25. The Mohsen

1221 Words
"Buku ini juga membahas tentang keluarga Al-Mohsen. Namun, bisa bebas diakses." Lelaki paruh baya berkacamata tanpa bingkai itu mengambilkan sebuah buku besar dari rak atas dan menyodorkan kepada Siti. The Mohsen. Begitulah judul yang tertera di buku bersampul hard cover warna merah maroon. Buku berbahasa Inggris yang ditulis oleh penulis berkebangsaan Almaas. Namun, Siti tak mengerti mengapa buku tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris. Bukan bahasa nasional. Siti segera menuju sudut ruangan, menuju area tempat duduk agar lebih nyaman dalam membaca. Laila yang mengikuti di belakangnya, menyarankan untuk memilih sofa panjang agar tidak kelelahan. Mengingat Siti hanya tidur sebentar tadi malam. "Kamu tidak ingin membaca buku?" tanya Siti keheranan karena Laila hanya berdiri di sampingnya. "Tidak, saya bertugas untuk menemani Anda. Tidak mungkin saya justru bersantai-santai bersama Anda." Laila menjelaskan demikian kepada Siti. Tentunya pelayan muda itu menutupi kenyataan bahwa dia tidak suka membaca. Lebih baik membersihkan seluruh ruangan seharian daripada membaca seharian di perpustakaan. Menurutnya, membaca seperti siksaan. "Izinkan saya mengambil teh dan kue untuk Anda," ujar Laila mohon diri kepada Siti. "Tentu. Terima kasih," balas Siti paham bahwa Laila tidak ingin bengong terlalu lama di perpustakaan. "Kau baik sekali." Siti mulai membaca buku yang dia kira berisi tentang sejarah lengkap keluarga Al-Mohsen. Namun, yang dia dapati hanya berupa sejarah romantis pendiri keluarga Al-Mohsen. Baiklah. Tentu tidak mengapa daripada tidak tahu sama sekali. Seratus tahun yang lalu, seorang pelajar miskin papa bernama Mohsen yang bermimpi menikahi Putri Raja. Namun, semua orang mengejeknya, karena itu adalah hal yang mustahil. Dia tidak menyerah. Mohsen berusaha menjadi pelajar terbaik yang unggul dalam segala hal. Baik kekuatan fisik, kepribadian, maupun kecerdasan. Mohsen mengikuti seleksi pengawal istana. Karena keahliannya yang menonjol, dia bertugas menjaga kediaman salah satu Putri Raja yang bernama Putri Safeera. Suatu hari, seorang penjahat yang tertarik pada Putri Safeera, berusaha melakukan perbuatan keji dengan menculik sang Putri. Saat itu, Mohsen yang sedang bertugas berusaha mati-matian menyelamatkan sang Putri. Mohsen terluka cukup parah. Namun, pemuda itu berhasil menyelamatkan sang Putri dan diberi imbalan yang sangat besar berupa harta kekayaan dan kedudukan yang tinggi di masyarakat. Tidak ada lagi kata Mohsen si miskin. Pemuda pemberani yang sangat berbakat. Begitulah julukan yang diberikan kepada Mohsen. Dengan modal yang diberikan oleh sang Raja dia mengembangkan bisnis yang bergerak di bidang penjualan berlian. Hingga akhirnya mengharumkan nama Almaas menjadi pusat perdagangan berlian dunia kala itu. Bisnisnya merambah ke dalam banyak hal yang menjadi penggerak roda perekonomian kerajaan Almaas. Mohsen menjadi salah satu orang terkaya di Almaas. Saat ekonomi kerajaan Almaas terpuruk, Mohsen dengan kedermawanannya merelakan sebagian hartanya untuk negara. Dengan rendah hati, dia tidak mau dipuji. Menurutnya, sudah menjadi keharusan seorang warga menolong negaranya. Lagipula, dia merasa hanya mengembalikan semua yang dulunya telah diberikan sang Raja. Sebagai hadiah tertinggi, Raja Harun, penguasa Almaas kala itu, memutuskan untuk menikahkan Putri Safeera yang sudah cukup umur dengan Mohsen. Jadilah Tuan Mohsen menjadi menantu Raja Harun pertama yang bukan dari kalangan bangsawan sejak lahir. Sejarah mencatat, karena Mohsen sangat mencintai Putri Safeera, beliau tidak pernah menikah lagi setelahnya. Mohsen menjadi pria Almaas pertama yang mempunyai satu istri walaupun beliau adalah orang terpandang. Aneh, lalu mengapa Tuan Khalid tidak mengikuti nenek moyangnya saja? Siti bergumam penasaran. Komentar yang reflek tentang majikannya, langsung dia tepis karena tidak sopan. Dari pernikahannya dengan Putri Safeera, Mohsen memiliki beberapa putra. Salah satunya bernama Rashed, yang Siti duga adalah kakek dari Tuan Khalid karena Tuan Rashed ini memiliki putra yang bernama Sulaiman. Generasi terakhir yang dijelaskan dalam buku The Mohsen adalah anak Tuan Sulaiman, Khalid, yang tak lain adalah majikan Siti sendiri. Yang cukup menjadi catatan Siti, Tuan Sulaiman hanya mempunyai seorang putra. Ayah Tuan Khalid tidak menikah lagi, padahal istri beliau meninggal sewaktu Tuan Khalid masih sangat kecil. Informasi terakhir yang didapatkan Siti dari buku yang ada di tangannya adalah mengenai betapa kerasnya Tuan Sulaiman mendidik Tuan Khalid. Beliau ingin memastikan agar putra semata wayangnya yang bisa menjadi pewaris kerajaan bisnis Al Mohsen. Siti kemudian berpikir, apa kira-kira yang terjadi kepada pernikahan tuannya. Dia ingin menemukan benang merah dari semua kejadian yang disaksikannya, dengan informasi yang didapat dari buku ini. "Ah! Benar sekali!" pekik Siti pelan. Semua pria penerus keluarga Al-Mohsen adalah putra pertama. Dididik sejak muda untuk menjadi penerus Al-Mohsen Group. Sedangkan usia Tuan Khalid sekarang sudah hampir tiga puluh tahun, tetapi beliau belum dikaruniai seorang putra pun. Siti sekarang paham mengapa Tuan Khalid menikahi empat orang wanita. Dia sedang menebak, kira-kira konsekuensi apa yang akan diberlakukan oleh Tuan Rashed, kakek tuannya, bila beliau tidak memiliki anak lelaki? Apakah jabatan beliau akan diberikan kepada yang lain? Sepertinya demikian, mengingat hampir semua anak lelaki di keluarga Al-Mohsen dididik untuk menjadi seorang pewaris. Berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan pewaris utama. Buku telah selesai dibaca. Siti menginginkan buku serupa yang lebih informatif. Namun, dia tidak menemukan apa pun. Akhirnya gadis itu memilih untuk membaca buku tentang perekonomian di Almaas yang sukses membuatnya mengantuk dan tertidur pulas di sofa hanya dalam hitungan menit. Tengah hari, Laila yang sedari tadi menunggui Siti yang tertidur pulas, segera menepuk-nepuk Siti pelan agar yang dibangunkan lekas terjaga. Mengingat sebentar lagi adalah jam makan siang. "Nona, bangunlah." Laila membangunkan Siti setengah berbisik. "Nggak mau. Aku masih ngantuk, Siti!" tolak Siti dalam Bahasa Indonesia. Laila merasa kebingungan. Dia tidak mengerti apa yang diucapkan sang tamu asing itu. Lagipula, mengapa tamu tersebut menyebut sendiri namanya? "Nona, bangunlah. Saatnya makan siang!" seru Laila dengan suara yang lebih keras agar Siti segera bangun. "Siti, kalau kau tidak berhenti, aku akan mengadukanmu ke papa agar kau segera dipecat!" bentak Siti membuka mata setengah sadar seraya melemparkan bantal sofa ke Laila. Sang pelayan yang takut-takut, memungut bantal dari lantai. Dia tidak mengerti mengapa tamunya yang tadi sangat baik dan ramah berubah seketika menjadi seperti anak kecil yang sangat manja. Namun, Laila adalah pelayan yang cukup profesional untuk menghadapi situasi seperti ini. Sebelum bertugas di istana Yasmin, dia bekerja di kediaman para putri Raja Yazid yang kelakuannya saat bangun tidur, tidak berbeda jauh dengan kelakuan Siti barusan. "Nona, bisakah Anda berbicara dengan Bahasa Arab lagi?" Laila berkata dengan suara lembut. "Saya meminta maaf atas keterbatasan bahasa yang saya miliki." Kesadaran yang hampir penuh, mulai menghinggapi pikiran Siti. Dia tampak terkejut melihat kondisi di sekitarnya. Wajahnya tampak begitu menyesal. Lalu ditutuplah mulutnya dengan kedua telapak tangan, seolah dia telah mengatakan hal yang tak seharusnya dikatakan. Namun, dia menyadari bahwa orang di hadapannya tidak mengerti bahasa ibunya. Air mukanya pun kembali tenang. "Maafkan aku. Tadi aku mengira berada di tempat lain." Siti meminta maaf kepada Laila karena telah berbuat kasar. Siti sadar, dia berbuat seperti itu karena sekarang sudah mulai terbiasa dengan Bahasa Arab. Cara Laila membangunkannya tadi, membangkitkan hal lain yang sudah lama terkubur dalam dirinya. "Bukan masalah. Anda seperti sangat kelelahan," jawab Laila dengan ramah dan penuh maklum. "Sebentar lagi waktunya makan siang. Anda tidak boleh membuat Pangeran Yusuf menunggu." Siti segera beranjak dari tempat duduknya dan melihat jam di dinding. Dia tertidur lebih dari tiga jam. Gadis itu lalu memungut selimut lembut warna coklat muda di kakinya seraya mengernyitkan dahi. Seingatnya, dia tadi tak memakai selimut. Oh, pastilah Laila yang menyelimuti badannya dengan selimut. "Terimakasih, Laila! Kau baik sekali sampai memberiku selimut," ucap Siti ramah. "Eh? Saya tidak menyelimuti Anda, kok!" jawab Laila yang kini keheranan. Siti dan Laila berpandangan penuh tanya. Bila bukan Laila, lalu siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD