“Kamu tidak bisa keluar, ini sudah perintah dari Nyonya Besar.”
“Apa maksudnya? Kemarin saya keluar, tidak masalah.”
“Ya itu kemarin, karena pertolongan Tuan Sten, namun mulai sekarang kamu tak diperbolehkan keluar kemanapun, dan kalau mau keluarpun harus dengan izin dari Nyonya Besar, atau Ria.”
“Kenapa keluar dari rumah ini harus izin mereka? Saya—”
“Kamu mau dengar atau tidak, ini sudah perintah. Kamu tak akan bisa lolos.” Salah satu bodyguard di rumah keluarga Riyadi, menjelaskan perintah dari Erika langsung. Sungguh, Fre mengira ini akan baik-baik saja, ternyata ini berubah lagi?
“Aku akan menelpon Paman Stenly.”
“Tidak ada gunanya menelpon Tuan Sten, karena Tuan Sten ke luar kota hari ini.”
“Luar kota? Mendadak?”
“Ya. Beliau bukan pengangguran seperti kamu.”
“Kamu berusaha keluar lagi?” tanya Ria yang baru datang dan menghampiri Fre yang saat ini kebingungan harus bagaimana.
“Ria, aku harus kuliah, aku punya Impian sendiri dan aku tidak bisa bergantung pada keluarga ini.”
“Kamu tetap tak boleh keluar, karena ini perintah langsung dari Nyonya Besar. Mulai sekarang, kamu tidak bisa kemana-mana. Tidak ada jalan untuk kamu. Semua sudah dijaga ketat. Jadi, jangan buang tenagamu untuk hal tidak berguna.” Ria melanjutkan.
Fre menoleh menatap Ria, emosinya meningkat ketika Ria mengatakan apa yang dia lakukan adalah hal tidak berguna.
“Apa? Tidak berguna? Bagimu mungkin tidak berguna, tapi bagiku sangat berguna. Sebelum masuk kemari, aku punya masa depan, aku punya teman dan aku kuliah, kenapa keluarga ini merenggut semuanya?”
“Seharusnya kamu tahu konsekuensi yang akan kamu terima jika setuju menikah dengan Tuan Muda Jael.”
“Selama aku di sini, aku tidak pernah mengabaikan Jael, aku selalu ada disampingnya dan merawatnya, bahkan aku yang menemani malamnya, lalu apa lagi yang harus ku lakukan? Aku tidak mungkin kehilangan masa depan hanya karena permintaan keluarga ini.” Fre berusaha tenang, walau hatinya sudah penuh dengan amarah.
“Tetap saja kamu tidak boleh kemana-mana, ini perintah dari Nyonya Besar, melanggarnya juga sama saja cari mati.” Ria lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Fre yang masih berusaha keluar, namun tetap saja ia dihadang oleh bodyguard keluarga ini.
Sungguh menyebalkan.
Fre dengan terpaksa kembali ke kamarnya, ia menangis terseduh-seduh karena harus kehilangan semuanya dalam sekejap. Ia tidak membutuhkan uang atau harta keluarga ini, ia hanya ingin hidup dengan pilihannya, kuliah bukan berarti ia akan mengabaikan Jael, ia masih bertanggung jawab terhadap Jael.
Kekecewaannya bertambah ketika tahu bahwa Stenly ke luar kota, bahkan Stenly tak bilang kepadanya, sungguh sial hari ini.
Fre menatap Jael yang masih berbaring tak sadarkan diri diatas ranjang, setiap hari ia harus menemani Jael tidur, sama saja tidur dengan mayat hidup, suara-suara alat medis itu mengganggu tidurnya setiap malam, namun Fre tidak pernah mengeluh, ia Jalani semuanya dengan Ikhlas. Namun, Erika tak tahu dan tidak mau tahu semua itu.
“Ini semua karena kamu, kamu yang sudah menghancurkan masa depanku, ibumu, ayahmu dan pamanmu itu jahat padaku, kamu tidak mau bangun membelaku dan memberikan ruang kebebasan untukku?” tanya Fre pada Jael. “Aku membencimu, aku membenci semua yang ada di rumah ini.”
Fre menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia menangis terseduh-seduh dan bingung mau kemana, ia tak punya tujuan lagi, semua sudah direnggut keluarga Riyadi. Semua wistlist yang sudah ia simpan dalam hati, hancur dalam sekejap, hilang tak terkendali.
“Mama,” lirih Fre merindukan ibunya. “Selamatkan aku, Ma. Aku ingin ketemu Mama.”
Fre berbaring di sofa, ia menangis dan menatap kosong Jael didepan sana, Jael benar-benar seperti mayat hidup, jika semua alat penunjang hidupnya di copot pasti ia sudah lama meninggal, namun mengapa Jael masih seperti ini? Apakah tidak ada perkembangan pada kondisinya?
Fre juga masih penasaran, Jael sakit apa sebenarnya? Kenapa semua orang tidak membahasnya? Kenapa semua orang menyembunyikannya?
“Bagaimana hidupku selanjutnya? Dunia ini benar-benar kejam kepadaku.”
***
Fre tengah sarapan, semua pekerja di rumah ini membencinya, tak ada yang menyiapkannya makanan, jika mau makan, ia harus usaha sendiri dan ia harus masak sendiri, benar-benar seperti penjara.
Tak ada sisa makanan ataupun sisa nasi yang disimpan untuknya, semua menghabiskannya, jadi Fre harus masak nasi dulu, untuk bisa makan, ia juga langsung menggoreng nasi ketika beberapa menit nasinya sudah masak.
Ternyata hidup yang ia bayangkan tidak seperti yang terjadi saat ini, ini tak ada bedanya dengan penjara.
Beberapa hari ini, dia sudah meratapi nasib, ia kesepian, ia tidak tahu mau mengadu kemana, ia tidak tahu mau kemana, semua seolah buntu.
Fre batuk, karena terlalu banyak pikiran, jadi ia keselek, ia terus memukul dadanya pelan, Fre lupa ambil minum, ia pun hendak bangkit dari duduknya, namun seseorang menyodorkan segelas air putih didepannya.
Fre menoleh dan melihat Stenly yang saat ini berdiri didekatnya.
“Stenly? Eh maksud saya … Paman Stenly?”
“Ya. Minum dulu,” kata Stenly lalu duduk di hadapan Fre.
Fre lalu meneguk air putih itu hingga tandas, dan ia merasakan kelegaan didadanya. Hampir saja ia mati tadi, namun tak ada yang menolongnya, padahal semua orang sedang melihatnya.
“Bukannya Paman di luar kota?” tanya Fre.
“Iya. Aku sudah pulang,” jawab Stenly.
Tak lama kemudian, Ria datang dan membungkukkan badannya didepan Stenly.
“Tuan, saya akan siapkan sarapan secepatnya.”
“Saya mau sarapan seperti Fre.”
“Tapi—”
“Tapi, apa?” tanya Stenly menatap Ria. “Saya mau sarapan seperti Fre. Harus persis seperti yang dia makan.”
“Aku tadi menggoreng nasinya sedikit, jadi tidak ada sisa,” kata Fre.
Ria membulatkan mata mendengar jawaban dari Fre yang jujur pada Stenly bahwa yang menggoreng nasi adalah Fre sendiri.
“Apa? Kamu menggorengnya sendiri?” tanya Stenly.
“Iya. Aku akan menggorengnya untuk Paman.”
“Sebentar, kamu memasak sarapanmu sendiri?”
“Bukan hanya sarapan, makan siang, makan malam, atau cemilan pun aku membuatnya sendiri. Aku mana bisa makan kalau tak membuatnya sendiri.”
Stenly menoleh melihat Ria, tatapan Stenly penuh dengan intimidasi.
“Lalu gunamu kerja di sini apa? Kalau anggota keluarga ini menyiapkan makanannya sendiri?” tanya Stenly membentak Ria.
“Tuan Sten, saya—”
“Apa? Banyak maid di rumah ini, namun tak satupun yang memasak untuk Fre?”
“Tuan, saya minta maaf, tapi—”
“Kamu yang memerintahkannya?”
“Saya di perintahkan Nyonya Besar untuk tidak memanjakan Fre, Tuan Sten.”
“Dan, kamu mendengarkannya? Sementara di rumah ini ada saya.”
“Sudah, Paman, aku tidak apa-apa kok, biarkan saja seperti ini.”
“Tidak bisa. Aku tidak akan biarkan siapa pun melakukan hal ini, mereka dibayar dan digaji setiap bulan tanpa telat, namun mereka melanggarnya.”
Ria lalu berlutut dihadapan Stenly dan memohon pada Stenly untuk memaafkannya.
“Tuan Sten, saya minta maaf, jangan pecat saya.”
“Kamu jangan minta maaf sama saya, minta maaf sama Fre.”
“Fre, eh Nona Fre, saya minta maaf,” lirih Ria.
Fre menoleh dan menatap Stenly yang terlihat marah besar.