8. Akhir dari "Minggu Tenang"

1024 Words
Akhirnya, ditentukanlah jadwal latihan menyetir Siti dan Ahmed beberapa kali sepekan. Seandainya Sasaki-san tahu akan hal ini, dia akan menangis penuh sesal. Karena dialah saat ini Ahmed dan Siti mempunyai waktu berdua beberapa kali sepekan selama satu jam. Semakin mengenal Siti, perasaan kagum Ahmed akan tekad kuat gadis itu semakin bertambah, seiring bertambahnya waktu yang mereka habiskan bersama. Siapa yang tahu bahwa perasaan itu nantinya akan berubah menjadi sesuatu yang lebih spesial? "Kamu yakin, belum pernah menyetir mobil sama sekali, Siti?" tanya Ahmed suatu hari saat mengajari Siti menyetir mobil. Ini baru pertemuan ketiga, dan Ahmed sudah berani mencoba mengajak Siti ke jalan raya. Ahmed merasa Siti sangat cepat belajar. Terlalu cepat malah. "Hmm ...." Siti menjawab dengan suara yang ambigu. Bisa dikira iya, bisa dikira tidak. Sengaja Siti lakukan untuk mencegah bibirnya mengatakan bahwa satu-satunya hal di dunia ini yang tak pernah ia sentuh adalah boneka. Siti pun menambah keambiguan itu dengan menoleh ke arah Ahmed sambil tersenyum dan mengangkat kedua alisnya, seolah mengatakan kalau dia memang jago dalam hal apa pun. Membuat hati Ahmed berdesir lembut. Menepis desiran di dadanya, Ahmed memalingkan pandangannya ke jalanan sambil berusaha memberikan penilaian yang objektif ke perkembangan belajar Siti. Anak ini luar biasa dalam hal fokus. Fokus tapi santai. Sangat seimbang. Tak nampak kecanggungan sama sekali. Seolah tubuhnya secara natural tahu kapan harus menginjak pedal rem, gas dan kopling dengan tepat tanpa membuat penumpang pusing dan muntah karena gerakan mendadak. Mungkinkah aku ini guru menyetir yang pintar? Batin Ahmed dalam hati. Atau Mungkin memang benar kata guru-guru Siti bahwa anak ini berbakat dan bertekad kuat. Luar biasa mengingat dia adalah seorang gadis desa. Apakah gadis desa di Indonesia seperti Siti semua? Ahmed tersenyum-senyum sendiri mengingat pertama kali bertemu Siti di hotel, dalam keadaan begitu terpuruk. Siti yang sekarang benar-benar berbeda. Benarlah ... semakin hari, semakin bertambah rasa kagum dan simpatik Ahmed ke Siti. Akankah suatu hari nanti Ahmed akan menjilat sendiri ludahnya dan melamar Siti, yang dipikirannya adalah sosok gadis yang menyerahkan diri sebagai b***k kepada Tuan Khalid, untuk menjadi istrinya? Jika benar-benar demikian, maka Sasaki-san pasti akan sangat menyesali kesalahannya karena tanpa sengaja ikut andil dalam mendekatkan mereka berdua. *** "Semua training akan diakhiri pekan depan," kata Ahmed Jumat sore ini setelah selesai sesi mengemudi selesai. Membuat Siti sangat terkejut karena keputusan yang mendadak. Bukankah seharusnya masih ada waktu sekitar dua bulan lagi? Mengapa semua tiba-tiba dipercepat? "Madam Aisha ingin bertemu dengan calon pengasuh bayinya lebih awal. Jumat depan aku akan membawamu ke kediaman Tuan Khalid," tambah Ahmed memberikan alasan atas perubahan rencana. "...." Melihat Siti yang terpaku tanpa jawaban apa pun, Ahmed tersenyum menenangkan kekhawatiran Siti. "Tenang saja. Aku sudah berkonsultasi dengan semua gurumu. Kamu sudah cukup mahir saat ini." "...." "Oh, ya. Kita akan mengambil ujian lisensi mengemudi kamu pekan depan. Semua akan baik-baik saja," kata Ahmed sambil menepuk lembut bahu Siti. Siti menghela nafas panjang. Mencoba memahami situasi dan kondisi. Siti sadar walaupun dia belum merasa siap, dia tak punya pilihan lain selain mengatakan iya. "Baiklah. Saya akan berusaha melakukan yang terbaik," jawab Siti mantap, menyembunyikan kegalauannya. *** Jumat pagi. Siti mengawali paginya dengan membuat sarapan untuk keluarga Ahmed. Roti bakar, sosis panggang dan telur mata sapi ditemani teh rempah hangat dengan s**u. Apakah ini akan menjadi sarapan terakhirnya bersama keluarga Ahmed yang bersikap begitu hangat padanya? Jika memang iya, tentu akan sangat disayangkan. "Ibu akan merindukanmu," kata Mrs. Kadri yang matanya kini berkilat karena genangan air mata yang tertahan. Beliau sangat sedih karena di masa mendatang, pasti akan sangat jarang bertemu Siti yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri walaupun mereka bersama hanya selama beberapa pekan. Namun, usianya yang telah lebih dari setengah abad, membuatnya mampu untuk menahan kesedihannya, agar tidak memberatkan hati Siti. Berbeda dengan Jihan yang matanya sudah memerah dan bengkak karena tak berhenti menangis selepas sholat shubuh tadi. Dia akan sangat kehilangan Siti. Bagaimanapun juga, Siti sudah dia anggap sebagai teman sekaligus saudara perempuan karena usia Siti yang hanya terpaut beberapa bulan lebih muda. Dia selalu menunggu-nunggu saat selesai kuliah karena ingin bercerita banyak kepada Siti. Apalagi sejak Siti mulai mahir berbahasa Arab. Dia jadi tak perlu repot-repot memeras otaknya untuk mengingat kosakata Bahasa Inggrisnya yang tak banyak. "Kakak bilang kamu akan menjadi pelayan di rumah Tuan Khalid. Huhuhu ... bagaimana nanti kalau pekerjaan kamu banyak dan kulit kamu menjadi kasar? Huhuhu ...," isak Jihan sambil terus menuduh tanpa dasar, membayangkan apa yang terjadi pada Siti nanti. Bagaimana istri-istri Tuan Khalid akan memperlakukan Siti? Apalagi para pelayan lain, akankah mereka berbuat baik pada Siti, ataukah sebaliknya? Sungguh, pikiran Jihan sepertinya teracuni oleh opera sabun yang dia tonton setiap hari. "Kamu nanti diberi waktu libur atau tidak? Mereka kaya, seharusnya mereka bisa mempekerjakan pelayan secara shift. Nanti kalau kamu libur, pastikan kamu mengunjungi aku dan Ibu ya ...," cerocos Jihan sambil terus menangis. "Hentikan, Jihan!" bentak Ahmed kepada adiknya agar tidak berlebihan dalam berprasangka. "Pasti mereka akan memberi Siti liburan. Kamu tahu bagaimana Tuan Khalid berbuat baik kepadaku, kan? Bahkan kepada kita semua." Jihan pun menghentikan bicaranya. Mengunci rapat mulutnya, namun masih menangis. Sepertinya, dia tak terima dengan penjelasan Ahmed. Namun, dia tidak bisa membantah juga. Tuan Khalid memang sangat baik kepada keluarga mereka. Walaupun menurut Siti kekhawatiran Jihan agak berlebihan, tapi hatinya terharu menyaksikan ketulusan hati Jihan dan ibunya yang tidak segan-segan mengungkapkan rasa sayangnya ke Siti. Mrs. Kadri bahkan memberikan kenang-kenangan ke Siti berupa sapu tangan yang disulamnya sendiri. Sedangkan Jihan yang tak mau kalah dari ibunya, membelikannya ikat rambut yang cantik dengan hiasan bunga dan kupu-kupu dan diberi tulisan "Siti" dalam huruf Arab. Siti pun mengucapkan terimakasih dan meminta maaf karena dia tidak bisa membalasnya. Sekarang Siti mengerti, mengapa Ahmed berkali-kali menanyakan apakah dia tidak menginginkan gaji. Ternyata walaupun ia tidak akan membutuhkan uang untuk membeli keperluannya sendiri, uang tetap akan dibutuhkan untuk memberi bingkisan seperti saat ini. Mrs. Kadri dan Jihan pun melambaikan tangan saat Siti dan Ahmad sudah masuk ke dalam mobil. Siti membalas lambaian tangan mereka dengan senyuman yang lebar setulus hati. Ahmed yang tanpa sengaja melihat senyuman itu, merasa silau dengan senyuman dan cerahnya wajah Siti. Sisi lain dari diri Siti yang baru pertama kali dilihat Ahmed, yang lagi-lagi membuat hati Ahmed berdesir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD