CHANGE ME - 3

1509 Words
Setelah bertemu dengan Arinda, Raga bergegas pergi menemui Daniel. Sahabatnya sewaktu kuliah di Amerika. Pria itu menjadi seorang dokter dan memiliki sebuah Rumah Sakit mewah di Jakarta. Mereka bersahabat karena menempati asrama yang sama. "Dimana?" Tanya Raga saat Daniel mengangkat panggilan teleponnya pada deringan ketiga. "Di Rumah Sakit. Kenapa? Tumben?" Jawab Daniel. Sudah sangat hafal jika sahabatnya itu tak pernah berbasa basi. "Gue kesana. Jangan kemana mana" ucap Raga lalu memutuskan sambungannya. Membuat Daniel mendengus kesal diseberang sana. Tak butuh waktu lama, mobil yang Raga tumpangi akhirnya sampai di Rumah Sakit milik Daniel. Pria itu langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan Daniel yang sudah sangat dia hafal. "Kampret. Kaget gue" sembur Daniel saat Raga membuka pintu ruangannya dengan kasar. "Ada apa? Tumben lo kesini? Perasaan lo baru tes kesehatan dua minggu yang lalu deh" tanya Daniel heran. Raga memang rutin melakukan tes kesehatan di Rumah Sakit milik Daniel. Sebab kebiasaan buruknya yang sering menggunakan jasa wanita penghibur itu sedikit membuatnya takut terjangkit HIV. Meskipun ia selalu memakai pengaman, bukan berati kemungkinan itu tidak pernah ada kan. "Gue ketemu Maura" "Maura? Mau apa lagi lo?" Tanya Daniel kesal. Daniel sangat membenci keputusan Raga untuk menceraikan wanita itu. Karena yang Daniel tau, Maura adalah wanita baik yang tidak pernah berbuat macam macam. Wanita yang sangat patuh pada suaminya. Sayangnya sahabatnya yang bodoh itu mencampakan wanita itu. Membuatnya kesal setengah mati dengan sahabatnya itu kalau mengingatnya. "Santai, Bro. Kenapa lo selalu kesel sih kalo gue ngomongin Maura. Sahabat lo gue atau dia?!" Raga mendengus kesal. "Gue emang sahabat lo. Tapi rasa kemanusiaan gue masih tinggi" jelas Daniel tenang. "Kayanya gue sama Maura punya anak" Raga tanpa basa basi lagi. Daniel tertawa terbahak bahak di kursinya. "Lo kalo ngayal jangan yang serem serem amat napa, Ga. Hahahaha kangen kali lo ya sama Maura" "Gue serius. Maura punya anak" ucap Raga yang membuat tawa Daniel hilang seketika. "Anak?" "Iya. Setelah gue selidikin, ternyata dia belum nikah lagi dan gak ada kabar sama sekali dia deket sama cowo lain" jelas Raga tenang. "Lo halusinasi kali, Ga. Terus gimana dia bisa punya anak sedangkan lo aja bilang ke gue kalo lo jijik sama dia. Sampe lo gamau nyentuh dia" Daniel mengernyit heran. "Sebenernya gue pernah ngelakuin itu sama dia satu kali. Gue mabuk berat. Ya gue gak yakin juga sih itu beneran terjadi atau engga. Dia juga biasa biasa aja." Jelas Raga. "Astaga, Ragaaa. Gue bener bener gak nyangka punya temen sebrengsek lo gini" Daniel mengurut pelipisnya. Menurut dia Raga benar benar sudah keterlaluan. "Ngeliat anak itu, ada rasa dalam diri gue yang jadi pengen lindungin dia" "Lebih baik lo jauh jauh Ga dari Maura. Sekalipun anak itu emang anak lo. Lo udah b******k banget. Lo tau itukan?" Persahabatan mereka sudah sangat dekat sampai kata b******k atau kata kasar sekali pun tidak akan menyinggung perasaan mereka sama sekali. "Kenapa gue harus ngejauh?" "Lo udah nyakitin Maura dan perempuan itu selalu nerima lo. Terus lo ninggalin dia. Apa lo gak mikir susahnya dia ngurus anak sendirian?" "Dia kaya, Niel. Gak akan kesusahan" jawaban Raga benar benar membuat Daniel kesal. "Gue punya istri, Ga. Lo tau gimana rasanya mendampingi istri lo waktu dia hamil? Waktu dia ngidam tiba tiba pengen makan yang aneh aneh, apa lo tau? Emosi yang labil, perasaan yang sensitif. Apa lo tau? Itu gak mudah, Ga. Apa lagi kalo dia laluin itu sendirian. Sekarang saat dia udah nata hidupnya lagi, lo mau ngeklaim anaknya? Gila, Ga. Lo laki laki paling b******k dan gak berperasaan yang gue kenal!" Ucap Daniel panjang lebar. "Gue kesini mau minta lo cek ini. Apa bener itu anak gue atau engga. Cuma itu. Gue gak butuh nasehat nasehat lo" Raga sangat kesal karena sahabatnya itu malah menceramahinya yang sedang sangat ingin tau kebenaran itu. "Gue gak mau" tolak Daniel. Raga mengeluarkan wadah yang berisi rambut Arinda dan menyodorkannya pada Daniel. "Kalo lo gak mau ngelakuin ini sebagai sahabat gue, tolong lakuin ini sebagai pasien yang butuh dokternya" "Ini terakhir gue mau berurusan sama lo tentang Maura. Lo inget itu baik baik" Daniel lalu mengambil wadah itu. "Ikut gue ke Lab buat ambil sample punya lo" Raga mengikuti langkah kaki sahabatnya itu menuju Lab. "Berapa lama gue bisa tau hasilnya?" Tanya Raga di perjalanannya menuju Lab. "Bisa satu sampai tiga bulan" jawab Daniel. "Lama banget. Gue udah gak sabar. Rumah Sakit lo kan udah canggih udah banyak alat yang modern. Masa lama banget" protes Raga. "Tesnya gak disini. Cuma ambil sample aja. Nanti dikirim lagi. Jadi lo harus sabar" jelas Daniel. Raga tidak berbicara apa apa lagi. Sebenarnya dia bisa saja mengirimnya ke labolatorium mahal agar hasilnya cepat keluar. Tapi itu sangat berbahaya bagi reputasinya. Meskipun media sudah tau jika Raga sering menggonta ganti pasangan, tentunya sangat bahaya jika media tau ia telah mencampakkan anak dan istrinya. Apalagi jika klien klien pentingnya yang tau. Dalam dunia bisnis, hubungan keluarga juga merupakan hal yang sensitif. Jika seorang pria bisa melepas tanggung jawabnya pada keluarganya begitu saja, berati pria itu juga bisa melepas tanggung jawab pada proyek proyek yang ia pegang. *** "Mamaaaa" teriak Arinda riang saat melihat Maura sedang menunggunya di gerbang sekolah. "Hai, sayang. Gimana sekolahnya?" Tanya Maura saat Arinda menghampirinya. "Baik, Ma. Tadi Arin dapet nilai A Ma. Arin seneng" "Anak Mama emang paling pinter" Maura lalu mengusap rambut Arinda. "Kita udah mau ke kantor Mama?" Tanya Arinda sambil menggerak gerakan kepalanya ke kanan dan kiri. Seperti mencari seseorang. "Kamu nyari siapa sayang?" Tanya Maura. "Engga, Ma. Arin gak cari siapa siapa kok" jelas Arinda sambil menyengir. "Kita mau makan siang dulu ke Mall. Arin mau kan?" Tanya Maura. "Arin mau, Ma" "Ayo sini Mama gendong" Maura mengangkat tubuh Arinda. Saat itu, di tatapnya lah tubuh tegap Raga oleh Arin di kejauhan. Gadis itu tersenyum senang karena Raga menepati janjinya untuk datang lagi meskipun hanya sebentar. Entah memang hubungan anak dan ayah yang kuat atau bagaimana, Arinda dan Raga menjadi sangat dekat dan akrab. Meskipun baru mengobrol sekali. "Arin kenapa senyam senyum?" Tanya Maura heran mendapati tingkah putrinya itu. "Engga kenapa napa kok, Ma" Maura menolehkan kepalanya, menatap ke arah tadi Arinda melemparkan senyum. Tapi ia tak menemukan apa apa disana. "Yaudah ayo kita berangkat" Maura melangkahkan kakinya sambil menggendong Arinda menuju mobilnya yang terparkir. Tanpa Maura sadari, Raga mengikutinya sedari tadi. *** "Arin harus makan sayur ya. Tadi bekal Arin sayurnya masih sisa banyak" ucap Maura setelah selesai memesan makanan. "Arin gak suka sayur, Ma" rengek Arinda. Benar benar seperti Papanya. Maura membatin. "Arin sayang kan sama Mama?" "Iya Arin sayang Mama" gadis kecil itu mengangguk mantap. "Kalo gitu Arin dengerin apa kata Mama. Arin makan sayuran ya. Sedikit aja gapapa. Yang penting Arin makan" Maura lalu mengusap pucuk kepala Arinda. Tiba tiba seseorang menarik kursi di hadapan Maura. "Ngapain Anda disini?" Tanya Maura ketus. "Makan" jawab Raga singkat. Orang itu adalah Raga. "Disana masih banyak yang kosong" Maura menunjuk kursi yang kosong. "Mau disini" "Pergi, Raga!" Suara Maura mulain meninggi. "Aku mau disini" ucap Raga final seolah tidak bisa di bantah lagi. "Ma" Arinda memanggil Maura. Hampir saja wanita itu lupa jika putrinya sedang duduk di sebelahnya. "Kenapa sayang?" Maura menolehkan kepalanya menghadap Arinda. "Biarin aja Om itu duduk disini" Arinda lalu menundukkan kepalanya. "Kenapa, Arin?" Tanya Maura lagi yang keheranan putrinya memintanya untuk membiarkan Raga duduk disitu. "Tadi pas istirahat, teman Arin cerita Ma. Katanya dia sama Mama dan Papanya kemarin makan malam di restoran yang banyak bunganya, Ma. Terus temen Arin nanya. Katanya Arin pernah gak makan sama Mama dan Papa Arin. Soalnya teman teman Arin gak pernah liat Arin dijemput Papa Arin" gadis kecil itu menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap wajah ibunya. Hati Maura mencelos mendengar ucapan Arinda itu. Ternyata ia tak memikirkan Arinda sampai kesana. "Kan Arin sering dijemput Om Iyo" Maura berusaha membujuk Arinda. "Tapi temen temen Arin tau Ma kalo Om Iyo bukan Papa nya Arin. Arin mau Papa yang jemput Arin" suara isakan terdengar dari bibir mungil Arinda. Maura hanya bisa menatap langit langit restoran itu. Berharap air matanya tidak ikutan keluar. Hatinya benar benar sakit saat mendengarkan penderitaan gadis kecilnya itu. Ia selama ini tidak menyangka jika kejadian seperti itu bisa menimpa anaknya. Entah kenapa, Raga yang mendengar itu semua seperti bisa merasakan luka dan kepedihan dua perempuan yang kini duduk di hadapannya. Seperti ada bagian dalam hatinya yang ikut terluka. "Arin gak boleh nangis. Arin bisa anggap Om Raga itu Papanya Arin. Kalau mau pun, Arin boleh panggil Om Raga Papa" Raga berusaha menenangkan Arinda. "Tolong Anda jangan berbicara sembarangan" ucap Maura dingin. "Disaat kaya gini kamu masih mau egois, Ra?" Ucap Raga tak kalah dingin. Apa yang dikatakan Raga benar adanya. Mungkin dia harus mengurangi kadar egoisnya sedikit demi putri tercintanya. "Apa itu bener, Ma? Arin boleh manggil Om Raga Papa?" Tanya Arinda yang tiba tiba menjadi senang mendengar ucapan Raga tadi. "Iya, boleh" Maura tak tega jika harus membuat putrinya itu menangis lagi. "Papa" ucap Arinda malu malu. Tampak jelas semburat merah muncul di pipi tembamnya. Mendengarnya, lagi lagi perasaan aneh menghinggapi d**a Raga. Pria itu senang dan terharu. "Iya, sayang?" Jawab Raga lalu mengusap kepala Arinda. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD