bc

Time Gap

book_age16+
12
FOLLOW
1K
READ
second chance
CEO
twisted
sweet
ghost
campus
highschool
first love
supernatural
school
like
intro-logo
Blurb

Apa yang kamu lakukan jika waktu terhenti dan hanya kamu yang dapat bergerak. Mungkin kamu akan melakukan apa yang kamu inginkan, begitu pula dengan James.

Permohonannya dikabulkan saat dirinya benar-benar tidak ingin lagi hidup. Tapi bukannya mati yang ia temukan, malah ia hidup sendiri sedangkan seluruh lingkungannya berhenti.

Hingga ia bertemu dengan gadis yang juga terjebak di celah waktu.

Apakah mereka dapat menjalani hidup dengan waktu yang terhenti? Atau justru, mereka menginginkan waktu tetap terhenti?

chap-preview
Free preview
01. Berduka
James melangkah kecil ke arah ruang kerja ayahnya, kakinya sesekali diseret menghasilkan deritan nyaring memekikkah telinga. Hasil dari gesekan alas sepatu, yang belum ia lepas dengan lantai marmer licin rumahnya. Sesekali, kakinya menabrak beberapa perabotan rumah seiring ia langkahkan kaki ke ruangan yang masih berjarak lima meter di hadapannya. Tapi semua itu tak menimbulkan rasa sakit yang berarti pada James. Remaja lelaki itu, hanya memandang lurus ke dua buah daun pintu ruangan itu. Seiring kakinya melangkah, rasa sakit di benak dan hatinya mengikuti. Seakan menyeruak, menyesakkan raga. Rona wajah penuh derita tidak ia tampakkan. Ia hanya memandang lurus dengan wajah datar. Akan tetapi pucat yang terpancar begitu menyiratkan amarah, kesedihan, kekecawaan serta keputus asaan yang memuncak.                  Saat ini, ia sudah berhasil berada di depan ruang kerja ayahnya, yang tertutup rapat oleh dua pintu yang lebih menyerupai gerbang masuk pada rumah-rumah mewah. Dua daun pintu itu tinggi tak kurang dari tiga meter, menempel pada atap langit. Memamerkan betapa gagahnya ruangan itu. Bukan karena merasa terintimidasi oleh pintu itu, yang membuat James terpaku lama di depannya. Namun nyalinya menciut sesaat. Pandangannya ia turunkan, menatap kakinya yang masih terbungkus sepatu hitam oxford berwarna coklat yang mengkilap. Sepatu yang baru tiga kali ia pakai, dan mungkin ini terakhir kalinya ia memakai sepatu pemberian ayahnya. Ia terlalu kecewa untuk menggunakannya lagi. Rasa cinta, hormat, dan sayang pada ayahnya seketika lenyap. Matanya yang sedari tadi tak menyiratkan emosi, kini terlihat sedikit butiran air pada ujung mata kirinya. Ia berusaha menahan, agar cairan butiran kecil itu tak jatuh. Remaja laki-laki yang baru saja mencapai usia enam belas tahun itu, memejamkan matanya begitu cairan kecil itu mengering dihempas udara. Seketika bayangan ayahnya muncul. Ia langsung membuka matanya kembali, seraya menahan napasnya yang berubah tak beraturan. Ia mundur selangkah, lalu mengangkat kakinya tinggi. Kemudian menendang pintu yang terbuat dengan kayu terbaik di kelasnya. Beberapa kali ia melakukan itu, namun pintu tak kunjung terbuka. Hanya dentuman keras, seakan rumah mewah itu sedang terjadi kegaduhan yang dahsyat. Untungnya, seluruh rumah yang berada di lingkungan rumahnya berjauhan. Paling tidak, setiap rumah terdapat halaman luas, berpagar besi tinggi, dan dibangun dengan material redam suara. Sehingga, keributan pada masing-masing rumah, tak dapat terdengar oleh para tetangga. Sekali lagi, James menghujani tendangan pada pintu tersebut. Ia bahkan tidak peduli sepatunya tercetak beberapa kelecetan pada ujungnya. Akan tetapi, pintu itu tak kunjung terbuka. Ia menyerah. Akhirnya, remaja dengan tubuh yang lebih tinggi dibanding teman-teman seusianya itu, memilih membuka pintu ruangan kerja ayahnya dengan cara manual. Yaitu, membukanya dengan menurunkan gagang pintu menggunakan tangan kirinya. Seketika ruangan itu terbuka lebar untuknya. James menelusuri ruang kerja pribadi ayahnya, mencari benda yang akan ia hancurkan. Terlihat ruangan klasik dengan nuansa coklat kayu menyelimuti dinding ruangan itu. Pada seberang pintu, berjarak lima meter di hadapannya. Terdapat jendela besar yang juga menyentuh langit-langit ruangan tersebut. Jendela itu terlapisi kain tipis, namun masih dapat menyuguhkan pemandangan hijau halaman samping rumah James. Di samping kaca dinding terdapat dua lemari kayu coklat yang juga menjulang. Lemari sebelah kanan terdapat berbagai macam buku yang tersusun rapi. Sedangkan lemari sebelah kiri, yang berhadapan juga dengan meja kerja ayahnya. Terdapat jejeran benda yang James cari. Botol-botol, dengan berbagai ukuran serta jenis warna cairan di dalamnya langsung membuat emosi James menjadi tidak beraturan. Dengan cepat, ia melangkah menuju lemari yang memamerkan berbagai jenis minuman berbagai merek. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil satu botol yang bentuknya kaku. Kotak dengan leher botol yang pendek. Masih tersisa seperempat, berisikan carian berwarna coklat layaknya waran pekat pada teh. Dengan cepat, James meraihnya dan menggenggamnya kuat. Kemudian ia mengangkat tangannya dan membanting botol itu dengan kekuatan penuh di sisa tenaganya yang semakin menipis. Ia tak mendapatkan hasil yang ia inginkan. Botol itu hanya terlempar memantul beberapa kali di atas karpet tebal juga berwarna coklat, sebagai alas dari ruangan tersebut. “Aaargh….” James berteriak, karena tak memperoleh apa yang ia mau. Setelah itu, ia kembali menarik langkahnya ke dinding di antara lemari yang penuh dengan botol-botol dan meja kerja ayahnya. Ia sandarkan tubuhnya, dan membiarkan tubuhnya sedikit demi sedikit meluncur turun. Hingga ia kini terduduk, bersandar pada dinding dengan kedua kaki yang tertekuk. Kedua tangannya, ia biarkan bergelantung di atas lututnya. Kepalanya tak menunduk, wajahnya yang semula tidak memancarkan emosi apapun, kini menyiratkan kesedihan yang tak terungkap. Matanya yang semula tegar, kini terlihat bergetar. Tertera gelombang air menumpuk di kelopak mata bawahnya, seakan menunggu aba-aba untuk bergerak turun. Terjun, menghujani wajahnya yang tampan. Selang beberapa detik, hal itu terjadi. James sesekali berusaha menahan sesenggukkan, yang menyesakkan tulang rusuknya. Terasa sakit, setiap hidungnya kembang kepis. Matanya hanya tertuju pada satu titik. Yaitu, pada baut pemutar warna hitam. Yang berfungsi sebagai peyangga dan juga pengatur, untuk dapat menaik-turunkan meja gambar ayahnya. Awalnya, ia tak menyadari matanya yang menangkap pantulan bayangan meja gambar ayahnya. Tapi kini, pemandangan di depannya telah menghadirkan bayangan ayah dan dirinya, yang sedang diajarkan gambar oleh ayahnya. Seakan mengejeknya. Waktu itu, ia masih menjalani masa pendidikannya di sekolah dasar. James kecil sangat antusias melihat setiap gerakan tangan yang diajarkan oleh ayahnya. Ia melihat bayangan dirinya yang begitu bahagia saat dapat menyelesaikan gambar yang diminta oleh ayahnya. Bayangan pria yang masih sangat muda, dengan senyuman menawan saat melihat anaknya memamerkan gambarnya itu, sudah sangat lama tak dilihat oleh James. Mungkin itu terakhir kalinya ayahnya tertawa lepas bersamanya. Kepala James bergerak ke arah pintu saat ia menangkap bayang seseorang melangkah masuk, Ibunya. Ibunya masih cantik dan sehat, melangkah masuk sembari menggendong adiknya yang baru berumur tujuh bulan. James kecil yang menyadari kehadiran ibunya, langsung memamerkan gambar yang baru saja ia selesaikan. Ibunya pun langsung tersenyum bahagia sambil mengacungkan jempol kanannya, yang berada tak jauh dari kepala adiknya. Karena posisinya masih menggendong adiknya itu. Melihat pemandangan tersebut, membuat James semakin tersengguk-sengguk. Ia tak kuasa menahan segala macam emosi yang ada dalam raganya. Ia pun teringat, mungkin itu momen terakhir mereka tertawa bahagia bersama. Karena, setelah berapa minggu setelah memamerkan hasil gambarnya. Ibunya dinyatakan mengidap kanker rahim. Selang dua tahun kemudian, tepatnya di saat James dinyatakan naik ke kelas dua sekolah menengah pertamanya, Ibunya menghembuskan napas terakhirnya. Meninggalkan James, ayahnya dan adiknya yang masih berusia tiga tahun. Mengingat itu semua, tangis James pecah seketika. Ia tak lagi dapat membendung air yang deras mengalir dari kedua matanya. Remaja yang kini duduk di kelas dua sekolah menegah atas itu, melirikkan pandangannya pada botol yang tadi ia banting. Dengan lemas ia mengerahkan tenaganya untuk mengambil botol tersebut. Kemudia ia lemparkan pada foto keluarganya yang tergantung besar di dinding seberang, tepat di atas meja gambar ayahnya. Namun, botol itu hanya melayang pendek, dan jatuh tak jauh di meja gambar ayahnya. Hanya berjarak beberapa meter dari kakinya yang kini sudah lagi tak tertekuk. “Kalian jahaat!!” lirihnya sambil memandangi foto berukuran tujuh puluh lima kali seratus meter. Foto itu diambil setelah adiknya lahir, menggantikan foto sebelumnya saat James masih bayi. Foto itu juga terdapat di beberapa ruangan lain di rumahnya. Diantaranya, di ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dan juga di setiap ruangan tidur di ruang tersebut. James masih memandangi foto tersebut dengan cucuran air mata, tak mempedulikan kegaduhan yang ia ciptakan. Kegaduhan itu berasal dari Mbok Tuti, kepala pengurus rumah keluarga James. Ia kaget begitu tak menemukan James berada di kamarnya. Padahal, sudah dua hari anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu, tidak keluar kamar. Sejak rangkaian acara pemakaman ayah James berakhir. “Rita… kamu liat Abang James?” tanya Mbok Tuti, begitu melihat sosok Rita yang baru saja keluar dari ruangan lain. Samping kamar James. “Abang James bukannya di kamarnya Bu? Dia masih belum mau keluar?” tanya Rita nampak seperti tak begitu peduli pada keadaan majikannya itu. “Saya baru cek kamarnya, Abang James enggak ada! Dia nggak keluar, ‘kan?” tanya Mbok Tuti cemas. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan anak pertama majikannya itu. Dua hari James tidak ingin keluar kamar, juga tidak ingin memasukkan jenis makanan apapun ke dalam tubuhnya. “Coba kamu tanya Ayu! Siapa tahu dia lihat…” pinta Mbok Tuti sembari berlari kecil di lorong lantai dua rumah majikannya. Kamar James berada di lantai dua di ujung lorong yang lebarnya dua meter. Sedangkan di sisi lorong hanya terdapat pagar kecil berupa penyangga agar orang tidak terjatuh ke bawah. Karena, lantai antara lantai dua dan satu, cukup tinggi jaraknya. Tiga meter. Mbok Tuti melangkahkan kakinya menuju tangga dengan anak kaki yang lebarnya dua meter, setiap anak tangga dilapisi batu berkualitas tinggi. Tangga yang berbentuk setengah melingkar itu, juga terukir beberapa ornamen klasik pada sisi pagar tangga yang terbuat juga dari batu berkualitas tinggi Mbok Tuti terus melompati anak tangga menuju ruang kerja majikannya, karena besar perasaannya mengatakan. Jika anak majikannya itu pergi ke sana. Ia paham betul, James selalu yang mengurusi Pak Robert begitu ditinggal istrinya. Pak Robert mengalami depresi kronis, dan menghabiskan waktunya di dalam ruang kerjanya sembil meneguk minuman yang ia yakini dapat menenangkannya. Namun, bukannya ketenangan yang ia dapatkan, melainkan kematian yang menjumpainya. Mbok Tuti bernapas lega, ketika mendapati ruangan kerja ayah James terbuka. Dengan langkah hati-hati ia mengintip ke dalam ruangan tersebut. Kemudian ikut menangis begitu melihat anak laki-laki yang ia cintai sedang merana, tersenggukkan, menangis sendu. “Baang…” ucapnya lirih begitu langkahnya sudah memasuki ruangan tersebut. James yang menyadari kehadiran kepala rumah tangganya itu, langsung menatapnya dengan tatapan terusik. “James pengen sendiri Mboook….” ucapnya lirih sembari membuang muka, kembali menatap potret keluarganya. “Abang makan dulu ya, sudah dua hari lho Abang belum makan apa-apa….!” bujuknya menghampiri remaja yang terlihat sangat pucat dan lemas. Badannya terlihat lebih kurus dalam dua hari. Membuat Mbok Tuti semakin sedih. “James pengen sendiri Mbook!” lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari mulut James, yang bibirnya atas tertarik oleh hidungnya. Membetuk belahan antar hidung dan bibirnya lebih dalam dan tegas. “Iya, tapi makan ya… Mbok bawakan makanan ya Bang…” rayunya tak pantang menyerah. “JAMES PEGEN SENDIRI MBOK!” kali ini James teriak, matanya menatap tajam ke arah Mbok Tuti. Tersirat segala macam amarah, kekecawan dan kesedihan yang menumpuk jadi satu. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook