CHANGE ME - 2

1286 Words
"Baiklah. Rapat sudah selesai. Kalian boleh meninggalkan ruangan" ucap Maura yang sedikit risih karena sejak rapat berlangsung mata Raga tidak terlepas darinya. Semua karyawannya yang mengikuti rapat sudah keluar dari ruangan. Menyisakan Maura, Raga, dan sekertaris mereka saja di ruangan itu. "Saya ingin bicara" ucap Raga menghentikan gerakan Maura yang sedang ingin menutup laptopnya. "Hani, kamu boleh keluar" jelas Maura yang hanya di balas oleh anggukan dari Hani. "Kalian juga boleh keluar" jelas Raga pada karyawannya yang langsung keluar setelah menerima perintah dari atasannya itu. "Ada apa?" Tanya Maura berusaha menetralkan suasana hatinya. Melihat pria yang begitu ia cintai berada di hadapannya dan mereka hanya berdua sungguh adalah hal yang sangat sulit untuk Maura. Meskipun hanya sedikit rasa cintanya yang masih tersisa. Tetap saja situasi seperti ini tidak baik. Ia merasakan cinta dan benci di waktu yang bersamaan. Namun ia berusaha mengendalikan dirinya. "Bagaimana kabarmu?" Tanya Raga. "Baik. Seperti yang Anda lihat" jawab Maura datar. "Kamu tidak menanyakan kabarku?" Tanya Raga lagi. "Untuk apa?" "Untuk apa?" Raga mengulang pertanyaan Maura. "Bukannya sudah jelas kalau Anda baik baik saja?" Tanya Maura masih datar. "Seperti itu?" Raga sedikit terkekeh. "Sudah selesai?" Maura hendak bangkit. "Apa kamu sudah menikah?" Tanya Raga membekukan gerakan Maura. "Saya rasa Anda tidak berhak mengetahui kehidupan pribadi saya" jelas Maura. Raga hanya diam, tidak berniat bertanya apa apa lagi. Entah mengapa, melihat Maura kembali memberikan perasaan lega di hati Raga. Meskipun tak sedikitpun ia mencari wanita itu. Namun tetap saja, sebuah ruang kosong di relung hatinya yang lama tak ia sadari tiba tiba terisi begitu saja. Bisa dikatakan Raga senang bertemu dengan Maura lagi. Apalagi mantan istrinya itu terlihat lebih cantik dan terawat. Tidak seperti saat bersamanya. Tampak membosankan. "Kalau sudah selesai, saya ingin pergi. Terima kasih" ucap Maura dan berlalu. Meninggalkan Raga yang masih diam di ruangan itu. "Mamaaaa" teriak Arinda saat Maura menutup pintu ruang rapat. "Loh? Arin?" Maura mengenyit heran dan tiba tiba jantungnya terpacu. Takut Raga melihatnya. "Maaf, Bu. Tadi Arin memaksa saya untuk mengantarnya kesini" Hana menundukkan kepalanya. Maura melihat arlojinya. "Tidak apa apa, Hani. Sudah jam makan siang. Kamu boleh istirahat" Hani menundukkan tubuhnya meminta maaf lalu pamit untuk istirahat. "Mama lama, Arin bosen tau. Om Iyo udah pulang katanya gak bisa nungguin sampe mama dateng" Arinda lagi lagi menggembungkan pipinya. Maura mengangkat tubuh anaknya itu dan menggendongnya. "Maafin Mama ya, Rin. Arin mau kan maafin mama?" Tiba tiba suara pintu ruangan terdengar. Raga keluar dari ruang rapat dan mendapati sosok Maura sedang menggendong anak kecil. "Hallo, Om!" Ucap Arinda antusias. Gadis kecil itu memang memiliki kepribadian yang supel dan gampang bergaul. Seketika tubuh Maura menegang saat sadar jika Arinda bertemu dengan Raga. "Hai" sapa Raga pada Arinda. "Saya permisi" ucap Maura hendak meninggalkan Raga. "Ihh, Mama. Itu Om nya kan lagi mau ngomong sama Arin" Arinda merengek di dalam dekapan Maura yang semakin mengerat. "Mama?" Raga mengernyitkan alisnya. Maura sudah menikah lagi? Raga membatin. "Iya, Om. Ini Mamanya Arin" jawab gadis kecil itu. "Arin...? Arin ingat kan kata Mama? Arin gak boleh sembarangan ngomong sama orang asing" jelas Maura. Mendengar kata orang asing entah mengapa membuat Raga semakin penasaran dan mendekatkan dirinya pada mantan istrinya dan seorang gadis kecil yang wanita itu gendong. "Aku bukan orang asing" jelas Raga. "Maaf saya permisi" Maura lalu meninggalkan Raga yang masih menatapnya lekat. Arinda tersenyum manis beberapa kali pada Raga sebelum gadis kecil itu menoleh dan berbicara pada Maura. Lagi lagi muncul perasaan aneh pada hati Raga. Melihat Arinda tersenyum seolah membuatnya ingin melindungi gadis kecil itu. Aku harus memastikan sesuatu. Ucap Raga dalam hati. *** "Ini laporan yang anda minta, Tuan" ucap seorang pria berjaket kulit hitam dan bercelana serta bersepatu senada dengan jaket yang ia kenakan. "Jadi, nama anak itu Amanda Arinda. Dia benar benar anak Maura" ucap Raga saat membaca berkas yang pria misterius itu berikan. "Sepertinya perempuan yang bernama Maura itu belum pernah menikah lagi. Dilihat dari catatannya selama tujuh tahun kebelakang, hanya ada keterangan ia bercerai. Tidak ada catatan apapun" "Lalu anak itu?" Tanya Raga. "Mengenai anak itu, tidak ada satupun data tentang kapan dan dimana anak itu di lahirkan. Sepertinya seseorang sengaja menutup akses tentang data anak itu" "Sama sekali tidak ada?" "Tidak ada. Hanya ada catatan bahwa mereka berdua pernah tinggal di Bali. Baru dua tahun pindah ke Jakarta" "Apa anak itu sudah bersekolah?" "Ya, Tuan. Nama sekolah dan kelasnya ada di berkas itu. Di halaman berikutnya" "Baiklah, kau boleh keluar" Raga tersenyum menyeringai. Sepertinya ada sesuatu yang Maura tutupi. Tapi sepertinya juga wanita itu lupa bahwa ia berurusan dengan Diraga Andreas. Pria yang akan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. *** Raga sedang berada di depan gedung sekolah Arinda. Menurut berkas yang ia baca, Maura akan menjemputnya pukul dua belas siang. Sekarang masih pukul sepuluh pagi, jadi Raga tak akan bertemu dengan Maura sekarang. "Tunggu disini. Saya ingin keluar sebentar" perintah Raga pada supirnya. Raga melangkahkan kakinya masuk kedalam gedung sekolah itu. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari ruang guru. Setelah ditemukannya, ia memasuki ruang itu. Berbicara sebentar dengan guru yang ada diruangan itu. Guru itu lalu mengantarnya menuju kelas Arinda sebelum sempat menolak. Namun setelah Raga memberikan kartu namanya, guru itu yakin jika Raga tidak akan berbuat macam macam. "Amanda Arinda" ucap guru itu ketika memasuki kelas Arinda. Gadis kecil itu mengangkat tangannya. Menandakan kehadirannya. Guru itu lalu menghampiri guru lain yang sedang mengajar di ruang kelas Arinda. Menceritakan singkat dan meminta izin untuk membawa Arinda keluar kelas. "Om?! Kok Om ada disini?" Tanya Arinda saat guru yang tadi membawanya keluar meninggalkannya saat ia bertemu dengan Raga. "Hai. Apa kabar?" Tanya Raga sambil mengusap lembut kepala Arinda. Sesuatu yang hangat menjalar di d**a pria itu. "Arin baik. Om cari Mama Arin ya? Mama lagi kerja, Om" "Engga. Om cari Arinda" jelas Raga sambil mendudukan Arinda disebelahnya. Mereka berdua duduk di kursi di taman sekolahnya. "Arin lagi sekolah Om. Om mau ajak Arin main ya? Nanti Arin diomelin sama Bu Guru" "Engga kok. Om gamau ngajak Arin main. Om cuma mau ketemu Arin aja. Arin mau kan ketemu sama Om?" "Mau kok, Om. Tapi kata Mama, Arin gak boleh ketemu atau ngobrol sama Om" Jelas Arinda dengan polosnya. "Kenapa? Om gak akan jahat sama Arin" "Arin gatau Om" gadis kecil itu lalu tertawa, memamerkan deretan giginya yang tidak lengkap. "Papa Arin kemana? Kok Om gak liat waktu di kantor Mama Arin?" "Papa? Arin gatau Om. Arin pernah nanya sama Mama. Tapi Mama langsung nangis. Arin gamau Mama sedih. Jadi Arin gamau nanya lagi Papa Arin kemana" seketika tawa gadis kecil itu menghilang. Arinda menundukan kepalanya. "Maaf ya, Om gak bermaksud buat Arin sedih" Raga mengelus sayang pucuk kepala Arin. "Arin gak sedih Om karena Om tanya kemana Papa Arin. Tapi Arin sedih inget wajah Mama waktu Arin tanya. Arin gamau bikin Mama sedih Om" "Arin gamau kan bikin Mama Arin sedih?" Tanya Raga. "Iya Arin gamau" jawab Arinda antusias. "Kalo gitu, Arin harus jadi anak yang baik. Arin harus denger kata Mama. Dan satu lagi" "Apa Om?" "Arin gak boleh bilang sama Mama kalo Arin hari ini ketemu sama Om. Arin mau kan janji sama Om? Kalo Arin janji, nanti kalo kita ketemu lagi, Om bawain Arin hadiah" "Tapi kata Mama, Arin gak boleh terima barang dari orang asing" "Arin. Om kenal sama Mama kamu. Dan Mama kamu kenal sama Om. Apa berati Om itu orang asing?" Tanya Raga lembut. Arinda menggeleng. "Kalo gitu, Arin mau kan janji sama Om?" "Iya, Om. Arin mau" "Pinter" ucap Raga lalu memeluk tubuh kecil Arinda. Tanpa gadis kecil itu sadari, Raga mengambil rambut Arinda yang rontok. Lalu memasukannya ke wadah kecil yang sudah ia siapkan. Dalam pelukannya, Raga menyeringai. Mari kita lihat apa yang kamu tutupi Maura. Raga membatin dalam seringaiannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD