2. Awal Pernikahan

2012 Words
Rumah yang besar dan sangat nyaman. Sirkulasi udara juga sangat disukai oleh Jane. Setelah menikah, mereka menempati rumah Arga, dengan pencahayaan yang sangat natural sekali, membuat Jane makin betah berada di rumah ini, inspirasi menulisnya seakan meningkat pesat. Disini akan ada asisten rumah tangga yang akan datang pagi sekali dan pulang setelah pukul enam sore. Six to six Jane menyebutnya. Dia sudah dijelaskan aturan main dirumah ini oleh Arga, dan ART itu juga tidak akan berani naik ke lantai dua jika belum pukul sembilan pagi. Semuanya diatur sedemikian rupa agar pernikahan ini terlihat alami dan tentunya dibuat senyata mungkin. Suami istri yang setelah menikah, lalu tinggal satu atap dan menikmati kegiatan berdua selama dirumah. Bayangan ini selalu bermain di kepala Jane. Boleh dibilang juga mungkin saat ini istilahnya Jane terlalu banyak 'halu' nya, tapi, jika dibilang halu , nyata sekali Arga adalah suaminya. "Aku pergi." Ucap Arga singkat di hari pernikahan mereka yang kedua. "Hati-hati suamiku." Jawab Jane sambil tersenyum lebar, membuat Arga ingin muntah melihat Jane yang melambaikan tangannya. "Perhatikan kembali perjanjian kita." Arga mengingatkan kembali agar Jane jangan macam-macam dengan ucapan dan tingkahnya barusan. "Siap Bos!" Jawab Jane santai lalu melanjutkan memasukkan rotinya kedalam mulut. Hal seperti ini membuat Arga ada sedikit rasa penyesalan telah membuat perjanjian gila dengan wanita ini, tapi dia harus mendapatkan tujuannya, hanya dia yang bisa membantunya. "Menyebalkan!" Arga mengatakannya terdengar seperti umpatan, Jane pura-pura tidak mendengarnya. Bukankah lebih menyenangkan untuk tidak berantem dipagi yang cerah ini. "Be Posotive Ga, pagi-pagi udah ngedumel gak baik untuk kesehatan kamu loh!" Jerit Jane dari dalam dan membuat Arga makin kesal mendengarnya. Setelah suara kendaraan Arga tak terdengar lagi, tiba saatnya dia menaikkan mood untuk segera menulis kembali setelah acara pernikahannya semalam. Yah! Dia tidak cuti dan tidak ada libur, tentunya belum ada istilah Honeymoon. Menyebalkan memang, tapi Jane tetap berpikir positif bahwa suatu saat akan datang hari yang  menyenangkan untuknya, dan itu pasti! Ah, betul Arjaneza Kharismasya adalah seorang penulis yang memang terkadang kalau sedang bosan dia mengambil pekerjaan paruh waktu untuk menjaga Caffe, tapi setelah menikah sepertinya dia tidak akan melakukan pekerjaan paruh waktu lagi. *** Dalam perjalanan Arga merutuki Jane yang selalu mengambil kesempatan atas dirinya. Sampai kapanpun dia akan menyesal mengambil keputusan yang terlalu gegabah ini. 'Indira Mareta!' Gumamnya pelan. Kenapa doa mesti datang lagi sih? Selama ini dia menghilang kemana? Kenapa dia harus datang ke acara pernikahan sialan ini sih? Arga terus-terusan mengingat mantan terindahnya itu. Setidaknya kata Mantan lebih tepat untuk orang yang lebih dulu meninggalkannya. Bunyi klakson terdengar memekakkan telinga, membuat Arga tersadar dari lamuannya akan Indira, kemudian dia kembali melajukan kendaraannya menuju kekantor. *** "Pagi, Pak Arga. Pak maaf diruangan Bapak ada tamu." Esi, sekretaris Arga menyambutnya dengan ramah. "Siapa bertamu pagi seperti ini Si?" "Katanya dia sudah punya janji dengan Pak Arga langsung." "Ok thanks." Arga berjalan melewati Esi sambil mengingat rasanya dia tidak pernah ada janji dengan siapapun sepagi ini. Saat dia membuka pintu ruangannya, badannya terasa kaku karena dia mendapati sosok yang sangat dia hafal, bahkan sampai ke lekuk tubuh yang sering dia nikmati. "Indira". Pintu ruangannya segera ditutup oleh Arga. "Honey! Aku menunggumu." Indira berjalan mendekati Arga dan memeluknya lalu menautkan bibirnya pada  bibir Arga. "Ini kantor Ra!" Ucap Arga memperingatkan Indira, dia masih memiliki kesadaran penuh tidak mungkin dia melakukan hal seperti ini dikantor, dan dia juga masih memiliki banyak ribuan pertanyaan untuk wanita yang berdiri dihadapannya sekarang ini. "Kenapa? Apa kamu takut dengan istrimu itu?" Ucapan Indira yang terdengar lembut ditelinga Arga ini membuatnya mematung, karena dia masih berusaha untuk menata hatinya yang hancur sejak ditinggal oleh Indira. "Sepertinya kau sudah berubah." Hanya ucapan itu yang berhasil keluar dari mulut Arga setelah ribuan pertanyaan memenuhi kepalanya. "Kau yang mengubahnya Arga. Kau meninggalkanku dan menikah dengan wanita yang bahkan sangat tidak menarik. Apa yang terjadi denganmu?" Indira menatap Arga dengan tatapan yang sangat sulit dia artikan. "Kau yang meninggalkanku, lalu kenapa kau menyalahkan atas pernikahanku?" Suara Arga terdengar sangat berat. Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan hal ini, tapi kesadarannya yang lain, rasa sakit hatinya pada wanita ini membuatnya melontarkan perkataan yang seharusnya tidak ingin dia katakan. "Karena aku tau kau masih sangat menyintaiku." Indira kembali berjalan mendekati Arga dan menatapnya dalam sambil meraih kedua tangan Arga yang sangat kaku. Kembali Indira memeluk Arga dan mencoba untuk meraih bibirnya sekali lagi, sekuat apapun Arga menolak, tetap saja dia seorang laki-laki normal yang tidak mungkin tidak menginginkan sentuhan wanita. Indira tersenyum penuh kemenangan kini bibir mereka sudah saling bertautan, bertukar saliva dan mungkin penuh kerinduan didalamnya. Jika dia tidak ingat ada di kantor, mungkin Indira saat ini sudah berada dalam kuasanya diatas ranjang. "Arga, sudah kukatakan, kau menyintaiku. Bukan istrimu!" Ucap Indira disela ciuman hangat mereka. Arga tidak memedulikan ucapan Indira, dia hanya ingin menyalurkan kerinduannya, kerinduan yang begitu dalam. Rasa sakit hati yang dimiliki sebelumnya entah menguap kemana setelah ciuman yang mereka lakukan barusan. Arga yang memang memiliki rasa kerinduan yang sangat banyak ini membuatnya menginginkan lebih dari wanita ini. "Arga stopped it!" Indira mendorong badan Arga yang sudah mulai menyiumi lehernya dan akan membuat tanda disana. "Sorry, I miss you so much, Hon!" Ucap Arga sambil mengatur nafas dan menundukkan kepalanya. Indira tersenyum penuh kemenangan. "Aku sudah membeli apartemen Mela, datanglah kesana pulang kerja ini jika kau benar-benar merindukanku." Indira pergi dan keluar dari ruangan Arga sambil tersenyum. Mela adalah teman Indira, Arga mengetahuinya karena beberapa kali saat pulang ke Indonesia mereka sering bertemu disana. Saat ini Arga terlihat sangat kacau, dia membanting beberapa berkas dari atas mejanya dan juga tak luput laptop diatas meja terpelanting disudut ruangan, Esi yang berada diluar mendengar kekacauan itu, dia tidak berani untuk melihat kedalam ruangan bosnya. Wanita yang datang ke ruangan bosnya, adalah wanita yang menarik perhatian saat acara pernikahan bosnya dan tentu kejadian singkat itu telah menjadi gosip dikantor. Esi bertanya dalam hati, 'Apa wanita itu benar-benar akan melakukannya?' *** Jane menelpon Arga, karena ternyata laptop yang dibawa Arga tertukar dengan miliknya, tapi Arga tidak mengangkat telponnya. Membuat Jane langsung mengambil tindakan untuk menemuinya di kantor. Jane melihat Wanita bernama Indira keluar dari kantor suaminya, ada kesal melihat kejadian itu, tapi Jane tidak boleh bertindak lebih jauh, karena Arga adalah suami diatas kertas kontraknya. "Bu ... eh ... anu ..." Esi terlihat ragu memberitahu Jane keadaan didalam. "Kenapa? Apa Bapak baru kedatangan tamu tak terduga?" Jane tersenyum penuh misteri melihat Esi. "Sepertinya keadaan didalam agak sedikit kacau." Ucap Esi sambil menggigit bibir bawahnya. "Baik, jika ada yang tau hal ini selain kamu, apakah artinya kamu yang menyebarkannya diseluruh kantor?" Jane tersenyum penuh arti pada Esi. "Ba ... ba... baik Bu, tidak akan ada yang tau." Ucap Esi sambil melihat punggung Jane yang menghilang di balik pintu yang tertutup dari dalam. Esi menarik nafas panjang dan duduk lagi dikursinya. Dia tak tau mimpi apa semalam kalau harus menyaksikan banyak hal bersifat rahasia seperti ini. 'Semoga kesialan ini sampai sini saja.' Ucap Esi sambil meringis. *** Pintu Arga terbuka tanpa ketukan sebelumnya. Jane melihat keadaan kantor suaminya kacau membuatnya sedikit iba. "Pagi suamiku." Sapa Jane seolah tidak ada masalah sebelumnya. "Apa yang kau lakukan disini?" Sinis Arga. "Rendahkan suaramu suami tersayang, jika tidak ingin ketahuan. Lagian kamu tuh bawa laptop aku dan ini laptop kamu." Jane duduk didepan Arga dan menyerahkan laptopnya pada sang empu. "Sekarang mana laptopku?" Jane tersenyum lebar. "Mungkin itu." Tunjuk Arga ke sudut ruangan dengan cuek. "What?!" Jane terkejut melihat laptopnya sudah tergeletak di lantai. "Astaga Arga! Lo apaan sih?! Ini semua tuh kerjaan gue!" Jane langsung lari ke arah laptop yang dengan manis tergeletak dibawah dekat kaki kursi, dia lalu mengelus-elusnya karena barang beharga ini mungkin baru saja dirusak Arga. "Apaan sih, berisik tau gak?! Ini kantor gue! Mending lo keluar!" Arga membentak Jane untuk pertama kalinya dan membuat Jane terkejut mendengarnya. Setelah meletakkan laptopnya diatas meja tamu, Jane memunguti kertas yang berserakan di lantai, dirapikan lalu diletakkan kembali di atas meja kerja Arga. Dengan nafas yang berat dia kembali mengambil laptopnya lalu memeluknya. Sebelum keluar Jane menghela nafas panjang dan melihat suaminya, suaminya terlihat tidak peduli dengan kehadirannya. Dia segera mengubah mimik wajahnya agar Esi tidak membuat gosip yang lebih parah nantinya. "Suamiku, jangan lupa makan siang dan tersenyumlah. Be positif, okay!" Ucapnya sebelum keluar dari tempat Arga dan Arga hanya melihatnya sekilas dan membuang pandang. "Esi, mungkin moodnya kurang baik, maklumi saja karena dia lagi banyak pikiran dan tolong aku untuk ingatkan dia jangan lupa maka siang." Ucap Jane sambil berlalu. Esi hanya tersenyum melihat kepergian Jane. Ada rasa hormat padanya untuk Jane. ‘Sabar sekali dia.’ Batin Esi sambil duduk dikursinya lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar. *** Jane memang memakai kendaraan umum ke kantor Arga, karena dia sangat malas untuk menyetir kendaraan ditengah macetnya ibu kota. Dia berjalan menyusuri beberapa blok perkantoran dan akhirnya dia memutuskan untuk mampir di cafe ini, dekat dengan kantor Arga. Ternyata saat dihidupkan memang Laptopnya tidak bisa hidup lagi. Hal ini benar-benar membuatnya menjadi hilang mood untuk menulis. 'Apa dia tidak bisa lebih sabar?' 'Semoga cerita ini akan indah pada waktunya.' Jane selalu berharap, jika kisahnya saat ini akan berakhir indah seperti novelnya. 'Sabar Jane ini baru permulaan, lama-lama dia akan membuka hatinya untukku. Argadiatma Erlangga, tunggu saja, saat itu akan segera tiba.' Jane selalu saja memikirkan bahwa kontraknya akan berakhir kebahagiaan. Handphonenya berbunyi mengejutkannya dari lamunannya. "Jane, apa kamu pikir kamu baik-baik saja dear?" Suara Shera yang cempreng membuat telinganya sedikit berdenging. "Yeah! Sepertinya laptopku rusak. Aku jadi gak mood buat nulis sekarang." "Cepetan bawa ke servis laptop donk. Kamu lagi dimana? Entar aku temenin deh." "Gue share lokasi deh entar lo dateng aja kemari." Jawab Jane sedikit malas. Lalu sambungan telpon mati dan Jane segera sharing lokasi pada Shera. "Ah ..." kembali Jane menghela nafas panjang lalu menyesap kopinya. 'Bersabarlah Jane, cerita di novel akan sama akhirnya dengan kenyataan ini. Please Arga, gue harap lo jatuh cinta sama gue.' Lirih Jane sambil menunggu temannya datang. *** "Esi, batalkan semua jadwal hari ini. Saya ada urusan mendesak." Arga memberitahu Esi dengan cepat dan dia langsung menghilang dengan sangat kilat. Esi melihat jadwal hari ini yang dimiliki Arga, untungnya beberapa client penting tidak ada di list. Hari ini hanya kegiatan biasa saja. Esi kembali lega karena dia tidak harus mencari alasan untuk berbohong mencari alasan kepada rekan bisnis Arga. "Dasar tukang gila kerja." Umpat Esi pada bosnya yang sudah menghilang itu. Esi sebenarmya senang karena bosnya akhirnya menikah. Artinya dia bisa ada waktu diluar lebih banyak, karena pasti Arga akan tidak masuk untuk beberapa hari tapi nyatanya, Arga hanya izin dua hari saja! Ah, bukankah itu keterlaluan? Apa orang kaya semuanya gila kerja untuk mendapatkan banyak uang? *** Arga melajukan kendaraannya dengan kecepatan perlahan, di lampu merah dia melihat seseorang yang dia kenal sedang menggulingkan kepalanya diatas meja sambil memandangi sebuah laptop dihadapannya di dalam sebuah Caffee Catelier. Jane, siapalagi kalau bukan dia. Saat ini pun mulutnya masih komat-kamit entah melafalkan mantra apa, membuat Arga menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar wanita halu." Ucap Arga "Wajar saja jadi penulis, kerjaannya ngayal terus." Lalu berikutnya Arga melajukan kembali kendaraannya karena lampu hijau sudah menyala. Dalan perjalanannya Arga masih memikirkan Indira, wanitanya, wanita yang sangat dia rindukan. Tapi, tiba-tiba bayangan Jane muncul, dia baru sadar barusan dia membuat laptop Jane rusak. Ada rasa bersalah mampir didirinya dan dengan kecepatan penuh dia mencari putaran untuk kembali menemui Jane. Saat dia tiba disana, sayangnya Jane sudah tidak ada lagi. "Maaf apa anda mencari wanita yang duduk disana?" Tanya seorang pelayan. "Ya betul, kemana perginya?" "Ya baru saja. Apa Bapak temannya?" Belum sempat menjawab, laki-laki itu menyerahkan sebuah dompet pada Arga, "Dia meninggalkan ini tadi." "Baik, terima kasih nanti akan saya kembalikan padanya." Arga mengambil dompet yang ditinggalkan oleh Jane lalu keluar lagi. Sampai di mobil, karena penasaran dibukanya dompet milik 'istrinya' ini. Benda ini sudah tidak terlihat bagus, tapi masih bisa dipakai, tapi saat dibukanya Arga terkejut melihat foto pernikahan mereka sudah terpampang disana. Dan tulisan dibawahnya, "Our Happy Wedding" Deg! 'Apa yang harus kuperbuat jika benar-benar menganggapku suaminya. Bukankah akan sangat merugikannya sendiri?' Arga melemparkan dompetnya dibangku sebelah dan kembali ingatannya terputar tentang Indira, tentang masa lalu yang sangat indah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD