaf!!!"   "Aku gak mau, Raga!!!"   "Keluar sekarang dan jangan pernah temui aku lagi!!!"   "Ragaaaaaa" Brenda langsung merengek. Ia menarik tangan Raga yang bebas.   "Lepas! Aku bilang keluar, ya keluar! Kamu tuli, hah?!" Raga malah semakin membentaknya.   "Kamu bakalan nyesel udah giniin aku!" Brenda keluar dari ruangan Raga dengan amarahnya yang memuncak.   Meskipun mereka baru berpacaran selama empat hari, tapi cinta yang gadis itu miliki sudah sangat dalam untuk Raga.   Siapa wanita yang tak jatuh hati pada sosok Raga? Pria tampan, sukses, kaya raya, punya banyak perusahaan. Apa pun yang wanita wanita itu inginkan, pasti bisa terpenuhi oleh sosok Raga.   "Dia siapa, Pa?" Tanya Arinda saat Brenda sudah keluar dari ruangan Raga.   "Orang aneh" ucap Raga lalu menggendong Arinda keluar ruangannya untuk mengantar pulang.   ***   "Pa, apa nanti Mama marah?" Tanya Arinda saat mobil Raga memasuki parkiran apartment Maura.   "Kamu takut Mama marah?"   "Iya. Arin takut Mama marah ke Arin. Arin sayang Mama. Tapi Arin sayang Papa juga. Arin jadi bingung harus belain siapa"   "Kenapa Arin bingung? Papa dan Mama kan orang tua Arin. Arin harus belain kami dong. Arin gak boleh milih salah satu nya"   "Oh, begitu ya, Pa?" "Iya sayang. Ayo turun. Kamu gak boleh takut sama Mama. Janji? Kalau Arin janji nanti kita makan siang bertiga lagi" bujuk Raga sebab sejak mobilnya sudah berhenti, Arinda menolak untuk turun.   "Oke, Pa. Arin janji" ucap Arinda sambil mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Raga.   Mereka berdua turun dari mobil dengan Arinda yang berada dalam gendongan Raga.   Saat sampai di depan unit Maura, Arinda mendadak ketakutan. Arinda mengeratkan pelukannya pada leher Raga. Raga yang menyadarinya pun menegur Arinda.   "Ariiiin, Arin kan udah janji" bisik Raga pelan.   Arinda tidak menjawabnya namun perlahan, pelukan itu mengendur.   Raga menekan bel unit Maura namun tak ada jawaban dari dalam sana.   "Arin tau nomor telepon Mama?" Raga bertanya pada Arinda karena masih belum mendapatkan jawaban dari Maura.   "Arin gak hafal, Pa" Arinda menggelengkan kepalanya.   Baru Raga ingin menekan bel lagi, pintu di depannya sudah terbuka lebar. Menampilkan sosok Maura dengan mata sembabnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut.   "Ra, kamu kenapa?" Tanya Raga yang mulai khawatir.   "Arin kamu kok ada sama Papa? Mama cariin ka-"   Bruuuukkk. Belum sempat Maura melanjutkan kata katanya, dirinya sudah terjatuh dan masuk dalam kegelapan.   Raga yang panik segera menurunkan Arinda dan menggendong Maura. Arinda mengikuti langkah kaki Raga sambil menarik ujung jas Raga.   ***   Maura mengerjapkan matanya. Ia menatap langit langit ruangan yang tidak asing. Ia pun menghirup aroma yang tidak asing.   Maura akhirnya sadar ia berada dimana. Ada rasa bahagia dihatinya bisa kembali mengunjungi ruangan itu. Namun ada rasa sedih yang begitu teramat menusuknya. Di tempat tidur ini, di kamar ini, di rumah ini. Dimana ia habiskan untuk menanti suaminya yang selalu pulang larut. Tempat dimana ia banyak membuang air matanya. Tapi tempat yang paling ia rindukan sejak tujuh tahun yang lalu. Kamarnya, kamar tidurnya dan Raga.   Ya, Maura berada dirumah Raga sekarang. Yang terakhir ia ingat hanya kedatangan Raga bersama Arinda didepan unitnya.   Ia terlalu lemah untuk bangkit dan mencari Arindanya lagi. Tapi ia cukup senang mengetahui putrinya baik baik saja.   Seketika air mata terjatuh dari sudut matanya yang sedari tadi memang sudah mengembangkan air. Ia terlalu merindukan Raga hingga kehadirannya lagi didalam hidup Maura bisa membawa pengaruh seperti ini.   Sebuah tangan mengusap air mata Maura yang terjatuh itu. Maura tersentak karena tak sadar ternyata Raga sedang duduk di sampingnya. Sedang memperhatikan Maura.   Sebenarnya Raga ingin membuka suara saat Maura membuka matanya. Tapi ia urungkan saat melihat raut wajah menderita dari Maura. Ia pun merasakan yang sama. Rasanya begitu sakit.   Sampai akhirnya Maura meneteskan air matanya dan itu membuat Raga tidak tahan lagi.   "Hei, kamu kenapa?" Tanya Raga lembut.   Maura yang masih kaget hanya menatap wajah Raga. Malu karena ia tertangkap basah menangis didepan Raga.   "Kata Dokter, kamu terlalu syok jadi harus banyak istirahat"   "Arinda?" Hanya itu yang sanggup Maura ucapkan. Ia sangat malu sekarang. Ia memalingkan wajahnya dari Raga dan berusaha untuk bangkit.   "Hey, mau kemana? Arinda udah tidur. Aku tidurin tadi di kamar sebelah. Kasian dia kecapekan."   "Makasih"   "Gak usah makasih. Sebenernya tadi aku udah ngehubungin sekertaris kamu. Tapi katanya kamu gak ada di tempat. Jadi aku bawa Arinda ke kantor. Dia udah makan kok. Tadi juga udah bersih bersih sebelum tidur"   "Aku mau pulang" ucap Maura dengan suara yang bergetar. Mendengar penjelasan Raga membuatnya merasa bersalah karena telah menjauhkan Raga dari anak kandungnya sendiri. Tapi Maura bisa apa.   "No. Tadi dokter bilang ke aku kamu harus istirahat yang banyak. Sekarang kamu makan dulu. Aku yakin kamu belum makan kan? Aku ambilin bubur nya dulu di dapur"   Raga hendak bangkit dari duduknya namun Maura menahannya.   "Kamu gak perlu ngelakuin ini semua, Ga"   "Biarin aku nebus tujuh tahun yang hilang, Ra"   "Buat apa, Ga? Buat apa kamu tebus? Gak akan pernah ada yang berubah"   "Aku punya alasan buat semuanya, Maura"   "Kasih tau aku kalau begitu"   "Aku belum siap kasih tau sekarang. Aku akan kasih tau kamu kenapa aku berubah dulu. Tapi setelah kamu kasih aku kesempatan. Aku minta waktu satu bulan. Setelah itu kalau kamu emang ragu sama aku, kamu boleh bener bener ninggalin aku" jelas Raga.   Maura berpikir dan mempertimbangkan ucapan Raga.   "Ini kesempatan terakhir" ucap Maura.   Raga tersenyum lalu menarik Maura kedalam dekapannya.     ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD