Honeymoon Planning

1863 Words
Abraham merengkuh bahu Darrel dan Disha, membimbingnya melangkah menuju sofa. Sementara Lucia membuntutinya dari belakang. Mereka duduk di sofa saling berpasangan—Darrel dengan Disha, Abraham dengan Lucia. "Oh iya, kalian sudah merencanakan bulan madu ke mana?" tanya Abraham setelah menyeruput kopi hangatnya. Lelaki paruh baya itu melirik ke arah putri dan menantunya yang masih saling beradu pandang. "Bagaimana kalau ke Swiss? Papa punya tiketnya, loh!" serunya sembari meletakkan cangkir di meja kaca kembali. "Swiss?" Disha tampak berpikir. "Yah, Papa si terserah kalian gimana enaknya." Pria paruh baya itu merekatkan punggungnya di sandaran sofa, mengangkat satu kakinya untuk ditumpangkan di kaki lainnya. "Papa berpikir karena kalian sudah sering ke London, Paris, America, mungkin kalian bosan di sana. Apalagi kuliah kalian dulu juga di London, 'kan?" Abraham memberi jeda sejenak. "Swiss itu bagus loh, panorama alamnya indah. Dulu kami juga bulan madu di sana. Iya, kan, Ma?" Abraham melirik ke arah istrinya yang sibuk terpaku pada gadget-nya. "Ehm." Lucia mengangguk. "Memang indah. Lihat!" Wanita berambut sebahu itu menunjukkan foto-foto keindahan Swiss pada dua sejoli yang duduk manis di sofa dekatnya. "Papa menawari ini karena Papa punya tiket gratis. Lagian ini bulan madu pertama, kalian bisa melakukannya setiap tahun nantinya. Seperti kami!" Abraham kembali memamerkan kemesraannya dengan istrinya. "Orang bilang, saat Anniversary, kalau kita sering melakukan bulan madu setiap tahunnya, maka pernikahan akan awet. Hehehe." "Ayah mertua, aku setuju ke Swiss. Dulu waktu kecil aku pernah ke sana, tapi begitu dewasa sudah lupa bagaimana suasana di sana. Mungkin aku tertarik untuk mengunjunginya lagi." Akhirnya Darrel membuka suara. "Bagaimana denganmu, Sweetie?" Sepasang mata coklat terang itu memutar, menumbuk pada mata binar di sampingnya. Disha mengangguk pelan. "Boleh juga, Hottie. Kelihatannya menarik." Abraham dan Lucia menautkan dahi kala mendengar kata 'Sweetie' dan 'Hottie'. Ekspresi mereka berdua langsung membuat Disha dan Darrel saling pandang sejenak. "Ah, Papa. Sebenarnya itu panggilan kesayangan kami. Hehehe," ucap Disha malu-malu, sementara Darrel hanya menunduk tak berani menatap. "Ooo...." Lucia membeo membetuk mulutnya seperti huruf 'O'. "Bagus!"Abraham terlihat gembira mendengar persetujuan mereka. "Baiklah, Ayah akan ambil ponsel di kamar untuk menghubungi manager Ayah untuk mengklaim tiket kalian." Pria itu membangunkan diri, hendak melangkah tetapi tiba-tiba tubuhnya itu merosot kembali. "Arghh!" Abraham tersungkur di dekat kursi, memancing kepanikan orang di sekitarnya. "Abraham, hati-hati!" Lucia bergegas mendekat dan membantunya duduk kembali di sofa. "Gula darahmu pasti naik lagi, 'kan? Sudah dua Minggu kau tidak periksa. Pokoknya nanti aku bawa kau ke rumah sakit!" Disha yang khawatir langsung duduk di samping ayahnya. "Papa, please! Papa itu harus jaga kesehatan. Papa harus sering olahraga biar tidak ada penyakit yang menyerang badanmu. Kau lihat Darrel, lihat badannya!"—Disha menunjuk suaminya yang mulai duduk kembali di sofa—"Badan dia bagus dan sehat karena sering olahraga." Disha memberi jeda, menarik napas sejenak dan melanjutkan perkataannya, "Darrel, aku minta kau ajari Papa nge-gym ya!" "Iya, Ayah mertua. Kau harus sering olahraga. Pekerjaanmu di kantor sudah membuatmu penat tapi tidak diimbangi dengan olahraga. Mungkin sebab itu tenagamu menurun sehingga banyak penyakit yang mulai menyerang." Bahkan pria itu pun ikut menggurui ayah mertuanya. Kekehan pelan terlontar dari kerongkongan Abraham. "Kau lihat, Lucia. Sekarang aku menjadi seperti anak TK lagi. Kau dan Disha selalu menekankan soal kesehatanku, dan sekarang ada satu lagi yang di pihak kalian." Abraham menggeleng dengan bercanda. "Luar biasa." "Papa!" Disha kembali bersuara. "Tidak lucu. Kami serius." "Iya, iya, Putriku. Papa dengar semua nasihat kalian." Abraham menarik napas dan membuangnya. "Baiklah, Darrel. Sepertinya sepulangnya kalian dari bulan madu, kau harus mulai mengajariku nge-gym agar istrimu ini tidak cerewet lagi!" sambungnya sembari mencubit kecil pipi Disha. "Ah, Papa!" Disha langsung menghambur di pelukan Abraham. "Abraham, biar aku saja yang mengambilkan ponselmu ya!" Lucia beranjak, melangkah meninggalkan mereka sejenak guna mengambil gawai di kamarnya lantai dua. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sebuah iPhone di tangannya. "Abraham, sepertinya ada kolegamu yang sedari tadi memanggil. Coba kau hubungi lagi, siapa tahu penting." Lucia menyerahkan benda persegi panjang itu pada suaminya, lantas kembali menghempaskan pantatnya di sampingnya. "Oh, ini kolegaku yang dari London. Mungkin dia mau membicarakan soal kontrak kerjasama." Abraham bergumam sejenak sembari memijat gawainya itu dan terlihat menghubungi seseorang. Tak berselang lama, akhirnya panggilannya itu terhubung. "Hi, how are you? Oke. This week? Oke… oke! Thanks you, see you!" Abraham kembali menutup teleponnya dengan ekspresi gundah gulana. "Ada apa, Pa?" tanya Disha penasaran setelah melihat wajah ayahnya itu. "Hmmm." Abraham menarik napas gusar. "Minggu ini sepertinya ayah harus ke London untuk urusan bisnis." "Apa perlu banget? Maksudku kondisimu sedang tidak memungkinkan." Lucia tampak protes. Cemas akan terjadi apa-apa pada suaminya yang sedang tidak sehat. "Iya, Papa. Sebaiknya tunda sampai kondisi Papa benar-benar membaik." Disha ikut menyarankan. "Tidak bisa, Sayang. Kontrak ini sangat penting. Ayah harus mendapatkan tender ini. Ayah sudah bertahun-tahun mengharapkan hal ini, dan ini kesempatan bagus." "Tapi Ayah… kesehatan Ayah sedang…" "Ayah mengerti, Sayang…." "Ayah mertua, apa hal ini tidak bisa diwakilkan?" tanya Darrel mengusik perdebatan antara ayah dan anak. "Bisa saja. Tapi rekan kerja kepercayaan ayah juga lagi di luar negeri," jawab Abraham pasrah. "Bagaimana kalau aku saja yang pergi, Ayah?" Darrel tampak menawarkan diri. "Aku siap mewakili Ayah kalau memang Ayah tidak keberatan. Kau tenang saja, aku sudah sering memenangkan tender juga di perusahaan ayahku. Kau bisa mempercayakan kontrak itu padaku. Lagipula, baru tadi kau bilang kalau semua urusan bisnis aku yang akan menangani kedepannya." Abraham berpikir sejenak mendengar pengajuan dari Darrel. Bukan berarti ia tak percaya dengan keahlian menantunya itu. Karena ia sudah dengar dari Jonathan—ayahnya Darrel—kalau anaknya itu sangat memumpuni dalam hal berbisnis. Tetapi ia hanya tak ingin mengganggu kebersamaannya dengan istri barunya. "Darrel, tapi kalian kan akan bulan madu?" "Memangnya hari apa Ayah harus berangkat ke London?" tanya Darrel lagi. "Rencana sih hari Minggu Ayah berangkat, lalu hari Senin mulai pertemuannya." "Sekarang kan hari Rabu, jadi besok Kamis aku dan Disha masih bisa bulan madu. Kami akan kembali setelah tiga hari. Lalu aku akan segera berangkat ke London. Bagaimana?" Kedua alis pemuda itu terangkat dua kali seakan menunggu respon dari mereka. "Darrel, apa kau tidak capek?" tanya Disha ragu. "Tidak, Sayang. Ini kan tanggung jawabku. Ayah Abraham sudah mempercayakan semuanya padaku, jadi aku harus bertanggung jawab sepenuh hati." Senyum semanis gulali menjadi pelengkap akan keyakinan pemuda itu. "Oke! Kalau kau tidak ada masalah dengan ini ayah senang. Dan Ayah bangga padamu, Darrel. Sepertinya aku tidak salah memilih menantu untuk menjadi pendamping putriku!" Abraham merapatkan tubuh Disha ke arahnya. "Aku yakin kau bisa menjaga putri semata wayangku ini." "Of course, Ayah mertua!" "Oke, semuanya sudah clear, kan? Bagaimana kalau kita sarapan? Sudah sepagi ini kita mengobrol sampai lupa sarapan." Lucia berseru mengingatkan mereka soal pekerjaan pokok setiap pagi. "Kelihatannya Emine memasak hidangan yang lezat," imbuhnya lagi kala indera penciumannya itu tersengat aroma lezat masakan juru masaknya. "Ayo! Ayah juga sudah lapar!" cakap Abraham sembari mengelus perutnya. "Sebentar, Ayah!" Darrel langsung mendekat dan membantu mertuanya berdiri. "Ayo, Ayah, aku tuntun sampai ke ruang makan!" Pria itu membimbing Abraham melangkah menuju ruang makan. Sementara Lucia dan Disha berjalan berdampingan di belakangnya. "Ah, putraku!" Memiliki menantu yang perhatian adalah impian Abraham. Dan kini, dia sudah mendapatkan hal itu. Ia berharap sikap baik dan kesetiaan Darrel akan terus tumbuh sampai kapan pun, agar putri kesayangannya—Disha—mendapatkan hidup yang sempurna. *** "Disha, kalau kalian sudah sampai wajib telepon ibu. Makan jangan lupa. Awas jangan sampai makan makanan yang aneh. Oh iya, kabari ibu kalau ada apa-apa. Jangan jauh-jauh sama Darrel. Kalian harus tetap bersama. Jangan berpisah!" Sepanjang perjalanan menuju Bandara, Lucia terus mengoceh mengingatkan perihal kecil. "Ibu, berapa kali kau akan mengatakan hal yang sama? Aku ini bukan anak kecil, aku sudah menikah, Bu!" gerutu Disha sembari menyongsong tasnya. "Ibu berbicara seperti aku baru pertama kali ke luar negeri saja. Empat tahun aku tinggal di Inggris, Bu. Kuliah di sana dan menjalani hidup tanpa kalian." "Ibu hanya mengingatkan saja, Sayang. Apa tidak boleh seorang ibu khawatir pada anak satu-satunya?" "Lucia, kau terlalu berlebihan, Sayang. Lagipula ada Darrel yang menjaga putri kita." Abraham menimpalinya. "Abraham, sudah diam. Jangan mendebatku di sini. Kita ini sedang di Bandara. Tidak boleh terjadi pertengkaran, oke?" Pria paruh baya itu menghela napas pasrah. Padahal, sedari tadi istrinya sendiri yang mengoceh. "Kau membuat menantu kita malu, Lucia." "Darrel, kau tidak apa-apa, kan?" Lucia menurunkan sedikit kacamatanya guna melihat sosok menantunya itu yang menuntun koper. "Tidak, Bu mertua. Tenang saja—" "–bagus! Pokoknya ingat pesan ibu. Jaga Disha baik-baik. Kau harus selalu di sampingnya. Jangan biarkan istrimu keluar sendirian." Celoteh Lucia kembali membuat Darrel terkikuk mendengarkan. "Ibu berbicara seperti kami akan bermigrasi selamanya saja. Kami hanya tiga hari, Bu. Tiga hari!" kata Disha menekankan dengan memperlihatkan tiga jarinya. "Cuaca di Swiss itu tidak seperti di Indonesia, Sayang. Mungkin di sana mungkin sangat dingin, banyak gunung-gunung. Kau harus mengenakan jaket. Menjaga pola makan. Oke?" Lucia meneguk ludah sejenak. Terus-terusan mengoceh nampaknya membuat tenggorokannya kerontang. "Darrel, kalian sudah memilih tempat apa yang akan kalian tinggali selama tiga hari terakhir? Apartemen? Hotel? Atau kalian bisa ke penginapan di pedesaan Grinderwald. Itu tempat bagus sekali. Dan ya, lupa kalian berdua berfoto di kaki gunung lalu kirimkan ke ibu. Ibu ingin lihat perjalanan bulan madu kalian." Lucia berhenti dan membalikkan tubuhnya menatap ketiga orang yang mulai bosan mendengar ocehannya itu. "Oh iya, yang terakhir dan sangat penting, kalian harus pulang membawa kabar bahagia. Misalnya, hadirnya cucu baru," sambungnya membuat Darrel dan Disha menelan saliva. "Nah, itu Papa juga setuju!" tambah Abraham dengan tangan menunjuk tanda pemantapan. "Papa!" Disha mencubit kecil lengan ayahnya. Gadis itu menarik napas panjang. "Sudah-sudah, pesawat kami sudah mau berangkat. Kami tidak ingin terlambat gara-gara mendengarkan semua ocehan ibu." Disha memeluk Lucia. "Ibu, Disha pergi dulu, ya! Jaga diri ibu baik-baik." Mereka berdua melakukan cipika cipiki. "Ingat semua kata-kata ibu tadi, oke?" Disha beralih pada Abraham. "Papa baik-baik di rumah. Jangan sampai jatuh sakit. Jangan memakan yang membuat gula darah Papa naik. Dan setelah ini kau harus periksa ke dokter, oke?" "Huffttt… Sayang, sekarang kau jadi seperti ibumu." Abraham menghamburkan napas panjang. "Tentu saja, dia anakku. Bukan anak tetangga. Iya, kan, Disha?" Melihat tingkah keluarga barunya itu, menciptakan senyuman di bibir Darrel. Keluarga kecil itu tampak hangat dan menyenangkan. Beruntung ia bisa menjadi bagian dari mereka. "Darrel, kau tidak ingin memelukku, Nak?" Abraham membuyarkan lamunanku pemuda itu. "Oh, tentu, Ayah mertua!" Darrel melepas kopernya sejenak dan menghambur di dekapan Abraham. "Jaga putriku baik-baik, ya! Ayah percayakan semuanya padamu." Abraham mengelus punggung Darrel. "Siap, Ayah mertua!" "Oh iya, kau sudah pamit sama Jonathan, kan? Tadi aku belum sempat mengabarinya," tanya Abraham mengingatkan sosok ayahnya Darrel. "Sudah, kok. Semalam aku sudah memberi tahu ibu dan ayah soal perjalanan bulan madu kami." Darrel merenggangkan pelukannya. "Sebenarnya mereka ingin ikut mengantar ke bandara. Tapi, katanya ada acara mendadak." "Ya, sudah!" Abraham menepuk bahu Darrel dua kali sembari melemparinya senyuman. Kini Darrel beralih pada wanita berambut sebahu. "Ibu, doakan semoga perjalanan kami lancar ya?" Darrel memeluk Lucia. "Tentu. Ibu akan doakan semoga kalian cepat mendapatkan anak. Ibu sudah tidak sabar menggendong cucu. Itu impianku saat ini." "Kalau ibu sudah selesai, boleh kami pergi?" Disha berkata dengan nada penuh kelelahan. "Baiklah! Selamat berbulan madu kalian!" Abraham dan Lucia saling memeluk sembari memandangi punggung anaknya yang menjauh menuju ruang tunggu.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD