Pagi menyingsing saat sang surya memancarkan sinar pertamanya. Kicauan burung-burung pagi di langit saling membising bersahutan. Mereka tampak gembira menyambut esok baru. Beterbangan ke sana kemari, mengitari sebuah rumah yang mewah bersusun bak istana raja. Temboknya yang besar dicat putih perpaduan emas, tamannya yang terbentang luas tampak begitu asri, dan di depan pintu gerbangnya terdapat sebuah plat bertuliskan 'Abraham House'.
Di sebuah ruang keluarga dengan Interior yang elegan, seorang wanita paruh baya tampak duduk di antara sofa-sofa mewah. Wanita itu tengah asyik bermain gadget-nya. Seorang pelayan wanita berseragam hitam putih menghampirinya dengan nampan berisi teh hangat.
"Silakan menikmati teh hijaunya, Nyonya," kata pelayan itu sembari menaruh teh hijau hangat di meja kaca.
Wanita itu meletakkan gadget-nya, dan mengambil secangkir teh tadi dari meja. "Terima kasih, Emine," ucap wanita itu ramah. "Oh iya, buatkan juga suamiku kopi ya," pintanya.
"Baik, Nyonya Lucia." Setelah mengatakan itu, pelayan bernama Emine itu lantas beranjak dari sana.
"Kau sedang apa, Sayang?" Seorang laki-laki paruh baya–mengenakan kemeja coklat dan celana hitam–tengah bergerak mendekatinya. Dia adalah Abraham, suami Lucia dan juga ayah Disha.
"Aku hanya duduk saja," kata Lucia pada pria yang merupakan suaminya itu. "Kau duduklah sini, aku sudah meminta Emine untuk membuatkan kopi untukmu," lanjutnya.
"Baiklah." Abraham bergerak ke arah sofa dan duduk di samping istrinya. "Mereka belum bangun?" tanyanya–merujuk pada Darrel dan Disha.
"Mereka pengantin baru, mungkin masih tidur. Hehehe," jawab Lucia terkekeh.
"Kau benar. Hahaha."
Abraham dan Lucia tertawa bersamaan. Sesaat kemudian, Emine datang dengan nampan berisi segelas kopi hangat dan semangkuk cemilan.
"Ini, Tuan, kopinya. Selamat menikmati," kata Emine setelah menaruh sajiannya di meja.
"Oh iya, Emine. Nanti tolong buatkan teh juga untuk Disha dan Darrel ya," pinta Lucia.
"Baik, Nyonya. Aku sudah menyiapkan itu. Jika mereka sudah bangun nanti aku akan menghangatkannya lagi lalu mengantarkannya ke kamar," ucap Emine. Lantas pelayan itu menatap ke arah tangga, ia tersenyum saat melihat Disha dan suami barunya menuruni tangga sembari bergandengan tangan. "Oh itu, Nona Disha dan Tuan Darrel sudah bangun," serunya memberitahu.
Abraham dan Lucia menoleh bersamaan ke arah tangga. Mereka pun tersenyum melihat anak dan menantunya yang tampak romantis.
"Baiklah, Emine. Cepat bawakan teh mereka. Dan beri tahu juga pada pelayan lainnya untuk segera menyajikan sarapan pagi secepatnya, ya!" perintah Lucia dengan sopan. Lucia memang tipikal orang yang selalu rendah hati pada siapapun. Tak peduli itu pegawainya atau temannya.
"Baik, Nyonya." Emine pun segera bergegas ke dapur.
"Kalian sudah bangun?" Abraham bergerak memapak putri dan juga menantunya itu. "Sepagi ini kalian bangun? Ini tidak cocok untuk pengantin baru. Hehe."
"Memangnya kami seharusnya bangun jam berapa, Ayah mertua?" sahut Darrel tersenyum.
"Yah, mungkin … agak siangan dikit lah," kata Abraham–tertawa kecil.
"Papa, aku kan memang selalu bangun pagi. Kenapa Papa mempermasalahkan hal itu?" Kali ini Disha yang menyahut.
"Bukan begitu putriku, kalian kan masih pengantin baru. Apa kalian secepat itu meninggalkan kamar tidur, hem?"
"Sudahlah, Abraham. Kau membuat mereka tersipu malu," ucap Lucia ikut nimbrung.
"Ibu lihat, Papa selalu saja menggodaku. Aku ini sudah besar, Ayah. Aku sudah menikah, bukan putri kecil lagi." Disha bergerak ke arah Abraham dan memeluknya.
"Sebesar apapun dirimu, bagi ayah kau tetap putri kecilku yang lucu." Abraham mencium kepala Disha berkali-kali. "Putri rajaku, belahan jiwaku, putri kebanggaan Papa sudah menikah." Bisa terlihat kalau Abraham itu sangat menyayangi putri semata wayangnya. "Bagaimana tidurmu, apa nyenyak? Atau kalian tidak bisa tidur?" tanyanya kemudian.
Disha melirik ke arah Darrel yang juga malu-malu.
"Kau ini selalu saja membuat mereka tersipu," tegur Lucia pada suaminya seraya tersenyum. Lantas wanita itu bergerak ke arah menantunya. "Oh iya, Darrel, sekarang kau adalah menantuku. Kau tidak perlu lagi memanggilku Tante seperti biasanya. Mulai sekarang, panggil aku ibu. Oke?" Lucia mengelus bahu Darrel. Terlihat kasih sayang seorang ibu yang tergambar saat itu.
"Baik, I-bu," seru Darrel canggung disertai anggukan kepala.
"Oh iya, Papa belum memberikan hadiah pernikahan untukku?" ucap Disha membuat perhatian mereka mengalih padanya.
"Apa ibumu sudah memberikannya?" tanya Abraham.
"Sudah, dong. Ibu memberikan kalung manis ini untukku." Disha memperlihatkan kalung apel berwarna merah ruby yang mengikat di lehernya. "Kata ibu ini warisan dari nenek, benarkan ibu?"
Lucia mengangguk dan tersenyum.
"Bahkan ibu juga memberikan hadiah mobil untuk menantu ayah," lanjut Disha memberitahu kalau Lucia menghadiahkan sebuah mobil mewah untuk Darrel.
"Oh iya?"
"Iya. Ibu mertua memang baik. Aku ingin menolaknya, tapi ibu memaksanya," kata Darrel sembari menatap Lucia yang tersenyum.
"Itu bagus, kau tidak boleh menolaknya. Kau memang pantas mendapatkannya," kata Abraham pada Darrel. Lantas pria itu bergerak ke arahnya. "Sini, biar aku memeluk menantuku ini." Abraham tampak senang memeluk Darrel. "Kau tahu, dulu aku sangat mendambakan seorang putra. Tapi setelah kau menikah dengan Disha, impianku itu sudah terwujud. Aku memiliki putra dan juga putri sekarang. Aku sudah menganggapmu sebagai anakku sendiri," seru Abraham sembari mengelus punggung Darrel.
"Terima kasih, Ayah mertua."
"Jadi hanya ayah ya yang belum memberi kalian hadiah?" kata Abraham lalu merenggangkan pelukannya. "Baiklah, kalau begitu … pertama Ayah akan mengatakannya pada menantuku ini." Abraham kembali menatap Darrel. "Darrel, aku tidak akan memberikan hadiah untukmu, tapi aku ingin meminta sesuatu darimu. Aku akan memberikan tanggung jawab untukmu. Pertama, berjanjilah kau akan selalu menjaga putriku."
"Ayah, kenapa kau meminta janji seperti itu? Kau tidak perlu memintanya aku akan tetap menjaga Disha. Dia adalah segalanya bagiku," kata Darrel seraya menggenggam tangan Abraham–tanda sebuah janji yang diikrarkan. "Aku berjanji padamu aku akan selalu membahagiakan putrimu!"
"Kau memang menantu kebanggaanku!" Abraham merasa terharu dengan perkataan Darrel. "Baiklah, selanjutnya … aku ingin kau bertanggung jawab untuk mengurus semua perusahaan dan bisnis-bisnisku. Mulai sekarang semua perusahaanku adalah milikmu dan Disha. Kalian harus menjaganya bersama-sama. Apa kau sanggup?"
Darrel merasa terkejut dengan ucapan Abraham. Ia tak menyangka mertuanya itu akan memberikan tanggung jawab sebesar itu padanya. Abraham menyerahkan perusahaan yang lagi naik daun itu untuknya. Tidak ada hadiah yang lebih besar dari ini baginya. "A-apa? Maksudnya … aku akan menjadi pemimpin perusahaan, Ayah?"
Abraham memegang kedua lengan Darrel dan mengangguk pasti. "Iya. Kau akan segera dinobatkan sebagai presiden direktur untuk Abraham company. Semua bisnis dan aset apapun adalah milikmu. Kenapa? Apa kau tidak senang?" tanya Abraham yang melihat ekspresi Darrel yang masih kebingungan.
"Tentu saja aku senang, Ayah." Darrel spontan memeluk Abraham lagi. "Aku berjanji akan mengurus semuanya dan membuat Ayah mertua bangga," seru Darrel. Pria itu merenggang pelukannya dan berkata, "Aku tidak akan membuatmu kecewa. Aku berjanji!"
"Aku percaya padamu, Nak!" ujar Abraham sembari menepuk pipi Darrel. "Itu adalah hadiah dariku. Oh sorry, bukan hadiah. Tapi permintaan. Hehe."
"Apa maksud, Ayah, ini hadiah terbesar untukku. Aku sangat berterima kasih." Wajah Darrel tampak berseri-seri. Bagaikan seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru.
"Oh, jadi hanya menantunya saja yang mendapat hadiah?" sahut Disha di tengah-tengah pembicaraan mereka. "Ibu, kurasa Papa sudah melupakan putri rajanya ini," sindirnya dengan nada bercanda.
"Oh, putri rajaku." Abraham beralih ke arah Disha. "Baiklah, sekarang katakan. Kau ingin Papa memberikan apa? Apapun yang kau inginkan Ayah akan menurutinya. Apapun itu!"
Disha tersenyum, menunduk dan menatap ayahnya lagi. Lalu ia berkata, "Tidak, Papa. Aku sudah memiliki segalanya. Aku memiliki ayah dan ibu yang sangat sayang padaku. Aku juga sudah memiliki suami yang cinta mati padaku. Kekayaan dan segalanya aku pun sudah memilikinya. Aku hanya ingin Ayah dan Ibu selalu bahagia." Disha mengambil tangan ibu serta ayahnya, lantas menyatukannya bersama tangannya. "Aku ingin kalian berumur panjang dan hidup bahagia bersama kita. Itu saja."
Mendengar perkataan putrinya, membuat hati Lucia dan Abraham terenyuh. Spontan, mereka memeluk erat putri semata wayangnya itu. Mereka bertiga menangis bersamaan.
"Kau memang putri ayah. Kau putri kebanggaan kami," seru Abraham.
"Ibu akan selalu hidup dan melihatmu bahagia, Nak. Ibu sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah menganugerahi seorang putri sepertimu." Lucia semakin menderaskan air matanya.
Abraham menyeka air matanya yang hendak membanjiri pipi. Ia menatap Darrel yang berdiri lima langkah di sampingnya dan memberi petunjuk untuk menghampirinya. "Kemarilah, Nak!"
Darrel mendekat. Bahkan mata pria itu ikut berkaca-kaca melihat keluarga haru di depannya.
"Mari kita semua berpelukan." Abraham menggandeng Darrel dan memeluknya dari samping. "Sekarang kita adalah keluarga yang bahagia."
Mereka berempat berpelukan dan tersenyum lebar.[]
***
TO BE CONTINUED