5. Ditembak Nero

1851 Words
Tangan Muti sontak terangkat untuk memukul punggung Damar hingga cowok itu terbatuk-batuk. “Marmut!! Sakit, k*****t!!” Teriaknya sambil mencubit pipi Muti dengan kesal. “Aduh!” teriak Muti sambil mengusap pipinya. “Jadi ini bukan mimpi ya?” Bisiknya kemudian pada Damar. Damar melotot. “Itu cowok mabuk kali!” Kemudian ia berpaling menatap Nero. “Maksud lo apa sih?” “Aku rasa ini bukan urusan kamu,” jawabnya datar sambil meraih tangan Muti. “Ayo pergi dari sini.” “Enak aja!” Tangan Damar meraih tangan Muti yang lain. “Marmut lagi makan!” Seumur hidupnya, Muti paling tidak suka menjadi pusat perhatian. Dan hari ini, ia sukses menarik perhatian semua orang yang ada di kantin karena dua cowok ini. Ia menyentak dua tangan itu dan berkacak pinggang dengan kesal. Jujur, ia benci menjadi pusat perhatian seperti ini. Apalagi itu disebabkan oleh dua cowok paling populer. Hal tersebut hanya akan membuat cewek-cewek menjadi semakin tidak menyukainya. “Apa-apaan sih kalian!” katanya sebal sambil berlalu dari kantin. Peduli amat dengan bakso yang masih melambai-lambai dan belum ia bayar itu. Lagipula ada Damar di sana. “World, bakso belom lo bayaaarr!!” “Bayariiinnn!!” teriaknya sambil berlari keluar kantin diiringi sorak-sorai anak-anak cowok dan juga pandangan penuh kebencian dari cewek-cewek. Muti berlari ke kelas mengambil baju seragam dan tas sekolahnya. Ia tidak pernah membolos, tetapi satu kali ini, ia tidak ingin belajar dengan Nero duduk di sampingnya. “San, bikinin gue surat ijin sakit ya.” “Lo mau ke mana?” “Pulang. Gue pusing!” Jawabnya sambil keluar kelas sebelum Nero menyusulnya. Tidak dipedulikannya teriakan Sandy yang mendayu-dayu memanggilnya. Ia terus berlari sepanjang koridor hingga sampai di gerbang samping sekolah yang jauh lebih sepi dari gerbang utama, kemudian memanggil tukang ojek yang biasa mangkal di sana. Oke, ia memang jatuh cinta pada Nero. Salah, itu mungkin bukan cinta. Ia mungkin hanya menyukai Nero. Dan untuk benar-benar menjadi pacarnya, Muti tidak pernah berani membayangkannya. Ia tahu siapa dirinya. Dirinya hanyalah itik buruk rupa yang tidak akan memiliki pacar seperti Nero. Astaga, Mama pasti akan langsung pesta kembang api tujuh hari tujuh malam begitu tahu ada cowok yang naksir Muti. Meskipun jelas disukai cowok popular adalah berkah, tetapi Muti tahu jika dengan menjadi pacar Nero, ia hanya akan menjadi musuh semua cewek-cewek di sekolah. Semua anak perempuan itu akan membencinya dan Muti harus terpaksa menghabiskan masa SMU-nya di balik bully-an. Ia tidak ingin menghabiskan masa sekolahnya dengan bersembunyi di dalam gudang atau kamar mandi sekolah yang baunya minta ampun. Muti ingin saat nanti mengenang masa SMU-nya ia akan tersenyum bahagia. Meskipun tidak memiliki pacar. Setengah mendesah dengan dramatis, Muti mengeluarkan buku gambar yang selalu ada di dalam tasnya. Jika ada satu kelebihan yang bisa ia sombongkan, itu adalah keahliannya menggambar. Meski tidak pernah ikut lomba seperti Langit, ia cukup layak disandingkan dengan adiknya itu. Jika mau, Muti bisa saja mengikuti lomba seperti Langit. Namun ia tidak mau. Muti tidak pernah ingin menjadi perhatian orang-orang. Sejak kecil, ia sudah cukup 'kenyang' dengan perhatian orang-orang tentang dirinya yang sangat tidak mirip dengan dua saudaranya. Dan itu menyakitkan. Ia selalu dicibir orang karena terlalu berbeda dengan kakak dan adiknya yang rupawan. Banyak orang tidak percaya jika ia adalah adik Satu Bintang yang keren dan pintar itu. “Heh, tukang bolos!” Suara itu membuat Muti melengos. Jika ada orang yang tahu di mana Muti biasa menyendiri, Damar-lah orangnya. Tempat persembunyian Muti tidak pernah berubah sejak dulu sampai sekarang. Selalu di taman SMU Bakti Bangsa. Ya, taman di sekolah milik keluarga Damar. “Lo sogok apa Pak Min kali ini?” Muti mendongak dan menyeringai. “Gue sogok dengan doa yang tulus dan ikhlas agar Pak Min dan Mbak Har bahagia selalu selamanya sampai maut memisahkan.” “Lebay lo, Marmut!” Teriak Damar sambil menarik rambut Muti dan duduk di sampingnya. Muti terkikik dan melanjutkan lagi kegiatan menggambarnya. Ia sedang menggambar anak-anak Bakti Bangsa yang sedang bermain basket dan Damar sudah tahu untuk tidak mengajaknya bicara jika dirinya sedang menggambar. “Nggak ada yang ngomongin gue kan?” Tanya Muti ketika dia mulai mewarnai. Damar mendengkus pelan. “Nero kalang kabut nyariin lo dan itu sudah cukup buat lo jadi bahan omongan satu sekolah.” Tampaknya akan terjadi lagi. Dulu saat masih sekolah di sini, ia juga menjadi pusat perhatian gara-gara ia berteman dengan Damar, Pangeran Bakti Bangsa. Sekarang giliran Nero yang menorehkan lagi tinta hitam itu di wajahnya. “Kalian itu, cowok-cowok popular, bisa nggak sih deketinnya cewek-cewek populer juga? Kalian cuma bikin masa sekolah cewek-cewek cupu kayak gue ini sengsara, tahu nggak,” gerutunya sambil masih asyik mewarnai. “Siapa yang bilang lo cupu?” Muti tersentak mendengar nada marah yang digunakan Damar. Ia menoleh dan melihat cowok itu melotot padanya. “Oke, nggak cupu-cupu amat! Tapi tetep aja gue ini bukan cewek yang masuk daftar teratas untuk dijadikan teman apalagi pacar.” “Berisik lo, Mut! Udah lo gambar aja. Gue mau tidur!” Damar menaruh tasnya di rumput lalu berbaring dengan nyaman dan memejamkan mata. “Seragam lo bisa kotor, Kunyuk!” “Bodo amat, Marmut! Bodo amat! Diem ah lo!” Muti menatap Damar. Ia ingin bertanya kenapa cowok itu ikut membolos. Namun, ia juga cukup tahu diri untuk tidak membuka mulutnya lagi. Tidak peduli apa alasannya, yang penting Damar di sini bersamanya. Meski tengil, cowok itu selalu melindunginya. Damar adalah sahabat terbaik yang dimilikinya dan ia tidak ingin menukarnya dengan apapun. Selama beberapa saat, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Muti masih ayik mewarnai sementara Damar mungkin benar-benar tertidur. Ini adalah hal paling nyaman yang Muti alami hari ini. “Hmm ... ada penyusup rupanya ya ...” Muti berdiri dengan cepat ketika mendengar suara itu, sementara Damar hanya membuka matanya. “Marmut yang nyusup, Pa, bukan Damar,” kata Damar dengan santai. “Tapi kamu nemenin kan? Itu artinya kamu juga penyusup. Bolos kok ke sekolah orang.” Pria itu tersenyum dan menunduk untuk menjitak kening Damar. “Aduh! Sakit, Pa!” Akhirnya cowok itu duduk dengan bibir cemberut. “Lagian, ngapain kalian bolos coba?” “Maaf, Pak, saya yang membolos. Bukan Damar. Dia cuma ngikutin saya,” kata Muti dengan gugup. “Dia ada di sini sama kamu, itu artinya dia membolos, Nak,” jawab pria itu masih sambil tersenyum. “Ikut ke kantor sekarang.” Muti melotot menatap Damar yang cengengesan. Yah, salah satu kekurangan jika Damar ada di sini adalah, cowok itu pasti akan masuk melewati gerbang utama sehingga semua orang akan tahu. Termasuk pemimpin tertinggi sekolah ini, Erlangga Saputra Widjaya yang tak lain adalah Om dari Damar. Sejak dulu, konon kabarnya, Pak Erlangga adalah pujaan semua guru dan murid-murid perempuan di sekolah ini. Meskipun terkenal tegas dan bahkan sedikit galak di sekolah, Pak Erlangga adalah sosok pria yang sangat mencintai keluarganya terutama istri beliau yang bahkan masih sangat cantik di usianya yang tidak muda lagi, Violet. Dan tentu saja, wanita cantik itu ada di ruang kantor Pak Erlangga. Pria itu jarang sekali bekerja tanpa ditemani istri yang juga merangkap sebagai sekretaris pribadinya itu. Mereka berdua benar-benar tak terpisahkan. “Damar Widjaya, bolos lagi kamu, Nak?” Tanya wanita cantik itu seraya melepas kacamatanya. “Damar nggak bolos, Ma. Cuma…” “Saya yang bolos, Bu Violet. Damar saya paksa nemenin,” potong Muti membuat Damar melotot. “Kok datangnya nggak barengan kalau nemenin?” Tanya Erlangga membuat Muti semakin menunduk karena ketahuan bohong. “Dasar anak muda,” ucap Violet kemudian sambil terkekeh. “Maunya pacaran terus ya? Nggak mau belajar?” “Eh, kita nggak pacaran, Bu.” Muti menggelengkan kepala. “Mama!” Damar kembali cemberut sambil duduk di sofa. Tangannya menyeret Muti untuk ikut duduk di sampingnya. “Marmut nggak bolos, Ma. Dia Cuma…” “Pulang sekolah sebelum waktunya?” potong Violet lagi sebelum Damar menyelesaikan perkataannya. “Mama udah deh. Kita nggak akan ulangin lagi. Janji. Ini juga baru pertama kali Marmut bolos.” “Terus kamu? Udah berapa kali kamu bolos? Mau Papa laporin sama Bunda kamu?” “Jangaaann!! Damar janji ini yang terakhir, Pa!! Sueeeer!!” Seru Damar seraya mengacungkan dua jarinya. Muti mengangkat tangan untuk menyembunyikan senyumnya. Sejak kecil, Damar sangat dekat dengan Om dan Tantenya yang ia panggil Papa dan Mama itu. Ayah kandung Damar meninggal sejak ia masih di dalam perut Tante Hannah, ibu kandung Damar. Beruntung, sekarang Damar memiliki ayah sambung yang sangat menyayanginya juga. “Lo jangan bolos lagi ya, World. Awas kalau lo bikin gue ikutan bolos lagi.” Muti melotot. “Dih, kok gue? Kan gue nggak ngajakin elo bolos!” Muti menggigit bibirnya saat menyadari ia masih berada di kantor pemilik sekolah. Ia menoleh dan tersenyum malu pada Violet yang juga tersenyum menatapnya. “Maaf, Bu, saya ...” “Tidak apa-apa. Masa muda memang harus dinikmati. Sekali-sekali membolos juga nggak masalah.” “Violet ...” “Apa?” Violet menoleh pada suaminya. “Kamu juga dulu tukang bolos kan?” “Hah! Katanya aja Damar nggak boleh bolos, tahunya Papa tukang bolos!” seru Damar sebal. Erlangga melotot pada istrinya yang disambut tawa cekikikan Violet. Dalam beberapa hal, wanita itu tampaknya sama menyenangkan seperti Mama dan Tante Hannah. Muti bertanya-tanya apa mungkin mamanya juga mengenal Tante Violet? “Makanya kalau mau bolos jangan ke sini. Mana mungkin Mama nggak tahu kalau kamu ke sini.” “Maaf, Bu, ini benar-benar salah saya,” ucap Muti tak enak. Gara-gara dia, Damar jadi ketahuan oleh Om dan Tantenya. “Bukan salah kamu. Kan kamu nggak ngajak dia. Dianya aja yang maunya ngikutin kamu ke mana aja.” “Mama!” “Apa? Bener kan? Sampe Muti pi...” “Ayo, Mut, gue anter pulang!” Damar meraih tangan Muti dan berdiri sebelum Violet menyelesaikan perkataannya. “Lho kok pulang? Kan kalian lagi bolos? Ketahuan dong kalau pulang jam segini?” “Habis Mama berisik di sini,” jawab Damar sambil cemberut. Violet kembali terkikik menatap Damar yang cemberut, kemudian wanita itu meraih tasnya. “Ikut Tante aja yuk, Muti.” “Mau ke mana, Sayang?” Tanya Erlangga dengan heran. “Kamu mau ikutan bolos juga?” “Rahasia. Urusan cewek. Damar, kamu di sini sama Papa.” “Tapi, Ma ...” “Tapi, Violet ...” Protes mereka bersamaan. “Kalian di sini. Titik. Tunggu kami pulang.” Violet mencium bibir suaminya yang cemberut dan merebut tangan Muti dari tangan Damar. “Awas jangan ke mana-mana ya. Tunggu di sini!” Perintahnya lagi sebelum menutup pintu dan meninggalkan dua orang itu. “Kita ... kita mau ke mana, Bu?” Tanya Muti takut-takut. Ia tidak terlalu mengenal Violet sebelum ini, jadi ia tidak tahu bagaimana sebenarnya wanita itu. Kadang, orang yang kelihatan baik dan menyenangkan di awal, belum tentu akan selalu seperti itu. Violet menoleh dan tersenyum. “Bersenang-senang. Kamu harus memanfaatkan waktu bolos kamu yang berharga.” “Tapi ...tapi, Bu ...” “Nggak usah takut, aku nggak anterin kamu pulang atau laporin kamu ke polisi.” “Terus kita mau ke mana, Bu?” Kembali Violet tersenyum padanya. “Bersenang-senang, Sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD